Pagi menyapa, kedua pemuda yang di satukan oleh sebuah minuman, kini tengah sarapan. Menikmati roti bakar yang di buatkan oleh Aira sebagai menu pagi hari ini.
“Nanti pulang bareng, gue dapet undangan dari papa. Katanya di suruh ngajak elu,” ucap Derren sebelum menaiki mobilnya.
Tanpa menunggu jawaban dari Aira, Derren sudah melesat meninggalkan gadis yang tengah sibuk itu. Aira hanya mengiyakan ajakan sang suami dengan anggukan kepala yang mungkin tak di lihat olehnya.
Aira memacu motor maticnya dengan kecepatan standart. Jarak rumah dengan sekolahan yang memang tak sejauh dari rumah lamanya. Kini Aira merasa sangat-sangat di untungkan dalam segi waktu.
Sesampainya di sekolahan, Aira melihat dua sahabatnya yang tengah asik menikmati gorengan. Duduk di salah satu bangku bawah pohon samping kelas kosong. Aira tanpa mikir panjang, langsung menghampiri keduanya.
“Enak bener sarapan gorengan pagi-pagi,” tanpa meminta ijin, Aira langsung mengambil gorengan yang ada di tangan Thada.
“Kalau siang, namanya sudah bukan sarapan,” celetuk Thada yang langsung di sambut gelak tawa dari Diki.
“Hahahaha, bener-bener. Kalau siang namanya sudah bakso.” timpal Diki memukul kepala Aira.
“Sa ae lu tumit kadal,” Aira kembali mengambil gorengan sebelum masuk ke dalam kelas.
Di tengah Jalan menuju kelas, Thada melihat Derren yang tengah di gandeng oleh maya. Berjalan dari arah yang berlawanan. Entah apa yang ada di fikiran Aira, tiba-tiba dia menggandeng tangan Diki yang ada di sampingnya.
Fikiran Diki rupanya kembali berputar pada apa yang dilihatnya kemarin. Di saat lengannya tak sengaja menyenggol d**a Aira. Diki melirik pada leher putih Aira, dan itu berhasil membuai pikiran Diki.
Badan di situ tapi pikiran melayang jauh entah kemana. Kini Diki tak fokus pada pelajaran yang di terangkan oleh pak Wang.
“Diki, apa yang kamu pikirkan dari tadi? Bapak memanggilmu berulang kali, tapi kamu tetap tak memperhatikan bapak!” bentak pak Wang yang membuat Diki berdiri gugup.
“Maaf pak,” jawab Diki menyudahi ketegangan yang di bikinnya.
“Sudah sana kamu cuci muka, baru masuk lagi ke kelas bapak,” perintah pak Wang.
“baik pak, terima kasih.”
Diki berjalan keluar dari kelasnya, sedangkan Aira yang duduk di samping Diki pun terheran.
Bagaimana bisa seorang Diki terpecah konsentrasinya. Kira-kira apa sih yang membuatnya tak bisa fokus? Pertanyaan itu muncul dalam benak Aira.
Sedangkan Thada yang duduk di depan Diki dan Aira malah asik menggombal di sosial medianya. Si mata segaris ini memang tak pernah sepi dengan yang namanya perempuan. Kepiawaiannya dalam mengolah kata untuk menaklukan lawan jenisnya. Memang tak bisa di ragukan lagi.
Tapi sayangnya, lawan jenis itu akan segera memutuskan dirinya saat tahu tingkah konyolnya. Thada itu memang perayu ulung, tapi keusilannya membuat para cewek kabur dari dirinya.
Sedangkan di deretan paling pojok, duduk derren seorang diri. Di depannya ada Maya yang selalu menempel pada dirinya.
Jam berikutnya adalah jam oleh raga, sedangkan Aira lupa akan seragamnya. Saat semua siswa dan siswi berjalan menuju loker mereka untuk mengganti baju. Aira nampak tetap duduk di bangkunya, dan memilih untuk menekuk tangannya dan menyandarkan kepalanya di atas kedua tangannya.
“Kenapa gak kelua?” Tanya Derren saat kelas sudah sepi.
“Baju olah raga gue ketinggalan,” Jawab Aira tanpa melihat ke arah derre.
“Lu sempet masukin baju oleh raga dalam tas gue, tapi lu lupa milikmu sendiri? Otak elu itu emang antik ya,” cibir Derren membuat Aira malas untuk menjawab.
Derren keluar kelas dengan terburu, berjalan menuju koprasi siswa untuk membelikan lagi baju olah raga untuk Aira. Dengan cepat, Derren kembali kedalam kelas dan menyuruh Aira berganti baju.
“Ganti dulu bajunya,” Derren mengulurkan seregam yang masih dalam plastik pada Aira.
“gue malas ikut olah raga,” rengek Aira.
“Gak ada! Sini buka bajunya, ganti pakai baju olah raga,” Paksa Derren pada Aira yang sudah memanyunkan mulutnya.
Meski hati tak berkenan, tapi Aira nurut saja pada Derren yang mulai melucuti seragamnya. Tanpa di sadari, di balik pintu ada Diki yang tak jadi masuk ke dalam kelas. Langkah Diki terhenti ketika melihat Derren dengan berani membuka paksa kancing seragam Aira.
Membuka seragam putih itu dan mengganti dengan seragam oleh raga yang tadi di bawa oleh Derren. Masih bersikap d******i pada Aira, Derren kini membuka rok abu-abu selutut milik Aira. Anehnya Aira malah menurut begiru saja pada Derre, hal itu yang membuat Diki merasa heran.
Jangankan seberani itu, menyapa pun Aira enggan pada lelaki yang di gadang-gadang siswa tertampan di sekolahnya. Tapi apa ini? Apa ada sesuatu yang di sembunyikan oleh Aira dari dirinya dan teman satunhya. Dan apa yang tadi di tunjukkan Aira itu untuk menunjukkan kalau dia tengah cemburu? Batin Diki terus saja berkicau tanpa henti.
Tapi, dirinya harus segera pergi dari depan pintu yang sudah di jaga sedari tadi. Karena Derren akan keluar dari kelas dan di susul oleh Aira yang ada di belakangnya--tak jauh.
Ketika keduanya berlalu, kini gantian Diki yang masuk ke dalam kelas untuk mengganti bajunya. Diki masih dengan fikirannya sendiri tentang kedua orang di kelas tadi. Tapi langsung di patahkan lagi ketika Derren kembali di gandeng oleh Maya.
Gadis centil yang cantik dan selalu menempel pada Derren. Bukannya risih, Derren terlihat sangat menikmati d**a Maya yang menempel pada lengannya. d**a Maya memang terlihat lebih besar dan juga menggoda, jika di bandingkan dengan d**a milik Aira yang terkesan rata.
Tapi di bandingkan dengan milik Maya, sebenarnya Derren maupun Diki lebih menyukai d**a seprti milik Aira.
Dada yang terlihat kecil tapi sebenarnya memiliki bentuk yang menggumpal bagus jika di buka. Tapi milik Maya terlihat lebih besar dari pada milik teman-temannya. Hal inilah yang memberikan nilai tambah untuk Maya di fikiran lelaki.
Memiliki kaki yang terkesan pendek, Aira memiliki daya tarik untuk selalu ingin melindunginya. Seperti Derren yang tak pernah melepas pandangannya dari Aira yang tengah asik bermain basket.
Ya, kali ini adalah pelajaran olah raga. Para siswa di haruskan untuk bermain sepak bola, sedangkan para siswi bermain basket. Aira yang memiliki tubuh paling pendek di antara teman-temannya, rupanya memberikan hiburan tersendiri.
Pak Saifull, adalah pemuda dengan segala katrampolannya mampu masuk ke sekolah ini sebagai guru olah raga. Pak Saifull rupanya memiliki ketertarikan pada seorang siswi bernama Aira Fabian.
Menurut guru lajang ini, senyum Aira memberikan energi positif untuknya. Sehingga dia tak pernah lepas pandangan dari siswinya itu. Aira menyadari setiap orang yang memperhatikan dirinya, tap rupanya Aira terlalu cuek dengan apa yang terjadi di sekelilingnya.
“Ai, lu sadar gak sih kalau lagi di perhatikan sama Derren?” Tanya Tata teman satu kelas Aira yang sedikit dekat dengannya.
“Sadar, dan gue juga sadar kalau lagi di peratiin sama kuntilanak di siang bolong,” jawab Aira sedikit memelankan suaranya.
“Hahahahaha, bisa aja lu. Udah biarin aja, toh Derren tak pernah mengatakan kalau Maya itu pacarnya,” hibur Tata dengan gelak tawanya.
“St pelanin suara elu Ta, bisa di cekik lu sama lampir sampingnya,” bisik Aira yang menunjukkan satu teman Maya yang sedah seperti dayangnya.
“Bodo amat ah, lagian kok gak malu ya. Selalu gandeng cowo yang tak pernah mau mengakui jika dirinya itu pacar atau kekasih gelapnya,” celetuk Tata yang sama seperti Aira, tak bisa menyaring omongannya.
“Itu pilihan mereka, lagian ya. Si Derren itu tiap pagi jemput si cewek kan?” jelas Aira.
“Lu gak tau, kalau itu di lakukan Derren demi melancarkan kerja sama di antara kedua perusahaan? Derren kan udah kerja ikut papanya. Jadi apa yang di mau Maya itu, ya harus di kerjain Derren. kaya kemaren katanya pas Maya pindah apartemen juga Derren yang di geret-geret Maya untuk mengantarnya,” jelas Tata.
“Kaya wartawan aja lu semua tau, emang lu tyau dari mana sih?” Tanya Aira penasaran.
“Papa gue itu sekertaris pribadinya pak Boy Alinski, papa dari Derren. Jadi tau tingkah Maya kalau udah datang ke kantor,” ucap Tata menjelaskan.
“Maya datang ke kantor Derren? Setiap hari gak?” Tanya Aira penasaran.
“kalau itu kurang tau, soalnya papa gak pernah jawab yang itu.” jelas Tata sedih.
Percakapan mereka berdua terhenti saat jam istirahat berbunyi.