Panik

1799 Words
Ayah Dirga datang bersama Roy, keduanya sama-sama berjalan dengan cepat karena panik yang melanda setelah mendapat kabar tentang Archi yang hendak melahirkan sebelum waktunya. Ketika sampai, pemandangan pertama yang terlihat adalah ibu yang terlihat tak kalah panik. Beliau mondar-mandir di depan pintu ruang operasi sambil menggigit ibu jari. Twins tampak hilang, tatapannya terlihat linglung selama duduk di kursi tunggu sambil bergandengan tangan. Keduanya hanya diam menatap sang nenek yang tak bisa diam, sesekali mereka juga menatap ke arah pintu dimana bundanya dibawa masuk ke dalam ruangan itu. Sedangkan Sasa, gadis itu terlihat tak acuh. Dirinya duduk berjauhan dengan twins, sibuk bermain ponsel. Sasa memang sempat ikut panik tadi, tapi tidak lagi. Karena jika memang sesuatu terjadi pada Archi, bukankah itu bagus untuk dirinya sendiri? Ayah menghembuskan napas berat, mengundang atensi mereka. Beliau pun menunjuk twins dengan dagunya, "Bawa pergi ponakannya." Lalu mengeluarkan dompet dan menyerahkannya begitu saja kepada Roy, "Jajan yang banyak, yang lama." Roy sempat melirik ibu dan Sasa sebelum menerima dompet tebal milik sang ayah, lalu mengangguk begitu saja. Ia pun mengantongi benda itu dan mengulurkan tangan pada twins, "Yok, ikut Om. Suruh jajan yang banyak kata Kakek." Twins sempat terlihat ragu, keduanya sama-sama menatap pintu. Ayah Dirga pun akhirnya menghampiri mereka, berlutut di hadapan cucunya. "Nggak papa, kalian jajan, main aja. Nanti kalo udah boleh masuk pasti Kakek bilangin, kan Bundanya lagi ditolongin sama dokter." Arkin menggigit bibirnya, namun Arkan menepuk pelan punggung tangannya yang ia genggam, "Sama Tante Dara." Ayah Dirga mengangkat kedua alisnya, "Oh? Tante Dara?" Arkan menganggukkan kepalanya, "Tadi berantem dulu sama Ayah, nggak tau kenapa." Ayah Dirga pun terkekeh, lalu mengusap kepala Arkan. Beliau menatap Arkin sekali lagi yang terlihat masih ragu untuk pergi, "Adek nggak mau ninggalin Bunda?" Dengan bibir yang masih digigit, pelan-pelan Arkin mengangguk. Ayah yang gemas mengusap pipi Arkin, Roy pun sampai ikut berlutut di hadapan keponakannya. Tangan Roy terangkat untuk mengusap kepala, "Bunda masih lama keluarnya, nanti bareng sama adek bayi." Kalimat Roy agaknya sedikit menarik atensi Arkin, anak itu mendongak untuk menatap omnya, "Iya?" Roy terkekeh, "Iya. Tapi nanti, kalian harus mau Om ajak main dulu." Arkin menatap pintu sekali lagi dan kembali menatap Roy, "Kenapa? Kenapa harus main sama Om dulu kitanya?" Roy mengerjap, sempat bingung hendak menjawab apa. Namun Arkan lebih dulu bersuara, "Soalnya malu adek bayinya." Ia pun turun dari kursi, lalu sedikit menarik tangan Arkin dan tersenyum tipis, "Sambil nunggu, ayo main dulu?" Ayah Dirga tersenyum lebih lebar sedangkan Roy rasanya ingin menangis. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, ingin menyangkal jika dua anak kembar itu keponakannya, namun wajah mereka terlampau mirip dengan kakaknya. Roy menarik napas dalam-dalam setelah berdiri, ia pun ikut mengulurkan tangan pada Arkin, "Ayo main?" Arkin menggigit bibirnya sekali lagi, matanya menatap kakek, kembaran, juga omnya. Dirinya juga sempat menarik napas panjang sebelum akhirnya melompat turun dari kursi, "Ayo, sambil nungguin adek bayi." Roy pun segera menggandeng twins di kanan kiri. Namun sebelum benar-benar pergi, ia menatap pintu ruang operasi dan berucap dalam hati, 'Lo harus bangun Kak Archi.' Begitu anak dan cucunya pergi, Ayah Dirga segera menghampiri sang istri. "Puas? Udah puas kamu? Harus banget bikin menantunya masuk rumah sakit dulu?" Ibu Jihan mengetatkan rahangnya melihat Ayah Dirga yang murka, matanya berkaca saat menatap mata berapi suaminya. Udara seketika terasa menguap, ketegangan sangat terasa di antara keduanya. Bahkan Sasa yang tadi tampak tak acuh kini duduk dengan tegak setelah menyimpan ponselnya, takut melihat Ayah Dirga. Sebelum perdebatan itu berlanjut, atensi mereka lebih dulu teralih pada pintu. Perawat terlihat, juga bayi yang berada dalam kotak. Tanpa banyak kata Ayah Dirga segera mendekat, "Gimana operasinya? Mana bundanya?" Sebelum perawat sempat menjawab, Dara lebih dulu terlihat. Perawat pun tersenyum ramah, membiarkan Dara yang berbicara pada orang tua sahabatnya. "Archi masih harus dipantau karena dibius total. Ini cukup jauh dari HPL, pendarahannya parah, terpaksa harus dioperasi juga karena tali pusarnya ngelilit leher bayi. Tapi tenang aja, lancar kok semuanya." Dara pun menatap sendu ke arah sang bayi, "Harus masuk NICU juga si Reychi." Namun kemudian ia tersenyum setelah menarik napasnya, "Rey masih di dalem, paling keluar sebentar lagi. Kalo mau jengukin Archi satu-satu aja, biar lebih enak dia istirahatnya." Ayah Dirga mengangguk, "Makasih, Ra." Dara menggeleng pelan, "Udah tugas saya." Dirinya juga tersenyum sekali lagi, "Mari." Dara pun melenggang diikuti perawat yang membawa Reychi. Setelah Dara dan perawat lainnya menjauh, Ayah Dirga segera mengukir senyum miring seraya mendengus, "Denger nggak kata Dara? Ulahmu itu." Napas ibu kembali memburu, tangannya dikepal erat di sisi tubuh. Beliau hendak membantah, namun sebuah suara lagi-lagi menarik atensi mereka. Terdengar hentakan langkah yang terburu-buru, semakin mendekat ke arah mereka karena semakin jelasnya suara. Luke berjalan teramat cepat dengan langkahnya yang lebar. Setelah bertanya pada resepsionis, ia segera menuju ruangan yang ditunjukkan. Matanya terlihat berapi saat mendapati sosok yang teramat familiar. Dan tanpa banyak kata, tepat setelah sosok itu menutup pintu, Luke menarik kerah bajunya. "Musnah lo, anjing!" Teriakan Ibu Jihan terdengar, namun saat hendak menghampiri Rey, tangannya justru ditahan. Tatapan Ayah Dirga masih sama, terlihat murka. Maka walau Ibu Jihan menangis dan berusaha melepaskan diri karena melihat anaknya yang dipukuli, ayah tak bergeming sama sekali. Luke baru menghentikan aksinya ketika teriakan lain terdengar. "Ayah!" Itu teriakan twins. Arkin memaksa turun dari gendongan Roy dan berlari menghampiri Rey. Anak itu menangis saat melihat ayahnya terkapar di lantai. Arkan pun melempar es krimnya begitu saja, berlari, dan langsung berlutut di samping tubuh ayahnya. Arkan tidak menangis, namun wajahnya terlihat panik memandangi wajah Rey yang berdarah dan memiliki lebam di sana sini. Sedangkan Arkin justru bangkit dari posisi, dirinya masih menangis namun menghampiri Luke yang tetap berdiri. Arkin memukul-mukul paha sosok di hadapannya yang menjulang tinggi, menangis dengan keras, protes kenapa ayahnya dipukuli. Luke berjongkok, berusaha menenangkan Arkin yang masih melayangkan pukulan ke sembarang arah dengan memeluknya. Namun Arkin masih saja menangis dengan kencang, "AyahㅡAyah, heee, kenapa Om Luke mukulin Ayah?" Ayah Dirga akhirnya melepaskan Ibu Jihan dan membiarkan sang istri menyusul cucunya, menghampiri anak sulungnya yang malah tertawa. Rey mengusap lembut kepala Arkan, tak lupa mengulas senyum yang dilanjut dengan desisan perih. Dirinya harus bangkit untuk menenangkan Arkin yang masih saja menangis. "Adek, sini Sayang, liat sini, Ayah nggak papa, sakit dikit aja." Arkin belum puas, dalam posisinya yang memeluk Luke, ia menangis sambil memukuli punggung sosok itu. "Adek, hei, sini dulu liat Ayah." Rey mengerang saat berusaha untuk berjongkok, mensejajari anaknya. Matanya sempat memicing saat menatap Luke karena sosok itu tak hanya menyerang wajah namun juga perutnya. Rey pun akhirnya menyentuh tangan Arkin dan sedikit menariknya, "Udah, udah, sini. Liat Ayah sini, nggak papa, Sayang. Nggak papa ayahnya." Arkin sesenggukan dan terlihat kesulitan bernapas, membuat Luke seketika menyesali perbuatannya. Tatapannya pun melunak saat melihat Rey yang tersenyum dan berusaha untuk tetap tenang. Rey memeluk Arkin, menepuk-nepuk punggungnya, "Ssh, ssh, sshh. Udah, udah, Sayang. Udah nangisnya, Ayah nggak papa." Arkin masih menyengguk namun dirinya berusaha melepaskan pelukan, menghapus air mata, dan menatap ayahnya. "AyahㅡAyah diobatin dulu." Arkin menatap Roy yang berjalan mendekat, "OmㅡOm Roy obatin Ayah, ya? Ayah banyak luka." Roy tersenyum tipis, mengusap kepala Arkin dan mengangguk, "Iya, tapi kamu berhenti dulu nangisnya." Arkin mengangguk dengan cepat, dirinya masih sesenggukan, kesulitan mengatur napas. Namun Rey dengan lembut menyentuh tangannya, tersenyum menatap sang anak, "Pelan-pelan, nggak papa. Pelan-pelan aja napasnya." Luke yang melihat itu pun menghela napas, namun akhirnya mengulurkan tangan dan membantu Rey untuk bangkit. Rey mendudukkan diri di kursi tunggu, diikuti Arkin yang masih sangat terlihat khawatir. Luke sempat berdecak kecil, "Lemah dasar. Mana Archi?" Rey menunjuk ruangan di sebelahnya dengan ibu jari dan tanpa banyak kata Luke segera membuka pintunya, meninggalkan Arkan dan Arkin yang sempat menatapnya lama. Beberapa orang yang tadi memperhatikan kembali sibuk dengan urusannya. Beruntung saat security datang, tak ada lagi perkelahian. Roy membantu Rey berjalan, mengikuti seorang perawat yang tadinya membawa security. Tak lupa dengan twins yang berjalan di depan mereka, masih khawatir dengan ayahnya. Setelah kepergian mereka, Ayah Dirga segera menghampiri sang istri yang mendudukkan diri di kursi tunggu, menghembuskan napas berat dan mengusap wajahnya. Beliau berdiri tepat di hadapan istrinya, "Sekarang aku tanya, kamu ngapain?" Ibu Jihan mendongak, terlihat lelah menatap ayah. "Kenapa kayak gini diulangin? Nggak terima dulu diperlakuin kayak gini sama mendiang Mama? Terus malah ke Archi bales dendamnya?" Menghindari tatapan, ibu memilih untuk kembali menunduk, juga menggeleng pelan. "Nggak inget dulu gimana sakit hatinya? Nggak inget pernah nangis-nangis sendiri? Kenapa malah gini juga sama Archi?" Ibu menunduk sambil menutupi wajahnya, kenangan-kenangan buruk itu kembali terlintas, saat dimana beliau diperlakukan dengan tidak baik oleh sang mertua. Rasa sakit kembali menghantam d**a, ibu nyaris saja menangis, namun ucapan Ayah Dirga membuat beliau mendongakkan dengan cepat kepala. "Apa segitu pengennya satu keluarga sama Papanya Sasa? Sampe tega ngancurin rumah tangga anaknya." Ayah menatap Ibu Jihan tepat di mata, "Kalo gitu kenapa kita nggak cerai aja? Biar sekalian kamu jadi Mamanya Sasa." Sasa yang sejak tadi mendengarkan perdebatan keduanya dari kursi di seberang reflek berdiri, mendekat ke arah mereka, bertanya, "Maksud Om apa?" Ayah Dirga sedikit menyeringai menatap Sasa, lalu menatap istrinya, "Nggak tau nih anak kesayanganmu?" Sasa mengerutkan dahinya, "Nggak tau apa Om maksudnya?" Ayah menggeleng pelan, "Kamu nggak tau kalo orang yang kamu anggep calon mertuamu ini pernah naksir berat sama papamu?" Ibu Jihan segera berdiri, "Mas!" Ayah pun mengangkat sebelah alisnya, "Apa? Bener, kan? Kamu sempet minta dijodohin bahkan. Tapi ya Papanya Sasa udah punya pacar, temenmu sendiri, mereka diem-diem di belakang." Sasa terkejut mendengar semua ini, dirinya benar-benar bingung karena tak mengetahui fakta ini. "Aku tau aku nggak sekaya dia, keluargaku nggak kayak keluargamu yang kenal sama orang-orang berpengaruh. Aku tau mendiang Mama pernah salah, tapi kenapa kamu milih dan tetep mertahanin semua ini? Karena anak-anak? Kalo emang iya, mereka udah gede sekarang. Kalo kamu emang pengen pergiㅡ" Ibu Jihan yang sejak tadi mengepalkan tangan, mencoba mengatur napas yang memburu, juga degup jantung yang berdebar tak beraturan akhirnya bersuara karena tak ingin lontaran tidak masuk akal kembali keluar dari suaminya. "Karena semuanya udah beda!" Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah juga. Setelah sekian lama, Ibu Jihan kembali menangis di hadapan suaminya. "Di detik aku milih kamu, semuanya udah beda! Nggak ada lagi rasa buat Papanya Sasa! Aku tau aku salah! Aku tau aku nggak harusnya kayak gini! Aku tau posisiku dulu sama kayak Archi sekarang ini! Aku tau, tapi rasanya aku nggak bisa berhenti! Akuㅡ" Ayah Dirga menarik istrinya, membiarkan sosok itu menangis dalam pelukannya, menggumam tak jelas entah berbicara apa. Ayah yang kemudian menyadari jika Sasa masih berdiri di tempatnya melirik malas, "Sana pergi." Sasa mengerutkan dahi, "Tapi Omㅡ" Ayah menggerakkan satu tangan, melepas pelukan, "Apa mau istri saya jadi mama tirimu yang baru?" Sasa sempat terdiam, namun dirinya lekas pergi dengan raut wajah yang kentara kesal. Tangannya pun dengan cepat merogoh saku, menelepon seseorang, "Cariin tiket ke Jakarta, sekarang!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD