Prolog

220 Words
Archi mendongak, semilir angin menarik atensinya karena terasa berbisik. Matanya awas menatap kesana kemari, walau tak ada apapun selain hamparan rumput hijau yang membentang seluas mata memandang. Archi semakin mendongak, namun tangannya segera menutupi mata karena cahaya yang menerobos dari celah dedaunan. Angin kembali berhembus, sedikit lebih kencang, hingga membalik lembar dan menjatuhkan pena yang ia letakkan. Archi pun membungkuk, namun sebelum dirinya sempat meraih, sebuah tangan lebih dulu terlihat, mengambil alih pekerjaan Archi dan mempermudahnya. Tangan yang menggenggam pena itu kini terulur ke arah Archi, membuat sosoknya mendongak untuk menatap. Archi sedikit terkesiap, sedangkan sosok itu segera mengusap lembut kepalanya. "Kakak di sini, Sayang." Archi berkaca dan akhirnya menangis detik itu juga. Buku yang ada di pangkuannya tak ia hiraukan, dirinya memilih untuk memeluk sosok di hadapan. Yang dipeluk hanya bisa tersenyum, mengusap pelan kepala Archi yang membenamkan wajah pada perutnya. "Udah, Sayang. Udah nangisnya. Nggak papa, nggak papa." Archi menjauhkan diri dan Rey menggunakan kesempatan itu untuk berlutut di hadapan sang istri. Kekehannya terdengar, membuat Archi sadar betapa tawa kotak itu ia rindukan. "Kakak di sini, nyusul Archi." Archi tersenyum seraya mengusap pipi sang suami, "Kakak harusnya bahagia." Rey sekali lagi terkekeh, "Bahagianya Kakak kan kamu, makanya Kakak disini." Rey menghapus air mata Archi, lalu mengecup punggung tangannya, "I'm your future, your past, and I'm here, my dear."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD