1. Pertemuan Kembali

1136 Words
"Eh, kalian tahu, enggak? Gue habis ketemu malaikat." Riyuka, teman satu profesiku datang sambil tergopoh-gopoh. Tangannya menenteng sebuah tas kotak bekal. Jam istirahat, seperti biasa kami akan duduk di saung belakang sekolah sembari menikmati bekal makan siang masing-masing. Riyuka datang belakangan karena ia keluar kelas sedikit terlambat. Begitu menjejakkan kaki di saung, ia langsung duduk lesehan pada sisi lantai yang kosong. "Malaikat Izrail?" celetuk Isna sekenanya. Namun, ekspresi wajahnya ia buat seserius mungkin. Isna juga teman satu profesiku. Kami merupakan tenaga guru honorer di sekolah ini. Sama-sama masih single membuat kami bertiga lebih akrab. Usia kami pun tidak terpaut jauh. Bedanya, jika Riyuka dan Isna single ting ting, sementara aku sudah pernah menikah. Di usia yang masih muda, aku gagal membina rumah tangga yang hanya seumur jagung. Riyuka dan Isna sudah lebih dahulu honor di sini, sudah hitungan tahun. Sementara aku baru beberapa bulan, sejak pernikahanku resmi dinyatakan kandas. "Sembarangan, Lo." Riyuka menoyor dahi Isna, membuat gadis itu tertawa cekikikan. "Lha, terus, Lo, ketemu malaikat apa? Tahu dari mana kalau dia malaikat?" tanya Isna sambil mengunyah makanannya. "Malaikat paling rupawan sejagat raya. Ya, ampuuun .... Gue jatuh cinta pada pandangan pertama." Riyuka menggenggam kedua telapak tangannya, lalu merapatkannya di depan d**a. Badannya digoyang sedikit, mengikuti gaya sok imut gadis ABG jomblo di adegan sinetron yang habis bertemu dengan pangeran tampan, mengekpresikan seberapa senang hatinya. "Ah, Lo, setiap ketemu cowok bilangnya jatuh cinta mulu." Isna mencebik, "Dulu pas pertama ketemu Pak Mur juga katanya jatuh cinta. Bilang Pak Mur mirip Ahjussi. Gampang banget jatuh cinta." Aku terkekeh mendengar ucapan Isna. Sementara Riyuka mendelik masam. Pak Mur merupakan satpam sekolah kami dan sudah cukup berumur. Perkiraanku, usianya sudah kepala empat. "Yang ini beda, Is," terang Riyuka sambil membuka kotak bekalnya. Ia kemudian mulai menyuap. "Beneran jidat paripurna dan masih muda," lanjutnya di antara suapan. Saking semangatnya bercerita, mulutnya bahkan masih penuh saat bicara sehingga setiap kata yang keluar terdengar tidak jelas. "Memangnya siapa, sih, Ri?" Aku yang sejak tadi hanya menyimak akhirnya ikut penasaran. "Katanya guru baru yang keterima CPNS di sekolah ini." "Kita dapat guru baru?" "Iya." "Guru apa?" "Kalau enggak salah guru PJOK." "O ...." Aku mengangguk paham. "Lo, ketemu di mana emang?" Isna tampak mulai tertarik. Riyuka dan Isna merupakan sahabat sejak SMA. Bahkan mereka melanjutkan pendidikan di Universitas yang sama di pulau Jawa. Sementara aku baru kenal dengan mereka sejak mengajar di sini. Aku pun lulusan Universitas lokal pulau ini, berbeda dengan mereka. "Tadi berpapasan pas dia masuk ke ruang kepala sekolah. Terus gue tanya sama guru yang di kantor, kata mereka guru baru." "Kalau memang seganteng itu, bisa betah, dong, kita honor di sini," imbuh Isna. "Asli. Dan sepertinya, gue, harus bersyukur kemarin enggak lulus tes CPNS. Jadi tetap honor di sini dan bisa ketemu dia. Mayan cuci mata. Bisa lebih semangat kerjanya." "Apa dia masih single? Bagaimana kalau ternyata sudah menikah?" tukasku. "Lo, matahin semangat, gue, aja, Kay." Riyuka mendelik ke arahku sambil bibirnya mengerucut. Aku terkekeh kecil. "Ya 'kan mempersiapkan kemungkinan terburuk, Ri." "Yang terburuk jangan disiapkan, Kay. Dibuang jauh-jauh. Ceburin ke dasar laut. Kita hanya perlu menyiapkan yang baik-baik, saja," tuturnya serius. "Begitu?" "Iya." "Nanti kalau ternyata kenyataan enggak sebaik yang kita kira bagaimana? Apa enggak kecewa dan patah hati?" "Kay, bukan hanya ucapan yang doa. Tapi, pikiran juga. Jadi berpikirlah yang baik-baik. Kalau ternyata yang terjadi sebaliknya, artinya doa kita belum terkabul. Sesimpel itu saja." Aku tercenung sejenak mendengar kalimat Riyuka. Sederhana, tetapi bermakna. Sesuai kalimat yang sering aku dengar, pikiran bawah sadar kita mampu mengendalikan tubuh hingga delapan puluh persen. Pikiran adalah doa. Jadi apa yang kita pikirkan, artinya apa yang kita doakan. Jika Allah mengabulkan, maka itulah yang terjadi. *** Bel masuk berbunyi. Kami yang sudah selesai makan dan merapikan kotak bekal masing-masing, gegas kembali ke kantor untuk menyiapkan pembelajaran pada jam berikutnya. Aku segera meletakkan kotak bekal di atas meja, lalu duduk sebentar sambil menyiapkan perangkat pembelajaran beserta buku modul yang akan aku bawa ke kelas. "Bapak, Ibu, mohon perhatian sebentar." Bapak Kepala Sekolah berdiri di depan ruangan. "Kayyisa." Belum sempat aku memfokuskan perhatian pada beliau, Riyuka yang mejanya tepat di belakang mejaku menowel pinggangku. "Sang Malaikat," bisiknya ketika aku menoleh. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng ringan. Untukku yang pernah gagal membina rumah tangga, tidak terlalu tertarik pada lelaki rupawan. Masih trauma. "Hari ini kita kedatangan guru baru. Alhamdulillah, beliau lulus pada tes CPNS beberapa waktu lalu dan bertugas di sekolah kita. Beliau akan mengisi kekurangan posisi pada mata pelajaran PJOK." Mataku membulat menyaksikan sosok yang dikenalkan Kepala Sekolah. Mulutku bahkan sedikit ternganga sebab tidak percaya bahwa dia merupakan sosok yang tadi diceritakan oleh Riyuka. "Mas Fatih?" Aku menggumam pelan. Jantungku seketika berdegup sangat kencang. Perasaan yang sama ketika aku melihatnya saat pertama kali bertemu, kini terulang kembali setelah dua tahun berpisah. Aksa Fatih, merupakan laki-laki yang seharusnya menikahiku dua tahun lalu. Kami saling mengenal sejak sama-sama kuliah di Fakultas yang sama, tetapi beda jurusan. Seperti kata Riyuka, dia memang tampan. Aku tidak bisa membandingkan ketampanannya dengan publik figur mana pun. Di mataku, dia lebih tampan dari siapapun. Kulitnya putih bersih. Rambutnya hitam lurus, dipotong rapi dengan bagian belakang pendek dan bagian depan panjang se-alis, lalu disisir belah sedikit ke samping. Bagiku dia guratan yang sempurna dari Sang Maha Pencipta. Perpaduan hidung, mata, alis, pipi, begitu pas. Aku tidak bisa menyebut bagian mana dari wajahnya yang paling indah. Akan tetapi, yang paling kusukai adalah barisan rapi giginya saat tertawa. Setiap dia tertawa, seolah menular dan membuatku ikut tertawa. Lalu hatiku sangat bungah memandangnya. Dua tahun lalu Mas Fatih menunda semua rencana indah kami karena hendak fokus menjaga keluarganya yang katanya sedang mengalami tragedi janggal. Aku memaklumi. Akan tetapi, tidak keluargaku. Ketidak-pastian sampai kapan pernikahan itu ditunda, membuatku terpaksa menuruti keinginan orang tua untuk menikah dengan laki-laki pilihan mereka. Namun, pernikahan yang memang tidak sehat sejak awal itu akhirnya kandas juga. Setelah resmi bercerai, ada secuil keinginan untukku kembali menghubungi Mas Fatih. Akan tetapi, aku memendam keinginan itu dalam-dalam dan membunuhnya sebelum ia tumbuh besar. Aku sadar diri, merasa tidak pantas untuknya lagi meskipun rasa yang tersimpan tetap sama besarnya. Dua tahun menikah, aku berusaha mengubur rasa itu. Teramat sangat sulit, tetapi aku berusaha. Setelah berpisah, aku membiarkan rasa itu kembali subur. Sebab, terlalu lelah memaksakan diri membunuh sesuatu yang memang akarnya tidak pernah mati. Kemudian semua bagai jamur yang tersiram hujan hari ini, tumbuh mekar tanpa kendali. Satu per satu guru bersalaman dengan Mas Fatih. Tidak terkecuali Riyuka dan Isna yang begitu antusias. Semua kemudian pergi masuk kelas untuk menunaikan tugas, menyisakan aku yang paling akhir. Bergetar, aku melangkah mendekatinya. Rasanya lidahku kelu. Aku bahkan kesulitan menggerakkannya saat hendak menyapa. Jantungku pun tidak mau berkompromi untuk tenang. Organ penting itu melompat-lompat di dalam sana tidak karuan. "Mas Fatih," suaraku parau. Tanganku gemetar terulur untuk menyalaminya. Akan tetapi, baru setengah tangan itu mengambang, ia melengos membuang muka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD