2. Di Parkiran

1083 Words
Enam tahun lalu. "Mau keluar?" Aku berjengit kaget ketika satu suara berat tiba-tiba menyapaku dari belakang. Seketika aku menoleh, senior laki-laki yang tadi merupakan salah satu panitia orientasi pengenalan kampus berdiri dalam jarak kurang dari satu meter denganku. "I-iya, Bang," sahutku gugup, "mau pulang." Rasanya jantungku mau keluar dari tempatnya karena berdegup begitu kencang. Lututku bahkan rasa gemetar, bukan karena takut melainkan begitu euforia disapa pangeran idaman yang sejak awal sudah mencuri perhatianku. Selain tampan, dia juga ramah dan hangat. Tidak jutek dan sok berkuasa seperti panitia lain. Sikapnya cool, tetapi tidak sombong. Dia juga tidak bertingkah over untuk menarik perhatian. Di mana pun ia berada, pembawaannya seperti tenang dan apa adanya. "Bisa ngeluarkan motornya?" tanyanya sambil menatap teduh ke arahku yang sedang memegang stang roda duaku. Sejak tadi aku memang kesulitan mengeluarkan kendaraan itu. Parkiran sangat penuh dan tadi pagi aku datang lumayan awal. Makanya sepeda motorku berada di belakang. Alhasil, posisinya terhalang oleh sepeda motor lain yang datang belakangan. "Bi-bisa, Bang. Cuma memang agak sulit," sahutku masih gugup diiringi cengengesan salah tingkah. "Biar abang saja yang keluarkan." Ia menggeser posisiku, mengambil alih untuk mengeluarkan sepeda motorku hingga ke lokasi yang lebih lapang dan mudah diakses. "Bang, motor saya juga susah keluar." Anisa, teman satu angkatanku yang tadi sama-sama denganku mau keluar, tidak mau kalah. Ia juga minta dibantu. Memang benar bahwa kendaraannya juga susah keluar. Letaknya sejajar dengan motorku. "Dani, bantu itu!" Bang Fatih justru memanggil temannya untuk membantu Anisa. "Kok, nyuruh temannya, sih, Bang?" Anisa protes. "Sama saja 'kan?" "Ya, bedalah, Bang." "Beda apanya? Yang penting motornya bisa keluar." "Sensasinya, Bang, yang beda." Aku tersenyum geli memerhatikan ekspresi Anisa yang merengut kecewa. Sementara diam-diam aku merasa sisi terdalam hatiku bagaikan melambung. Bang Fatih tidak melakukan hal yang sama dengan semua orang. Dia melakukannya hanya untukku. "Terima kasih, ya, Bang," ucapku sekalian pamit setelah sepeda motor Anisa juga berhasil keluar. "Iya. Sama-sama." "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam. Hati-hati. Jalan ramai." Ia tersenyum hangat. Semua kenangan tentang Mas Fatih sejak awal bertemu hingga terakhir berpisah tidak pernah bisa enyah dari benakku, selalu berkelindan dalam setiap kesempatan. *** Usai jam mengajar, aku melangkahkan kaki lebar-lebar menuju ruang guru, lalu lekas meletakkan buku-buku dan perangkat pembelajaran ke atas meja. Aku bermaksud untuk langsung pulang. "Buru-buru, Kay?" Riyuka menatapku heran. Biasanya, saat pulang pun kami akan bersama menuju parkiran. Kami akan menunggu satu dengan yang lain jika ada yang telat keluar kelas. Meskipun pada akhirnya akan pulang masing-masing karena arah rumah kami yang tidak searah, aku di Barat, Riyuka di Timur, dan Isna di Selatan. "Iya." Aku menjawab singkat sambil mengangguk salah tingkah, tidak tahu harus menjelaskan apa pada temanku itu. Sejak tadi ketika Mas Fatih mengabaikanku, rasanya aku ingin langsung pulang jika saja tidak ada jadwal mengajar pada jam terakhir. Terlalu sakit rasanya saat dia membuang muka, seolah tidak mengenalku sama sekali. Mungkin lebih baik jika ia bersikap seolah tidak saling kenal. Sementara yang kudapati, Mas Fatih seolah tidak suka atas kehadiranku. Entah apa yang salah? Jika dia sakit hati aku menikah dengan laki-laki lain, bukankah dia yang menginginkannya? Sebelum memutuskan untuk menerima laki-laki pilihan orang tuaku, aku sudah mengabari Mas Fatih terlebih dahulu. Aku datang padanya, meminta agar ia mau meyakinkan Ayah bahwa kapan pun waktunya, dia pasti akan menikahiku. Akan tetapi, saat itu dia justru memutuskan hubungan kami secara sepihak. Kemudian sejak itu, semua akses komunikasi kami ia tutup. Aku tidak berharap banyak Mas Fatih masih menyimpan kisah cinta kami. Apalagi berharap dia mau menerima dan kembali menjalin kisah yang sempat terputus. Namun, paling tidak hubungan kami baik-baik saja. Tidak harus saling benci dan bermusuhan. "Enggak sama-sama?" Riyuka masih menatapku bingung. "Enggak, Ri. Aku duluan," sahutku sambil buru-buru mengemas tas, khawatir Mas Fatih keburu keluar dari kelasnya. Sebenarnya aku ingin mengkonfirmasi secara detail tentang sikapnya, tetapi tidak untuk saat ini. "Ada acara?" Riyuka terus menginterogasi. "Mmm .... Enggak, sih. Cuma di rumah ada yang nunggu," sahutku berbohong. "O, ya, sudah. Hati-hati." "Iya, Ri. Aku duluan, ya." "Iya." "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Aku kembali melangkah lebar menuju parkiran sambil menahan sudut mata yang menghangat. Entahlah. Mungkin ini terlalu berlebihan, tetapi rasanya air mataku sudah hampir menggenang. Pertemuan yang kuharapkan berlangsung penuh rindu, ternyata hanya menyisakan sakit. Selama mengajar tadi, beberapa kali aku harus keluar untuk menghela napas panjang demi menenangkan diri. Dadaku rasanya begitu sesak dan masih terasa sampai sekarang. Aku butuh waktu sendiri untuk melepaskannya. Untuk itu, aku harus segera pulang. Sesampai di parkiran, aku termangu memerhatikan sepeda motorku yang terletak di dalam. Belum ada guru yang pulang, jadi parkiran masih penuh. Aku menghela napas berat, lalu melangkah mencari celah untuk mengeluarkan kuda besi milikku. Cukup sulit, sebab tepat di belakang sepeda motorku, ada motor gede milik salah seorang guru. Jangan berpikir dan berharap Mas Fatih akan membantu seperti enam tahun lalu. Dulu dan sekarang keadaan jauh berbeda. "Lho, belum pulang, Kay?" Riyuka dan Isna bahkan sudah menyusul bersama beberapa guru perempuan yang lain. "Belum. Motorku di dalam," sahutku dengan napas sedikit ngos-ngosan sebab baru saja menggeser satu motor yang menghalangi. Aku berhasil memindahkan satu motor. Namun, ternyata belum cukup leluasa untuk mengeluarkan motorku sehingga harus menggeser satu motor lagi. "Itu berat, Kay. Motor gede. Minta tolong guru laki-laki aja!" Isna berseru ketika aku memegang stang motor gede yang berada tepat di belakang motorku. Jika tadi aku memindahkan sepeda motor yang di sebelahnya, merupakan sepeda motor bebek biasa, body-nya ramping dan tidak berat. Sementara sepeda motor yang ini, berat dan besar, sulit untukku menggesernya. "Enggak apa-apa, Is. Enggak usah. Aku pelan-pelan," sahutku. "Tunggu Pak Bin yang punya aja keluar, Kay. Enggak lama lagi, kok," saran Isna. Aku menggeleng. Ini saja rasanya sudah panik, khawatir Mas Fatih tiba-tiba ikut muncul. Aku sangat merindukannya, tetapi bertemu dengannya mengapa justru membuat sakit? "Hati-hati, Kay!" Riyuka dan Isna berseru kompak ketika aku nyaris oleng dan motor gede yang kupegang hampir ambruk bersamaku. Akan tetapi, untung saja keadaan masih seimbang. Kendaraan itu tegak kembali dan peganganku tidak lagi berat, terasa ringan. "Sudah! Lepaskan! Biar saya saja!" Satu suara berat yang sangat kurindu, begitu nyata di belakangku. Sontak aku menoleh. Memang benar dia Mas Fatih. Rupanya ia yang tadi menahan sehingga kondisi sepeda motor tetap seimbang. "Mas Fatih?" Aku spontan menggumam memanggil namanya. Namun, kejadian saat di kantor tadi kembali terulang. Dia tidak mengacuhkanku, melainkan dengan santai mengeluarkan sepeda motorku setelah menggeser motor-motor yang menghalangi. "Nekat boleh, bodoh jangan. Kalau memang tidak bisa, tidak ada yang melarang untuk meminta bantuan orang lain," gumamnya sinis tepat di telingaku setelah meletakkan sepeda motorku di tempat yang leluasa. Setelah itu dia langsung memacu sepeda motornya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD