Perbincangan Yang Pertama

1518 Words
Dean menatap Grand piano putih di hadapannya dan menyentuh tutsnya dengan penuh kerinduan. Cowok itu menghela nafas panjang saat mengenali perasaan yang kembali muncul di hatinya. Ya, dia merindukan saat-saat dia bisa memainkan piano dengan bebas. Kali ini, rasa rindu itu begitu kuat sehingga dia harus menyerah dan memilih untuk duduk di kursi piano. Tangannya melakukan senam jari terlebih dahulu kemudian dengan percaya diri memainkan melodi 'Fur Elise' dengan sempurna. "Dean, kita harus bicara." Ucap Erlaine sesaat setelah Dean menyelesaikan permainan pianonya. Dean mendengus ke arah Erlaine dengan kesal. "Ada apa?" "Ikut aku." Dean bangkit berdiri dengan perasaan agak kesal dan berjalan mengikuti Erlaine yang rupanya membawanya ke ruang santai keluarganya. Dean mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya dan tatapannya berhenti di Melody. "Sedang apa dia?" Erlaine menoleh ke arah yang sedang ditatap oleh Dean. "Dia sedang belajar dengan guru privat." "Home schooling? Kenapa dia nggak sekolah di sekolah kebutuhan khusus aja?" "Dia pernah sekolah di SLB dan juga sekolah umum. Namun, mama dan papa akhirnya memutuskan bahwa home schooling adalah metode belajar yang paling tepat untuknya karena dengan begini Melody bisa memperoleh pendidikan dan mama serta papa bisa menjaganya." "Orang tuamu cukup over protektif juga rupanya." "Jangan mengalihkan pembicaraan lagi, Dean." Tegur Erlaine kesal. "Kemarin kamu belum memberikan penjelasan padaku kenapa kamu ingin tinggal di sini." Dean mengerutkan dahinya tidak setuju. "Aku bukan ingin tinggal di sini." "Ya, bagian itu sudah kamu jelaskan di telepon." Potong Erlaine tidak sabar. "Yang tidak kumengerti adalah kenapa kamu nggak pulang dan tinggal di rumahmu sendiri?" "Kamu nggak perlu mengetahuinya. Itu adalah urusanku." "Tapi, sekarang kamu tinggal di sini jadi aku juga berhak untuk mengetahui apa yang menjadi permasalahanmu." "Kamu benar-benar menyebalkan, Lan. Aku sangat heran bagaimana Alfonso bisa tahan denganmu." Gerutu Dean. Erlaine harus menarik nafas dalam-dalam agar tidak membentak Dean atau melakukan hal gila lainnya seperti menyiram seember air ke kepala cowok menyebalkan itu agar dia bisa berhenti asal bicara. "Aku akan segera pergi dari sini begitu Om Ted tiba." "Om Ted baru akan tiba lusa. Itu artinya kamu masih akan menginap semalam lagi di sini." "Orang tuamu keberatan?" "Nggak." "Kalau begitu, kenapa kamu harus sebawel ini sih, Lan?" "Dean!!" Bentak Erlaine menahan amarah sambil berusaha mengontrol suaranya agar tidak mengganggu Melody yang sedang belajar. Cowok itu menghela nafas panjang, tanda bahwa dia menyerah menghadapi Erlaine. "Aku bertengkar dengan papaku." "Lalu kamu kabur?" Dean mendengus mendengar nada suara dan tatapan mata Erlaine yang begitu meremehkannya. Tanpa dikatakan secara langsung, semua ekspresi Erlaine itu memiliki arti 'jadi cowok pengecut banget sih' "Ini hutang yang harus dibayar oleh sepupumu itu. Kalau bukan karena menyelamatkannya, tunanganku pasti nggak akan ribut." "Jadi..." "Iya." Potong Dean cepat. "Sudah puas?" "Aku benar-benar minta maaf, Dean. Aku nggak tahu kalau menolong Melody akan menimbulkan masalah seperti ini untukmu. Kamu tenang saja. Aku bersedia menjelaskan semuanya pada papa dan tunanganmu agar kesalahpahaman ini segera berakhir." "Nggak perlu. Sekarang, aku melihat semua ini sebagai peluang bagiku untuk keluar dari hal-hal yang menyebalkan dalam hidupku." Erlaine memandang Dean sambil menyipitkan matanya kesal. "Dia benar-benar egois. Bagaimana mungkin dia menyeret Melody dalam masalahnya yang rumit itu? Tapi, sepertinya dia sangat tertekan dengan kondisinya." Ucap Erlaine dalam hati sambil mengamati wajah Dean dengan lebih detail. Dean Vianno, nama itu benar-benar populer di kampus swasta, tempat Erlaine menempuh pendidikan International Bussiness Management. Pria itu merupakan salah satu idola kampus yang selalu membuat kehadirannya menjadi suatu hal yang dinanti oleh banyak mahasiswi di kampusnya. Cowok yang tampan, pintar dan kaya, namun nggak ada seorang gadispun yang bisa membuatnya tertarik kecuali Anabelle, teman sekelas Erlaine. Sayangnya, Anabelle hanya menyukai Billie yang merupakan sahabat Dean. Hubungan kedua sahabat itu sempat memanas namun akhirnya semuanya menjadi baik kembali. Akan tetapi, justru di saat hubungannya dengan Billie mulai membaik dan Anabelle mulai mau menerima kehadirannya, Dean malah dipaksa untuk bertunangan dengan Cheryl. Rumor yang berhembus di kampus menyebutkan kalau Dean bertunangan hanya demi perusahaan keluarganya dan dia sama sekali tidak mencintai tunangannya. Tentu saja itu bukanlah rumor tapi sebuah kenyataan karena Erlaine bisa melihat dengan jelas cinta yang menyala di mata Dean saat pria itu menatap sahabatnya. "Kamu ngelamunin apa sih?" "Nggak ada." Ucap Erlaine kaget sambil memaki dirinya sendiri dalam hati. Bagaimana mungkin dia sempat-sempatnya melamunkan masa perkuliahan Dean padahal pria itu berdiri di hadapannya. "Baiklah, kamu boleh menginap di sini sebagai ucapan terima kasihku karena kamu telah menolong Melody. Tapi, aku harap kamu bisa segera menyelesaikan masalah dengan papamu. Aku nggak mau kalau kamu sampai melibatkan Melody." "Oke. Thank you, Lan." Ucap Dean sambil menepuk pundak Erlaine dan berjalan meninggalkan gadis itu. "Kamu mau ke mana?" "Mandi." Teriak Dean. Erlaine hanya bisa bengong sejenak. "Dia lebih memilih untuk bermain piano terlebih dahulu daripada mandi dan sarapan." Gumam Erlaine bingung sambil menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 11 siang. *** "Dean, hari ini kamu akan pergi ke rumah Om Ted kan?" "Bukankah itu yang sangat kamu inginkan?" Erlaine mendengus kesal. "Melody bisa berangkat bersamamu? Dia ada latihan bersama Om Ted hari ini." "Kenapa nggak kamu aja yang mengantarnya?" "Pertama, aku ada urusan penting yang nggak bisa ditinggalkan dan aku bisa terlambat kalau kamu terus saja bawel. Kedua, bukankah kamu juga akan ke rumah Om Ted? Lebih efisien kalau kamu berangkat bersamanya. Lagipula itu tidak merepotkanmu sama sekali." "Nanti aku akan menjemputnya jadi tenang saja nggak ada seorangpun yang merepotkanmu." Tambah Erlaine cepat sebelum Dean sempat mengatakan sesuatu. "Baiklah. Suruh dia cepat sedikit ya. Aku akan menunggu di mobil." Erlaine hanya mendengus sebal. Dia berjalan ke kamar Melody dan mengetuknya pelan. "Melody berangkat ke rumah Om Ted sendiri aja, kak." Ucap Melody pelan setelah membukakan pintu untuk Erlaine. "Kamu mendengar perbincangan kami?" Melody menganggukkan kepalanya. "Sepertinya dia nggak suka kalau Melody berangkat bareng dia." Erlaine menghembuskan nafasnya keras. Dia memegang tangan Melody sambil menatap wajah sepupunya itu. "Dean memang menyebalkan, tapi dia nggak jahat kok. Mungkin dia merasa kurang nyaman denganmu karena hubungannya dengan tunangannya memburuk setelah dia menolongmu di pesta waktu itu. Tapi, kalau dia sudah mengatakan bahwa dia bersedia mengantarmu itu artinya dia akan mengantarmu ke tempat tujuan dengan selamat. " "Dia bertengkar dengan tunangannya?" "Hm... Gimana menjelaskannya padamu ya, Mel?" Gumam Erlaine bingung. "Sebenarnya itu bukan salahmu sepenuhnya karena hubungan Dean dan tunangannya tidak seperti orang yang bertunangan pada umumnya. Pokoknya kamu berangkat ke rumah Om Ted bareng dia aja. Kalau dia berani membentakmu, bentak balik saja dia. Atau, kamu bisa mengatakannya nanti pada Kak Lanny biar nanti aku yang mengomelinya." Melody tersenyum kecil mendengar nada suara Lanny. "Kak Lanny sebel banget sama Dean ya?" "Iya. Dan, aku juga akan sebal padamu kalau kamu secerewet dia dan menyebabkan aku terlambat bertemu dengan klienku." "Upss.." Ucap Melody lalu tertawa geli karena dia dapat mendengar dengan jelas nada bercanda Erlaine yang bercampur dengan ketegangan. Akhirnya kedua gadis itu berjalan menuju mobil Dean. Erlaine membantu Melody masuk ke dalam mobil dengan hati-hati. "Hati-hati di jalan dan jangan ngebut sembarangan Dean." "Cerewet!!" Seru Dean sambil melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah Erlaine. "Hm... Aku minta maaf." Dean hanya menoleh sekilas ke arah Melody. "Aku bersedia menjelaskan semuanya pada tunangamu." Tambah Melody saat Dean tidak kunjung mengatakan apapun. "Nggak perlu mengurusi sesuatu yang bukan urusanmu." "Tapi, itu juga salahku. Kalau saja waktu itu kamu tidak menolongku pasti semua kesalahpahaman ini nggak akan terjadi." "Lanny yang mengatakan semua itu padamu?" "Iya. Aku serius saat mengatakan aku bersedia menjelaskan semuanya pada tunanganmu." "Aku juga serius saat mengatakan jangan mencampuri sesuatu yang bukan urusanmu." "Tapi, itu terjadi karena kesalahanku." "Pokoknya aku melihat kejadian ini sebagai solusi bagiku untuk mengakhiri hubunganku dengan dia." "Kamu nggak mencintai dia?" Tanya Melody langsung, tapi kemudian cewek itu langsung terdiam dan terlihat serba salah. Dean melihat ekpresi Melody dan tersenyum geli. "Apakah aku menakutkan?" "Hm..." Tawa Dean meledak. "Nggak perlu dijawab lewat kata-kata. Bahasa tubuhmu sudah memberikan jawaban dengan sangat jelas." "Bagiku, kamu memang sedikit menakutkan tapi permainan pianomu seindah yang diceritakan oleh Om Ted." "Om Ted menceritakan permainan pianoku padamu?" "Iya. Om Ted bilang bahwa kamu adalah raja festival. Permainan pianomu selalu sempurna. Hanya dengan belajar sekali, kamu langsung mampu memainkan partitur dengan sempurna. Apa kamu tau saat Om Ted bercerita tentangmu, dia selalu bercerita dengan riang dan bangga seolah kamu adalah putra kandungnya?" "Hubunganku dengan keluarga Billie memang sangat dekat. Bagiku, Om Ted sudah seperti papa kandungku. Dia adalah papa yang membawaku ke dunia yang aku cintai, dunia musik terutama piano." Ucap Dean pelan. "Oh iya, bagaimana caramu belajar piano? Maksudku, kalau orang normal akan mempelajarinya dengan membaca notasi balok kemudian memainkannya di piano. Kalau kamu?" "Aku mempelajarinya dengan mendengarkan melodinya beberapa kali kemudian mencobanya di piano. Kalau awal belajar dulu, Om Ted harus membimbing tanganku untuk mengenal tuts piano dan mengulang melodi sebuah lagu berkali-kali." "Apa kamu bercita-cita untuk menjadi seorang pianis terkenal?" Melody tertegun sejenak kemudian tersenyum. "Aku hanya menyukai piano karena saat bermain piano aku bisa meluapkan perasaanku setiap aku teringat masa-masa kelam dalam hidupku. Tapi hanya sampai di situ. Aku nggak memiliki ambisi lebih dari itu." Dean sudah akan bertanya tentang masa-masa kelam yang dimaksud oleh Melody, namun cowok itu sadar bahwa dia harusnya menghormati privasi Melody seperti dia meminta Melody untuk menghormati privasinya. Jadi, akhirnya cowok itu mengalihkan pembicaraan ke hal-hal remeh lainnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD