Istri ajaib

1078 Words
Waktu dua minggu yang di lalui Derren mengenal Aira pun berlalu. Kedua orang ini memang masih belum bisa saling memahami. Tapi mereka memiliki cara tersendiri untuk saling berkomunikasi, bukan seperti pasangan suami istri pada umumnya.   “Ai, mana seragam gue?” teriak Derren dari dalam kamar mengobrak abrik lemari yang tadinya tertata rapi.   “Seragam, seragam elu. Ngapa nanya gue?” jawab Aira yang sudah berdiri di ambang pintu kamar.   “Kan elu yang bertugas rapi-rapi,” masih dengan mengacak-ngacak isi lemari kamarnya.   “Lu bisa gak sih, jangan main berantakin kaya gini? Gue gak mau tau, pulang sekolah lu harus rapiin ini semua!” dengan menyerahkan baju seragam milik Derren, Aira mengomel.   Siapa juga yang gak pengen ngomel-ngomel, pagi-pagi sudah main berantakin isi lemari.   “Iye, tapi maleman ya. Nanti pulang sekolah gue ada meeting,” Derren mengacak rambut Aira sebelum meninggalkannya.   Aira kembali ke dapur untuk melanjutkan membuat sarapan untuk mereka berdua. Setelah selesai memakai seragamnya, Derren menyusul Aira ke ruang makan yang gabung dengan dapur. Menyantab sarapan sederhana buatan Aira yang selalu di nantikan Derren.   Mereka berdua hanya bertemu di pagi hari saat sarapan dan malam sebelum tibur. Ya, mereka tidur di kamar dan ranjang yang sama, selain emang sudah sah. Mereka tak memiliki kamar lagi, rumah yang sangat-sangat minimalis memang.   “Nanti lu pulang dulu apa langsung ngantor?” Aira membuka pembicaraan di sela sarapan singkat mereka.   “Pulang dulu kayaknya, kenapa? Lu kangen ma gua?” Tanya Derren dengan PDnya.   “Cih, lu mikir kita itu sekelas lagi gak sih? Lagian, kalo gue kangen sama elu ngapain mesti nungguin pulang sekolah? Emang di sekolah gak bisa apa,” sok gak merasa kangen, Aira menggerutu sekenanya.   “Iya, iya lu gak kangen. Tapi beneran lu berani kangen-kangenan sama gua di sekolah?” tanya Derren menggoda Aira.   “Ngapa lu makin nyebelin gini sih? Udah ah gue duluan,” Aira yang merasa jengkel pun pergi meninggakan Derren sendiri yang masih menikmati nasi goreng telurnya.   Mengendarai motor matic miliknya, Aira berangkat ke sekolah yang tak berjarak jauh dari rumahnya. Tepat di parkiran sepedah motor, Aira sudah di tunggu oleh Thada juga Diki teman yang selama sebulan ini menghilang.   “Lu kemana aja?” Tanya Thada merangkul Aira yang baru saja turun dari motornya.   “Bertapa di goa,” jawab Aira asal.   “betah amat lu, paling lu lagi liburan ke luar negri,” cibir Diki yang berjalan di samping kedua temannya.   “Gimana gak betah, di gaji gua sekarang.” jawab Aira yang membuat teman-temannya itu bersorak gembira.   “Horeee traktiraaaaaannnn,” begitulah seruan Thada dan Diki bersamaan.   “Iya, tapi nanti istrirahat kedua ya. Gue masih kenyang, tadi sarapan nasi goreng.” Aira menggosok-gosok perut ratanya.   “Siap,” Diki memberi hormat pada Aira.   “Eh, pas malam perpisahan lu kemana?” Tanya Thada yang merasa cemas saat itu.   “Udah gak usah di bahas cerita udah lama berlalu. Yang jelas gue nyesel ikut, mama sama papa ke Bali gak bilang-bilang,” seperti masih sangat kecewa, Aira tak ingin mengingat kejadian di mana dirinya harus melepaskan masa lajangnya di usia delapan belas tahun.   “Lu di tinggal ke Bali? Wkwkwkwk sumpah ini beneran bikin ngakak, anak mami di tinggal maminya,” tawa kedua teman Aira itu pecah mendengar dirinya di tinggal ke Bali.   Itu karena Aira tak pernah absen jika orang tuanya berlibur. Dan apa ini? Dia di tinggal oleh orang tuanya saat mendapat tugas di sekolahannya sebagai panitia pelepasan kelas dua belas.   Candaan mereka bertiga berhenti ketika guru wali kelas masuk setelah bel masuk berbunyi. Membawa setumpuk kertas, entah kertas apa itu. Yang jelas guru yang bernama pak Wang itu akan mengabsen anak didiknya.   “Baiklah, setelah semua lengkap, sekarang kita akan memilih ketua kelas yang akan memimpin kalian,” ucap pak Wang yang pandangannya langsung tertuju pada Derren yang duduk di bangku paling belakang pojok.   “Kenapa bapak mandang saya?” Tanya Derren sedikit merasa jika pandangannya memang tertuju pada dirinya.   “Yang lain setuju kalau Derren kembali menjadi ketua kelas? Dan Maya sebagai wakilnya?” tanya pak Wang pada anak didiknya yang lain.   “Serah bapak, itu kan keputusan bapak,” Jawab cuek Aira sepertinya tak senang.   Mendengar jawaban Aira, satu kelas serempak menyorakinya. Bukan karena apa, memang Aira itu orang yang susah di tebak.   “Huuuuuuuu,”     “Biarin!” jawab Aira dengan PD nya.   “Sudah-sudah, Aira tetap kamu yang jadi sekertaris sama bendahara, kan tulisan kamu yang paling bagus di sini,” Pak Wang menengahi.   “Gak mau pak, masak dari kelas sepuluh terus merangkap kerjaannya,” protes Aira.   “Udah, entar gue bantuin. Lagian kan emang lu aja orang yang paling di percaya ma anak-anak,” Derren menawarkan bantuannya.   “Cieeee” dan lagi kelas menjadi ribut.   “Eh tumben lah si peketu mau bantuin elu?” tanya Diki yang memang merasa selama ini kedua orang ini tak saling bicara.   “Biarin aja, dari pada kerjaannya pacaran aja itu sama si P,” jawab aira cuek.   “Apaan P?” Tanya Thada penasaran.   “p***n,” jawab Aira dengan suara centilnya yang membuat ketiga orang itu langsung tertawa lepas.   “hahahaha gila parah lu, cantik gitu. Lu kata P,” Diki sudah tak tahan lagi untuk menahan rasa sakit perutnya akibat kebanyakan tawa.   “Sudah-sudah, kalian bertiga jangan banyak bercanda nanti ngompol,” ucap pak Wang yang juga santai orangnya.   Setelah struktur kelas terbentuk, dan ini adalah hari pertama masuk sekolah. Murid-murid langsung berhamburan ke kantin dan ketempat lainnya. Seperti Aira dan kedua temannya yang memilih ke belakang kelas yang terbilang sangat sepi.     Ketiga siswa dan siswi itu membuka sebuah kain bercorak batik yang di ambil dari meja guru. Mengambil kartu-kartu kecil yang ada di dalam tas rangsel Aira. Duduk melingkar dan tak lupa mengeluarkan bedak bayi yang di bawa oleh Thada.   “Gila, siap tempur lu?” Diki terheran dengan apa yang di bawa oleh kedua temannya ini.   “Ikuti aja, lagian jam segini kantin rame,” jawab Aira berkilah.   Akhirnhya ketiga orang itu memaikan kartu yang di bawanya. Keseruan mereka main gaple, membuat ketiganya lupa waktu. Jam sudah menunjukkan di angka tiga belas lebih seperempat, Aira yang sudah cemong pun keluar dari persembunyiannya.   Tak hanya Aira saja yang memiliki wajah penuh dengan bedak, tapi Diki dan juga Thada pun sama. Ketiga orang itu membuat keributan, bukan ribut rusuh tapi ribut tertawa melihat penampilan ketiganya.   Memang tingkat kepedean tiga orang ini sangatlah tidak wajar. Karena saking tingginya, tiga orang ini tak malu berjalan menuju kantin dengan wajah cemongnya.   “Ada topeng monyet dari mana ini?” celetuk Maya yang duduk di samping Derren.   Bohong kalau Derren kuat menahan tawanya, karena dia sudah menunduk. Antara malu juga tertawa, menertawakan istri tersembunyinya penuh dengan coretan bedak.   “Hai nona, kau itu tak bisa merasakan betapa kebahagiaan itu sangat sederhana. Yang lain tertawa dan gua dapet pahala sudah menyenangkan umat manusia. Ngapa lu sirik sih? Oh iya lupa, elu kan iprit mana bisa lu gak iri,” celetuk Aira membalas ucapan Maya.   Mendengar jawaban itu, teman-teman yang ada di kantin pun semakin kencang tertawanya. Tak terkecuali Derren yang sudah menahan perutnya.   Seabsurd inikah istri gue? Sumpah, ini anak bener-bener ajaib. Batin Derren dengan wajah merahnya saat menyadari jika badut itu adalah istrinya. Wanita yang setiap malam di peluknya saat tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD