3. Sok Lugu?

1309 Words
"Kayyisa ...." Aku sedang duduk di salah satu sudut kantin, ketika terdengar sebuah suara yang memanggil. Aku menoleh, dan seketika desiran halus menguasai. "Bang Fatih." Aku menyahut santun dengan kepala sedikit dianggukkan. Bibirku menguntai senyum canggung demi menutupi degup jantung yang perlahan tidak menentu. Laki-laki yang sebelumnya berdiri dalam jarak beberapa meter dariku itu turut tersenyum, lalu melangkah mendekat. "Sendirian?" tanyanya. Lalu tanpa permisi, ia duduk di sisiku walau berjarak sekitar setengah meter. "Iya, Bang. Lagi nunggu Anisa," sahutku sambil berusaha menahan degupan jantung agar tidak semakin kencang. Selalu begitu, setiap bertemu dengannya jantungku bagaikan tidak aman. Jangankan bertemu, hanya melihat punggungnya dari jauh atau sekadar mendengar namanya disebut orang, aku selalu berdebar tidak karuan. "Anisa kemana?" tanyanya hangat. "Dia keluar agak lambat." "Kalian ada ujian?" "Iya. Kuis Genetika." Dia mengangguk ringan, pertanda paham apa yang aku sampaikan. "Abang enggak minum?" Aku mencoba mencairkan suasana yang terasa kaku dan canggung. "Enggak, abang enggak lama," sahutnya. Giliran aku yang mengangguk paham, antara kecewa dan lega. Kecewa, karena sejatinya aku ingin dia lebih lama duduk di sini bersamaku. Lega, sebab keberadaannya rasanya membuatku sesak oleh euforia. "Omong-omong selamat, ya, Bang. Sudah lulus," ucapku. Dia baru saja mengikuti sidang skripsi dan dinyatakan lulus. Senang dan bangga rasanya dia bisa lulus dalam waktu yang minimal, tiga setengah tahun. Akan tetapi, di sudut terdalam hati rasanya sedih. Itu artinya mulai hari ini aku tidak bisa lagi bertemu dengannya. "Iya, terima kasih. Semoga kamu juga segera lulus," balasnya. Aku terkekeh, "Aamiin. Tapi aku masih lama. Masih dua tahun," sahutku. "Dua tahun lagi enggak lama, kok." Ia tersenyum hangat. "Ya, Abang doakan saja semoga aku bisa lulus tepat waktu." "Aamiin. Abang tunggu." "Heh? Tunggu? Maksudnya?" "Abang tunggu kamu lulus." "Heh?" "Abang akan datang bersama orang tua abang untuk melamar begitu kamu lulus," ucapnya membuatku tercengang tidak percaya. Namun, dia justru beranjak dan bersiap pergi, "Itu teman kamu, Anisa, sudah datang. Abang pergi dulu," ucapnya sambil berlalu. *** "Jadi sekarang, Bang Fatih, mengajar satu sekolah denganmu?" tanya Anisa. Siang ini, sepulang mengajar aku langsung janji temu dengan Anisa. Dia juga baru pulang mengajar. Secara karir, nasib Anisa lebih mujur. Ia langsung diterima CPNS pada tes pertama beberapa bulan setelah sidang skripsi. Berbeda denganku yang gagal pada dua kali percobaan. "Iya." Aku mengangguk membenarkan. "Kukira, Bang Fatih, sudah nyaman sebagai guru yayasan. Rupanya dia ikut CPNS juga," gumam Anisa pelan. "Huum. Aku juga mikirnya begitu." "Padahal karirnya sudah bagus, ya, di yayasan. Sudah jadi wakil kepala sekolah di sana. Gajinya juga besar." "Iya." "Mungkin kalian jodoh, Kay. Jadi selalu ada cara untuk mendekatkan kalian kembali." Anisa berspekulasi. Aku tersenyum miris. "Enggak, Nis," balasku sembari menggeleng lemah. "Kenapa?" "Mas Fatih berubah." "Berubah bagaimana?" "Dia bersikap seolah enggak kenal aku di depan guru-guru yang lain. Terus bicaranya juga sinis." "Sinis bagaimana?" "Dia seperti membenciku." "Masa, iya?" "Iya." "Mungkin, Bang Fatih, enggak tahu kalau kamu sudah berpisah dengan suamimu, Kay," ucap Anisa menghibur. "Berpisah atau enggaknya aku, tidak seharusnya Mas Fatih bersikap begitu. Aku menikah juga setelah berbicara dengannya. Apakah setelah tidak berjodoh, kemudian harus bermusuhan?" balasku getir. Perih rasanya setiap mengingat sikap Mas Fatih saat di sekolah tadi. Dadaku rasanya sesak. Sementara air mata ingin menerobos hendak keluar. Dua tahun aku memendam rindu terlarang padanya. Kemudian ketika bertemu yang seharusnya menjadi momen yang paling ditunggu, dia justru bersikap tidak acuh. "Ya, mungkin, Bang Fatih, kecewa." Anisa berucap hati-hati. "Mungkin. Tapi, seharusnya dia paham keadaanku saat itu. Lagi pula aku enggak memaksa kami harus bersama lagi. Aku sadar diri, Nis. Mas Fatih berhak mendapatkan yang lebih baik dari aku. Hanya saja dengan sikapnya yang seperti ini, aku merasa dia bukan Mas Fatih yang aku kenal dulu." "Kamu cari kesempatan aja untuk bicara berdua, Kay. Bertanya kenapa dia bersikap seperti itu sama kamu." *** Aku mengemas Mille crepes red velvet buatanku ke dalam kotak kue. Sepulang dari bertemu Anisa tadi, aku langsung berkutat di dapur. Sore ini aku berencana menebalkan muka untuk datang ke rumah Mas Fatih, berbicara dengannya dan meluruskan semua permasalahan yang ada. Aku memilih berbicara di rumah daripada di sekolah. Selain lebih leluasa, menurutku juga lebih aman. Tidak akan ada rekan kerja yang mungkin menaruh curiga. Mas Fatih sangat suka aneka cake sebagai cemilan saat bersantai sore. Dulu ketika awal-awal pertunangan kami, aku sering membuatkan brownies atau cake lain untuknya. Semoga dia juga menyukai Mille crepes buatanku hari ini. Dengan menggunakan sepeda motor matic kesayangan, aku melaju dengan kecepatan sedang menuju kediaman Mas Fatih. Sepanjang perjalanan, jantungku tidak berhenti berdegup kencang. Sementara hatiku terus berdesir halus. Aku merasa tidak sabar untuk menemuiya, meskipun terbersit rasa takut dia tidak akan menerima kedatanganku. Sesampai di pekarangan kediaman Mas Fatih, aku memarkir sepeda motor dengan perasaan kian tidak menentu, antara ciut dan nekat. Aku berdiri di muka pintu yang tertutup, bersiap mengetuk setelah sebelumnya menghela napas panjang untuk menenangkan diri. "Assalamualaikum." Aku memberi salam. "Waalaikumsalam." Terdengar sahutan dari dalam, satu suara berat menyapa telingaku. Jantungku seketika terasa hendak melompat dari tempatnya. Detik berikutnya terdengar seretan langkah, lalu pintu terbuka. Tidak salah lagi, suara berat itu milik Mas Fatih. "Mas ...." Aku menyapa gugup. Laki-laki itu tidak menjawab. Justru matanya menatapku tajam, pandangannya menghunjam. "Ada apa?" tanyanya dingin. Dia seolah tidak berniat menawariku untuk masuk, bertanya sambil berdiri di muka pintu. Aku meneguk ludah. Kerongkongan seketika terasa seret sehingga tidak bisa berkata apa-apa untuk menjawab. Aku hanya bisa terpaku di tempat. "Kamu ke sini hanya untuk mengetuk pintu terus berdiri di situ?" tanyanya ketus. Hatiku nyeri mendengar nada bicaranya. "Mmm .... Mas Fatih, aku bawakan Mille crepes," ucapku sambil menyodorkan kotak yang tadi aku bawa padanya. Dia bergeming, hanya melirik sekilas kotak yang aku ulurkan tanpa berniat untuk menerima. Aku kembali meneguk ludah, "Aku ke sini ingin bertemu Mas Fatih. Apakah kita bisa bicara?" tanyaku kemudian. "Enggak bisa!" sahutnya begitu saja, lalu hendak menutup pintu kembali. "Mas ...." "Siapa, Tih?" Terdengar suara lembut dari dalam. Lalu tidak lama muncul sosok anggun yang masih tetap cantik di usianya yang tidak lagi muda. "Tante." Aku menyapa wanita itu lebih dulu sembari menganggukkan kepala. "Lho, Kayyisa?" Tante Anin, wanita yang telah melahirkan Mas Fatih balas menyapa dengan hangat. "Iya, Tante." "Sudah lama?" "Belum, Tante. Baru saja datang." "Kenapa enggak disuruh masuk, Tih?" Tante Anin beralih menatap Fatih dengan sorot protes. "Eng .... Belum sempat, Ma. Dia baru saja datang." Mas Fatih tampak gagap dan salah tingkah. Mungkin karena berbohong. "Ya, sudah. Ayo, disuruh masuk." "I-iya, Ma." Setelah bicara pada Tante Anin, Mas Fatih beralih kembali padaku dengan tatapan tajamnya, "Masuk, Kay," ucapnya dibuat bernada hangat, tetapi kontras dengan sorot mata dan ekspresi wajahnya. "Masuk, Kay." Tante Anin turut mempersilahkan. "Terima kasih, Tante." "Sama-sama." "Tante, saya bawakan Mille crepes." Aku segera menghampiri wanita yang hampir menjadi mertuaku itu, mencium punggung tangannya takzim, lalu mengulurkan kotak berisi Mille crepes yang tadi aku buat padanya. "Duh, repot-repot, Kay. Enggak perlulah bawa apa-apa kalau mau ke mari. Kamu mau ke sini saja tante sudah senang." "Enggak repot,kok, Tante. Saya senang nge-baking soalnya," balasku. "Ya, sudah kalau begitu. Terima kasih banyak buah tangannya. Kalian ngobrol dulu. Tante mau ke belakang." "Iya, Tante." Tante Anin segera berlalu sambil menenteng kotak berisi Mille crepes yang aku bawa. Mas Fatih menatap punggungnya yang perlahan hilang di antara sekat. Setelah itu, ia kembali beralih padaku. "Ada perlu apa?" tanyanya masih dalam posisi berdiri. "Mas enggak mempersilakanku duduk?" "Enggak perlu!" "Mas ...." "Mau bicara apa?" "Mas kenapa jadi berubah angkuh begini?" tanyaku serak. Sakit sekali rasanya ketika setiap kata yang meluncur dari bibirnya terdengar begitu ketus dan dingin. "Lalu kamu mau aku bersikap bagaimana?" Dari biasa dia membahasakan dirinya dengan sebutan 'Mas' menjadi aku, itu saja rasanya sangat tidak nyaman. "Mas seperti begitu membenciku." Dia tidak membalas, hanya berdecak sinis. "Apa karena, Mas, pikir aku masih bersuami? Aku sama dia sudah bercerai, Mas," tuturku. Laki-laki itu justru terkekeh meremehkan, "Ya, pantas saja bercerai. Siapa yang bisa tahan dengan perempuan sok lugu, tapi munafik seperti kamu," ucapnya.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD