Happiness

1026 Words
"Bagaimana? Menarik bukan?" "Iya." "Ini pengalaman berdansamu yang pertama?" "Iya. Terima kasih, Dean." Ucap Melody dengan wajah bahagia dan bersemu merah. Dean tersenyum, namun detik berikutnya pria itu tertawa terbahak-bahak saat dia mengingat betapa paniknya Melody saat dia menarik gadis itu untuk turun ke lantai dansa bersamanya. #Flasback On# "Bagaimana kalau nanti aku menabrak seseorang? Aku nggak mau Dean." "Nggak akan, Mel. Percaya sama aku." "Kalau nggak menabrak seseorang, pasti aku akan menginjak kakimu atau kaki orang lain. Nggak, aku nggak mau." Melody berjalan menjauh dari Dean. Gadis itu bermaksud untuk kembali ke tempatnya semula, tapi dia malah menabrak beberapa orang. Wajah Melody yang semakin bingung dan ketakutan membuat Dean bergegas melangkah mendekati Melody dan menggenggam erat tangannya. "Semua akan baik-baik saja, Mel. Percayalah padaku. Sekarang, tarik nafas perlahan lalu hembuskan." Ucap Dean yang langsung diikuti oleh Melody."Bagus, seperti itu." "Sudah lebih tenang?" Tanya Dean saat melihat raut wajah Melody yang berangsur-angsur kembali normal. "Iya." "Maukah kamu mempercayaiku?" Melody terdiam sejenak, kemudian dia menganggukkan kepalanya pelan. Dean membimbing gadis itu menuju tengah lantai dansa kemudian tangannya membimbing tangan Melody agar melingkarkan tangannya di pundaknya. Kemudian, dia melingkarkan tangannya ke pinggang Melody. Lalu, dia memberikan instruksi agar Melody bisa mengikuti gerakannya. Seiring dengan berjalannya waktu, gadis itu bisa menikmati waktu mereka di lantai dansa bahkan wajah kakunya telah tergantikan dengan wajah ceria yang berseri-seri. #Flashback off# "Kenapa kamu tertawa, Dean? Apakah gerakanku tadi memalukan? Aku membuat kesalahan?" "Nggak." Ucap Dean sambil berusaha menahan diri agar tidak tertawa lagi saat dilihatnya wajah Melody tampak cemas dan takut. "Beneran?" "Iya. Bener. Kamu sangat hebat dan luar biasa." "Lalu kenapa kamu tertawa?" "Kalau saja sedari awal kamu mau nurut padaku pasti nggak akan ada insiden tabrakan seperti tadi bukan?" "Maaf." "Nggak apa. Kalau tentang maaf, mungkin sebenarnya aku yang harus minta maaf padamu. Apakah aku telah membuatmu tidak nyaman?" Melody terdiam sejenak mempertimbangkan apakah dia harus berkata jujur atau tidak. "Sedikit. Tapi, hanya di awal saja. Kamu juga tahu kan kalau aku nggak pernah nyaman saat melakukan hal yang nggak pernah aku lakukan sebelumnya." "Tapi, aku senang bisa melakukan hal yang baru untukku." Tambah Melody sebelum Dean sempat mengatakan sesuatu. Dean tersenyum mendengarnya. "Aku senang mendengarnya. Kamu lapar? Mau makan sesuatu?" "Boleh. Kamu ingin makan apa?" "Kurasa steak akan cocok untuk penutup hari ini. Bagimana menurutmu?" "Hm..." Dean langsung mengenali reaksi penolakan halus Melody. Cowok itu tersenyum geli. Sepertinya, dia semakin mengerti setiap ekspresi yang ditampilkan gadis itu. Sikap defensif dengan raut wajah bingung dan cemas merupakan tanda bahwa gadis itu enggan melalukan sesuatu yang mungkin merupakan hal baru untuknya. "Kamu tenang saja. Aku akan membantumu memotongnya, jadi kamu hanya tinggal memakannya saja. Kalau kamu masih merasa kesulitan, aku nggak keberatan untuk menyuapimu." Goda Dean yang langsung membuat pipi Melody bersemu merah. "Gimana? Mau kan?" Tanya Dean lagi karena Melody tidak kunjung menjawab pertanyaannya. "Iya, boleh." "Baguslah. Jadi, hari ini kamu melakukan semua hal yang nggak pernah kamu lakukan sebelumnya." Melody tertawa. "Siapa yang bilang kalau aku nggak pernah makan steak? Steak buatan mami adalah steak terenak." "Kalau begitu, kenapa kamu bereaksi seperti itu?" "Aku takut kalau aku nggak bisa memotongnya dengan benar dan malah membuat mulutku belepotan saus." Ucap Melody malu. "Kamu tenang saja. Selama aku berada di sampingmu, aku nggak akan membiarkan hal memalukan seperti itu terjadi." Melody tertawa mendengar perkataan Dean. Dean tersenyum melihat tawa Melody. Entah kenapa, ada secercah perasaan nyaman di hati Dean saat melihat Melody tertawa. Di tengah canda tawa mereka, ponsel Dean berbunyi. Saat dia melihat nama yang tertera di layar ponselnya, senyum Dean agak memudar. Dia menghela nafas saat membayangkan harus sedikit berargumen dengan sang penelpon, tapi dia tetap menjawab panggilan telpon itu. "Ada apa?" "Segera bawa pulang Melody." "Memangnya kamu siapa sampai bisa menyuruhku seperti itu?" Tanya Dean dingin. "Kami masih mau pergi makan." "Dean!!! Apa kamu melakukan semua ini karena Anabelle?" Dean mendengus kasar. "Aku nggak sepicik itu. Ini nggak ada hubungannya dengan Anabelle. Semua itu sudah lama berlalu, jadi jangan terus mengungkitnya." Billie terdiam sejenak."Aku mau bicara dengan Melody. Berikan teleponnya pada Melody." "Kalau aku nggak mau?" "Dean!!" Dean menjauhkan ponselnya dan memberikannya pada Melody. "Billie mau bicara denganmu." "Halo..." "Halo... Kak Billie.." Ucap Melody lagi saat Billie tidak kunjung berbicara. "Halo, Mel." "Ada apa, Kak?" "Nggak ada apa-apa. Hanya saja aku dengar kalau seharian ini kamu keluar bersama Dean. Sebenarnya kamu keluar dengannya dalam rangka apa?" "Dean mengajakku ke tempat yang paling membahagiakan untuknya. Ini merupakan balasan darinya karena beberapa saat yang lalu aku mengajaknya berkunjung ke panti asuhan. Dia mengajakku ke sekolahnya. Kami menonton pertunjukan musikal, berdansa, dan menonton pertandingan basket antar kelas. Bahkan, dia juga mengajakku ke pameran foto dan lukisan lalu menceritakan satu per satu padaku. Seharusnya ini juga merupakan sekolah Kak Billie kan?" "Iya. Apa kamu bahagia, Mel?" "Iya. Hari ini terasa sangat menyenangkan. Walau awalnya terasa menakutkan karena ada banyak hal yang merupakan pengalaman pertama bagiku, tapi aku senang bisa mencoba beberapa hal yang baru bagiku." Billie tersenyum mendengar betapa cerianya Melody. "Saat bersamaku, apakah kamu juga sebahagia ini?" Gumam Billie pelan tapi Melody dapat mendengarnya dengan jelas. Gadis itu terdiam saat mendengar kesedihan dari suara Billie. "Maaf kalau aku menganggumu, Mel. Tapi, Kak Billie ikut bahagia kalau kamu merasa bahagia. Kalau begitu selamat bersenang-senang ya, Mel dan sampai jumpa nanti." "Aku juga sebahagia ini bisa menerima kebaikan hati Kak Billie." Ucap Melody cepat sebelum Billie menutup telponnya."Terima kasih telah menyayangiku. Maaf.." "Nggak perlu. Cukup ucapan terima kasih saja, Mel. Aku nggak mau dengar permintaan maaf darimu. Kamu nggak melakukan kesalahan apapun. Terima kasih sudah sebahagia itu menerima semua kebaikanku." Potong Billie. "Baiklah, aku tutup ya telponnya. Selamat bersenang-senang. Aku sangat menyayangimu." Tambah Billie lalu menutup telponnya. Melody segera mengembalikan ponsel Dean. Dean menerimanya sambil mengamati perubahan wajah Melody. Senyum yang tadi ditampilkannya telah menghilang entah kemana, tapi Dean sangat mengerti apa yang sedang dirasakan Melody saat ini. Cowok itu menghela nafas panjang lalu memeluk Melody. "Aku pasti sangat melukainya." Gumam Melody pelan dan membiarkan air matanya jatuh membasahi pundak Dean. Dean membelai punggung Melody kemudian menepuknya pelan untuk menenangkan gadis itu. Berharap dia bisa sedikit mengurangi rasa bersalahnya karena Dean tahu bukan salahnya jika dia tidak punya perasaan yang sama dengan Billie.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD