Saksi di Kematian Anna

1607 Words
Hai perkenalkan namaku Linn, aku penyuka dua warna yang suka berdiam diri. Suka dengarin musik, suka menulis dan suka menonton film. Akan aku ceritakan bagaimana kisah ku bertemu dengan mereka. Mereka yang aku sebut para gentayangan. Salah satunya bertemu dengan si M yang kemudian menjadi teman baik ku. *** Ini yang kesekian kalinya aku harus bolak balik ke Rumah Sakit, hingga merasa Rumah Sakit adalah rumah kedua bagiku. Bahkan sudah tak mengenal kata bosan lagi, karena begitu seringnya aku mendatangi tempat ini. Aku ditempatkan di ruang Asoka 13. Saat masuk kondisiku memang sudah tidak begitu baik, tidak bisa mengingat dengan jelas. Dalam keadaan sakit seperti sekarang ini. Aku malah bisa melihat dengan jelas apa yang tidak semestinya terlihat dan itu bisa berlangsung lebih lama dari biasanya. Bertahun-tahun mengalami sakit dengan masalah yang sama yaitu di diagnosa infeksi paru, terkapar menahan rasa sakit yang luar biasa. Ditambah dengan aura ruangan yang benar-benar tidak nyaman buatku. Melewati rasa sakit lalu sakit itu tiba-tiba hilang sesaat, saat Aku melihat kehadiran mereka diantara orang-orang yang bergantian menjengukku, meski tidak begitu jelas, samar-samar mereka berbaur dengan orang-orang yang ada di dekatku. Sesekali menikmati, pelan tak terasakan, hingga pandanganku tertuju pada satu sosok perempuan bergaun putih dengan rambut terjuntai menutupi wajahnya, duduk tepat di samping tempat tidurku. Aku hanya diam memperhatikan. Banyak tanya memenuhi pikiranku mengira tadinya itu salah satu teman yang menjengukku, tapi pikiran itu cepat tertepis dengan melihat penampilan perempuan itu, yang jauh lebih mirip dengan sosok yang sering aku liat di film-film horor. 'Iya itu hantu bukan manusia. Masa iya manusia, rambut dan pakaiannya seperti itu.' gumamku. Dan ternyata memang benar, dia adalah sosok tak kasat mata, namanya adalah Marliani, aku mengetahui namanya beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit. Ternyata perempuan itu mengikuti ku hingga ke rumah. Dia berbeda sekalipun dia hantu, memperkenalkan diri nya dengan cara yang baik, tidak main nongol begitu saja kayak kebanyakan hantu lainnya. Marliani hadir di antara pertemuanku dengan Anna si cewek bule misterius yang mati dibunuh oleh orang-orang primitif. Aku dan Marliani adalah saksi hidup dan mati saat Anna di eksekusi dengan sangat kejam oleh mereka. *** “Kenapa?” Tanya suamiku, saat mendadak aku meminta dia untuk memindahkan jaketnya yang ter-sampir di badan kursi. Aku hanya diam sesaat, tidak langsung menanggapi. Setelah dipindahkan, baru aku menceritakan soal penampakan yang sedari tadi mengganggu pandanganku. Ku pikir, tadinya ide dengan memindahkan jaket itu, bisa membuat perempuan misterius itu pergi dan menyingkir, tapi ternyata aku keliru. Hingga tiga hari tiga malam, perempuan itu masih saja ada di situ, duduk di kursi, diam tanpa ada reaksi. Jangankan bicara, bergerak pun tidak, hanya tertunduk diam membisu. 'Dasar hantu!!' seru ku dalam hati. Aku sendiri tidak bertanya, karena aku juga tidak begitu suka membuka percakapan dengan sosok seperti mereka, terutama pada sosok yang baru saja aku temui, apalagi dengan kondisiku yang seperti sekarang ini. Aku memilih menghindarinya, meski biasanya tidak. Entahlah, sebenarnya apa yang diinginkan perempuan itu. Aku bahkan sempat berpikir, kalau perempuan itu mungkin menunggu kematian ku atau hanya makhluk yang tersesat dari luar yang singgah sebentar lalu pergi. Tapi kenapa bisa berhari-hari, bahkan diusir secara halus pun dia tidak juga peka dan tidak mau pergi. Apa iya dia mau menakut-nakuti ku. Entah lah! Aku tidak begitu peduli, apa lagi takut. Seminggu berlalu .... Sejak aku keluar dari rumah sakit aku lebih fokus ke Anna, karena aku pikir Anna mengambil separuh ingatanku tentang kisah tragisnya. Iya tentang Anna si cewek bule misterius .... yang mempertemukan aku dengan Si M alias Marliani. *** Jadi waktu aku di tempatkan di ruang Asoka 13. Ada tiga pasien termaksud aku di ruangan itu, tapi selang berapa hari mereka sudah tidak ada. Tentu saja itu membuat aku jadi bertanya-tanya, kenapa? "Kok pasien lain sudah gak ada, pada kemana Yah, apa sudah pulang semua?" tanyaku pada suamiku sambil mengamati sekeliling. "Nggak! Mereka semua minta pindah." jawab suamiku pelan. "Hm ... pindah, kenapa?!! Apa karena aku?" "Iya, mereka takut!!" Jawab suamiku spontan, membuat aku sedikit bertanya-tanya kenapa? "Yaa bagus kan! Jadi kita cuma berdua," ucap suamiku yang mencoba menghibur ku agar raut wajahku tak menampakan wajah sedih. Jika rasa sakit itu tiba-tiba datang, aku memang suka bicara ngawur, terlebih saat merasa sesak karena kesulitan bernafas. Wajar saja mereka pada minta pindah pasti mereka terganggu sekali dengan keadaanku waktu itu, berisik kesakitan dan campur mengigau. Satu hari aku tidak begitu ingat, entah karena rasa sakit yang luar biasa atau mungkin juga karena reaksi obat, aku merasakan suasana seperti yang sebelum-sebelumnya namun ini sedikit berbeda. Merasa berada di dua tempat sekaligus namun dalam waktu yang bersamaan. Aku melihat seorang perempuan sedang berlari ketakutan. Saat itu kami ada di hutan, hutan yang masih asri dengan pepohonan yang rimbun, rumput-rumput hijau dengan kesejukannya. Aku melihat Anna, entah bagaimana aku bisa tahu kalo perempuan itu bernama Anna. Aku juga melihat, orang-orang itu berusaha mengejarnya, orang-orang dengan look yang sedikit berbeda karena di tubuh mereka hanya melekat sepotong kain untuk menutupi di bagian kemaluan mereka, selebihnya tak ada. Seperti menonton adegan film dan sekaligus menjadi pemain aku berada di antara mereka, di lokasi yang sama, hanya saja cuma Anna yang bisa melihatku. Sementara yang lain tidak. "Run Anna ... run nn ... Go ... Goo!! teriakku ke perempuan berambut pirang itu. "Cepat Anna lari! Cepat sembunyi! Cepat! Jangan sampai mereka menangkap mu. Aku bersemangat meneriaki Anna seolah aku juga ikut dikejar oleh mereka. Aku berada di sampingnya, ikut berlari dan menyemangatinya, sesekali aku berbicara dalam bahasa Inggris karena Anna tidak begitu fasih menggunakan bahasa Indonesia meski dia memahami artinya. Kami terus berlari, rasa takut dan was-was campur jadi satu, bagaimana jika mereka sampai menangkap kami, kami mulai menangis ketakutan, Orang-orang itu semakin mendekat. Entah bagaimana, saat kami trus berlari menghindar, tiba-tiba kami sudah ada di Rumah sakit di dalam ruangan Asoka. Segera aku meminta Anna bersembunyi. "Ayo Anna cepat sembunyi di bawah tempat tidurku. Cepat!" teriak ku histeris meminta Anna untuk sembunyi. Anna mengikuti ucapan ku, dia segera merunduk dan bersembunyi di bawah tempat tidurku. Bersamaan itu Anggi datang mencarinya. Anggi adalah pria yang suka dengan Anna, bagaimana dia bisa muncul tiba-tiba tanpa merasa khawatir dengan keadaan Anna. Apa dia tidak mengetahui jika orang yang dia sukai itu dalam bahaya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mengetahui semuanya, seakan-akan sudah mengenal mereka semuanya dengan baik. "Anggi, sebaiknya kamu pergi dulu sana! Nanti kamu kesini lagi, please!! Tiga atau lima menit lagi jangan sekarang" isak ku memohon supaya pria itu pergi. Aku takut orang-orang itu akan datang