Sepulang sekolah Aira langsung ke cafe karena teman-temannya sudah pada menunggui dirinya di sana. Dua orang yang selalu ada untuk Aira, di saat Aira mendapatkan masalah atau lagi seneng. Tapi untuk masalah dirinya dengan Derren, Aira berusaha untuk menyembunyikannya
Saat Aira datang, kedua mahluk itu sudah memesan minuman dan kentang goreng. Menunggu Aira yang mendadak menghilang tadi, membuat Thada dan Diki merasa kehausan.
“Dari mana aja sih elu?” Tanya Diki.
“Biasa cewek, lagi dapet kan ribet.” Aira langsung mengambil minuman milik Thada yang paling dekat dengan dirinya.
“Punya gue itu, Oneng.” Thada langsung mengambil minuman yang baru saja menghilangkan dahaga Aira.
“ Ya…. tinggal setengah,”
Aira hanya tertawa jenaka.
“Kalian pada ngapain sih ke sini?” Tanya Aira seakan melupakan apa yang sudah di sepakatinya tadi di sekolahan.
“Jangan pura-pura lupa lu,” kata lelaki blasteran China dengan Tegal.
“Hmmm, masalah makan kalian itu gercep ye,” cibur Aira.
“Seperti anda tidak saja,” Diki menggunakan bahasa paling di benci Aira.
“Sekali lagi lu ngomong anda, gue tampol lu,” Aira sudah siap memukul Diki yang menghindarinya.
“Santai, nyisanak,”
Byur
Satu guyuran dari Aira untuk Thada yang tak mengindahkan peringatan Aira.
Aira langsung masuk ke dalam ruangan miliknya. Membuka beberapa lembar map yang ada di atas mejanya. Beberapa pembukuan yang sudah di siapkan kemarin untuk di periksa ulang.
Merasa risih dengan apa yang di kenakan, Aira pun mengambil bajunya yang ada di dalam tas. Berniat untuk mengganti bajunya, Aira sudah memastikan jika ruangannya tak terpasang cctv.
Namun.
Ceklek
“Maaf,”
Itulah kata yang keluar dari mulut Diki setelah membuka pintu ruangan Aira. Melihat betapa putih dan mulusnya d**a Aira, yang hanya mengenakan bra warna merah.
Diki melihat Aira tengah membuka bajunya tanpa sengaja. Melihat lekuk tubuh sahabatnya. Meski hanya sekilas, rupanmya bayangan itu memenuhi otak lelaki ini.
Diki memang langsung menutup pintu, membuat Aira tak memikirkan lebih.
“Lu apa-apaan sih? Harusnya lu itu ketuk pintu dulu,” omel Aira pada sahabatnya.
“Sorry,” ucap Diki dengan pikiran yang sudah tak karuan.
“Kalian mau makan? Pesan gih, pesenin gue juga,” seperti tak ada apa-apa, Aira seakan melupakan hal itu.
Setelah merasa perut terisi penuh, kedua orang yang sedari tadi mengganggu Aira, akhirnya pulang juga. Jam sudah menunjukkan di angka tujuh malam, sedangkan Derren belum juga ada tanda-tanda menjemput Aira. Merasa ini sangat aneh, Aira mencoba menghubungi suami yang baru di nikahinya dua minggu yang lalu.
“Di mana?” Tanya Aira saat ponselnya terhubung.
“Siapa ni?” Tanya seorang perempuan yang mengangkat ponsel Derren.
Merasa aneh, Aira langsung memeriksa kembali nomer yang di hubunginya. Merasa benar ini nomer Derren, kembali Aira menanyakan siapa yang sudah mengangkat telfon lelakinya.
“Lah, situ siape? Ini kan nomer laki gue,” jawab Aira.
“Laki elu? Enak aja, dia cowo gue,”
Deg
Derren lagi sama pacarnya? Tapi siapa?
“Derren mana?” Tanya Aira lagi.
“Lagi mandi,” itulah kata yang Aira dengar sebelum dirinya memutus sambungan telfonnya.
Aira memilih untuk langsung pulang dan mencoba meredam emosinya sendiri. Tak lupa membawa makanan yang di inginkan. Aira type orang yang melampiskan emosinya pada makanan, jadi ketika sudah emosi Aira akan makan lebih banyak dari biasanya.
Tanpa mandi dan juga mengganti bajunya, Aira langsung naik ke atas tampat tidurnya. Memenuhi ranjang pengantinnya dengan berbagai macam makanan ringan dan juga junk food yang ia bawa dari cafe.
Menikmati makanan yang di bawanya, dengan mendengarkan lagu yang di stel sangat keras. Itulah hal yang selalu di lakukan oleh Aira ketika meredam emosinya. Sayangnya kini dia sudah tak sendiri lagi, sehingga dia juga harus memikirkan teman hidupnya.
Seperti saat ini, Derren sudah mematikan musik yang di stel oleh Aira sangat kencang itu. Masih dalam diam lelaki itu membersihkan ranjang tempat dia tidur dari makanan. Membuang semua yang ada di atas kasurnya ke dalam tong sampah. Derren juga menyeret Aira keluar kamar.
Dengan tampang segaris, Derren mengunci kamar dan meninggalkan Aira diam di luar kamar.
“Sebenernya yang marah itu siapa sih? Kenapa jadi gue yang di usir kaya gini sih? Lagian itu makanan masih setengah gue makan, ngapa di buang!!” teriak Aira yang kembali tersulut emosi.
Menggedor pintu yang terkunci dari dalam, Aira merasa jika Derren sangat tak adil terhadapnya. Aira menyambar tas yang ia geletakkan di atas sofa, memeriksa keberadaan dompetnya sebelum keluar dari rumah.
Mengendarai mobil yang di miliki oleh Derren, Aira pergi meninggalkan rumah.
Disisi lain Derren tengah mengomel dan mengganti seprei yang di penuhi dengan remahan makanan. Ulah Aira benar-benar tak bisa di benarkan dari sudut manapun, menurutnya. Derren mendengar mobilnya di pacu dengan kasarnya.
“Sial, mau kemana lagi perempuan itu! Benar-benar tak bisa di diamkan sebentar saja,” keluh Derren.
Wanita itu lupa jika Derren sangat benci dengan yang namanya kotor. Apalagi ini, makanan naik ke atas tempat tidurnya. Betapa tak tahu dirinya, minyak dan juga remahan keripik memenuhi ranjangnya.
Derren teramat marah dengan wanita yang akan melalui hidup bersama dan menua denganya itu.
Tunggu!
Menua bersamanya? Berarti, Derren akan memiliki keturunan dengan wanita yang tak memiliki keseriusan dalam hidupnya ini?
Tiba-tiba kepala Derren terasa sangat sakit ketika memikirkan apa yang baru saja terlintas di dalam kepalanya.
Setelah membersihkan tempat tidurnya, Derren beralih untuk membersihkan dirinya. Menunggu istrinya yang pergi entah kemana, dengan mengerjakan tugas sekolahnya.
Sudah hampir tengah malam, Aira belum juga pulang ke rumah.
Derren mencoba menghubunginya, namun tak kunjung di angkat oleh wanita itu. Khawatir? Itu sudah jelas. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Derren sangat menghawatirkan wanitanya yang belum kembali juga.
Sekitar jam setengah tiga subuh, Aira baru saja memarkirkan mobilnya di garasi. Membuka pintu yang tak terkunci, dan menemukan Derren tengah berdiri di depan pintu.
“Dari mana!” tanya Derren dingin.
“Bukan urusan elu,” Aira melewati lelaki pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh sembilan di depannya.
“Aira, lu itu sekarang nyonya Derren, jangan lupakan itu!” pertengkaran ini rupanya tak mampu di hindari lagi.
“Kalau ngerasa gue ini Nyonya Derren seperti yang lu bilang, kenapa lu masih main perempuan!” Aira meledakkan emosinya dan mengatakan apa yang sedari tadi di pendamnya.
“Main perempuan apa maksud elu?” Tanya Derren yang masih belum mengetahui apa maksud dari ucapa sang istri.
“Sudah, gue gak mau memperpanjang masalah ini. Gue capek!” Aira berusaha meninggalkan suami yang sudah menunjukkan taringnya.
“Aira, jangan keterlaluan,” Derren menahan tangan Aira sebelum menghempaskan wanita itu ke sofa di sebelahnya.
“Jangan coba menyulut amarah yang ada di dalam diri gue,” Derren menindih wanita itu agar tak melarikan diri lagi darinya.
“Jangan asal ngomong. Elu yang sudah main api, tapi lu yang emosi. Lu sehat?” Aira memutar mata jengah.
“Kapan gue main perempuan?” tanya Derren.
“Lu sesore kemana gak jemput gue ke cafe?” tanya Aira membuka permasalahan yang tengah memicu emosinya.
“Gue… gue…” jawab Derren terbata.
“lu gak bisa jawab, kan? Ok gue gak permasalahin. Dan cara gue buar nenangin diri dan mereda emosi hanya dengan makan,” Aira mendorong kuat suaminya hingga terduduk di sampingnya.
“Apa lu cemburu?” tanya Derren melirik sekilas Aira.
“Gak, cuma jengkel. Lu lebih milih pacar elu dari pada jemput gue. Lu gak tau seberapa capeknya gue dan pengen segera tidur,” kini keduanya berusaha menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin.
“Maaf, Maya bukan pacar gue. Tadi dia minta gue bantuin dia pindahan ke apartemennya.” jelas Derren.
“Terus, lu abis bantuin pindahan langsung bantuin pelepasan?” pertanyaan ambigu dari Aira membuat Derren bingung.
“Hah?” tanya Derren.
“Melepas hasrat yang terpendam. Gue baru tau kalo elu itu gampangan juga jadi cowok,” ucap kekecewaan dari seorang Aira pada sang suami.
“Lu jangan nyebar gosip yang enggak-enggak deh. Gue gampangan dari mananya?” Derren menunggu jawaban dari pertanyaannya dengan menatap Aira serius.
“Ya gimana gue gak mikir yang enggak-enggak kalo elu di telfon terus yang angkat cewek, di tambah dia bilang lu lagi mandi,” jelas Aira.
“Apa lu cemburu?” kembali Derren mengulang pertanyaan yang belum mendapat jawaban jujur dari sang istri.
“Enggak,” kali ini Aira terlihat sangat lucu di mata Derren.
Wajah merah seperti kepiting rebus di tambah dengan tingkah malu-malu yang di tunjukkan Aira. Mampu meluluhkan hati Derren yang tengah di penuhi amarah.
Ciuman sekilas mendarat tepat di pipi kanan Aira, membuat pemilik pipi cabi itu terkesiap.