kemari .... Aku mendorong tubuh Anggi beberapa kali, mengusirnya supaya dia pergi dari ruangan ini. Bagaimana kalau Anna sampai ketahuan bersembunyi di sini gara-gara dia. "Pergi Anggi! Pergi! Aku mohon pergilah .... jangan kesini dulu!" teriakku sambil menangis, Anggi sama sekali tidak mau mendengarkan ucapan ku. "Bu!! Ini aku ... sadarlah! Istighfar, ini ayah" ucap suamiku. Suaranya mengagetkanku hingga secepat itu aku kembali ke ruangan ku. Ternyata dia bukan Anggi tapi suamiku. Entahlah padahal aku melihat dengan jelas kalau lelaki itu tadi nyata-nyata adalah Anggi. Aku hanya terdiam tanpa mampu lagi berkata, di situ aku sempat sadar lalu menangis .... "Pergilah, Yah. Biarkan aku sendiri" ucapku seolah dikontrol perintah tak kasat mata, walau di suruh pergi suamiku tidak bergeming. Aku tahu, suamiku tidak akan mungkin meninggalkanku sendirian. Aku hanya berpikir jika suamiku pergi maka Anggi pun ikut pergi. "Bu ... istirahatlah aku akan menjagamu, aku tidak akan pergi karena kita hanya berdua." ucap suami ku dengan lembut sambil berusaha merebahkan tubuhku agar berbaring. Tetapi saat itu aku tahu kami tidak berdua, ada orang lain bersama kami. Ahh!! benarkan, sebentar saja aku ingat kalau aku bersama suamiku. Tak lama berselang itu aku sudah merasa kembali lagi bersama Anggi. "Kau hanya di jadikan umpan Anggi, percayalah!" Aku melihat Anggi kebingungan. Aku merasa dia tidak paham dengan apa yang ku maksud. "Anggi, pergilah!" Aku mulai putus asa, lelah berusaha mengusirnya, tapi pria itu tetap saja ada di sampingku dan tidak mau pergi, dia tetap berusaha mencari Anna. Pikiranku semakin kalut dan aku hanya bisa menangis. Sedangkan Anggi, dia tidak tahu kalau dia diperalat oleh orang-orang itu, yang ternyata benar mereka memang sudah mengetahui soal Anggi, mereka sengaja membiarkan Anggi mencari dan menemui Anna, sehingga mereka tidak susah-susah untuk menemukan perempuan itu. Berapa saat ... yang aku takutkan terjadi. Karena Anggi, akhirnya mereka menemukan Anna. Mereka menangkapnya dan aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya, berusaha mencegah mereka, meneriaki mereka, tapi tak ada satupun dari mereka yang mendengarkan ku. Aku menatap mata Anna dia begitu sangat ketakutan dengan wajah pucat nya dan penuh air mata, tanpa belas kasihan mereka menyeretnya lalu menyayat leher perempuan itu hingga putus dengan sebilah belati. Aku hanya bisa menyaksikan sambil menangis histeris. "Linn ... kamu lihat meja itu! Benda yang melukaiku ada di bawah sana." ucap Anna sambil menunjuk meja yang berada persis tepat di samping tempat tidurku. Bersamaan itu kesadaran ku tiba-tiba kembali dengan posisi duduk dan masih dalam keadaan menangis sambil menyebut nama Anna. Sesaat setelah tangis ku reda, aku meminta suamiku mencari sesuatu yang tadi di tunjukkan oleh Anna, sambil mendengar ucapan ku soal wanita asing itu. Suamiku berusaha menemukan benda tersebut, tetapi tak ada apapun. Aku merasa aneh, rasanya bukan hanya belati yang ada di bawah meja itu. Akan tetapi ada sesuatu yang yang menjadikan sebab, kenapa Anna dikejar-kejar dan dibunuh oleh mereka. Aku tidak mau ambil pusing soal itu dan membiarkannya tetap menjadi rahasia. Disaat mereka mengeksekusi Anna saat itu lah ada sosok lain yang juga menyaksikan kematian Anna selain aku, dia adalah Marliani, sosok perempuan yang duduk bersandar di jaket suamiku. Beberapa jam setelah kejadian Anna berlalu, aku baru menyadari keberadaan Marliani saat itu. Itulah awal kisah dimana aku bisa bertemu dengan sosok Marliani yang tidak mau dipanggil kunti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD