1. Kita Berpisah

1320 Words
Sore itu Fawnia tampak lebih ceria dari biasanya, semuanya tak lain karena Dimitri, sang suami baru saja mengirimkan pesan yang mengatakan ia pulang lebih awal. Hal yang sangat jarang terjadi di hari kerja menjelang akhir pekan seperti seperti sekarang. Tak merasa curiga sedikitpun, Fawnia malah bersenang senang ketika menyiapkan menu makan malam untuk menyambut kedatangan sang suami. Gurame asam manis, plecing kangkung, sambal goreng terasi, bakwan jagung udang dan satu teko berisi air jeruk dingin kesukaan Dimitri. Perfect!! Selepas menyiapkan semua hasil masakan di meja makan, Fawnia segera membersihkan diri, menjaga agar sang suami tak mencium bau asap kompor atau rempah-rempah dari baju yang ia kenakan selepas berkutat di dapur. Ia mengganti pakaian dengan home dress berbahan kain katun dengan motif bunga teratai yang sangat pas di tubuh rampingnya. "Assalamu'alaikum ...." terdengar salam serta suara pintu depan yang terbuka. Itu pasti Dimitri. "Wa'alaikumsalam Abang." Fawnia tersenyum lega menyambut kedatangan sang suami, dengan cepat ia menyambar tangan kanan Dimitri untuk dikecupnya, lantas dengan cepat ia ambil alih tas kerja sang suami dan membawakannya masuk. "Kerjaan lagi longgar ya Bang? Seneng bisa liat Abang sudah pulang jam segini." Fawnia berjalan mengekor di belakang Dimitri. Matanya melirik sekilas ke arah jam dinding di atas televisi mereka. Masih menunjukkan pukul lima sore. "Iya, udah selesai semua." Pekerjaan Dimitri sebagai manager di salah satu perusahaan di bidang konstruksi, membuat pria itu sering mengambil jam lembur untuk menyelesaikan semua pekerjaannya. Tapi hari ini ia sengaja tak mengambil jam lemburnya agar bisa pulang lebih awal. Karena ada hal yang ingin sampaikan pada sang istri. Fawnia. "Ada yang mau Abang omongin Nia." Dimitri menerima gelas berisi air jeruk dingin yang diulurkan sang istri. "Iya," Fawnia yang duduk di sebelah Dimitri hanya tersenyum dan dengan sabar menunggu Dimitri menghabiskan minumannya. "Abang mandi dulu gih, ganti baju, habis itu makan malam terus kita ngobrol ya." sambungnya dengan nada tenang, khas seorang Fawnia Afsheen sekali. Sejak menikah dengan Fawnia dua tahun lalu, Dimitri merasa hidupnya penuh aturan. Kerjakan ini setelah ini, lakukan itu setelah itu. Dan semua aturan tersebut berasal dari perempuan berlesung pipi yang duduk di sebelahnya. Binar mata Fawnia membuatnya tak pernah bisa menolak atau mendebat apa yang dikatakan oleh istrinya itu. "Oke, mas mandi dulu." jawab Dimitri lantas beranjak menuju kamarnya. Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, Dimitri menghampiri Fawnia yang sudah menunggunya di meja makan. Senyum manis istrinya itu tetap bertahan meskipun Dimitri jarang membalasnya. "Aku sengaja masak gurame karena kemaren Abang bilang lagi pengen makan ikan. Abang suka banget sama gurame kan?" tanpa diperintah, Fawnia mengambilkan beberapa lauk di piring yang sudah berisikan nasi putih. Hal yang selalu Fawnia lakukan meski Dimitri tak pernah menuntutnya demikian. "Hmmm ... Abang suka semua ikan, apalagi gurame." Dimitri mengambil sendok dan garpu dari wadah di depannya. Sejak menikahi Fawnia, memang banyak hal yang berubah dari kehidupan Dimitri. Termasuk juga perihal makanan sehari-hari. Dimitri yang ketika masih melajang tak terlalu memperhatikan makanannya karena lebih sering membeli hidangan cepat saji. Kini ia mulai terbiasa dengan makanan rumahan yang dimasak sendiri oleh Fawnia. Bahkan setiap siang, selalu ada kurir yang mengantarkan makan siang ke kantornya. Siapa lagi kalau bukan kiriman dari sang istri. "Katanya Abang mau ngomong? Mau ngomong apa Bang?" ujar Fawnia setelah mereka berdua merapikan piring-piring sisa makan malam. Perempuan cantik itu kini tengah mengupas apel untuk camilan sehat mereka. "Hkkmm ... Iya" Dimitri berdeham beberapa kali untuk memastikan tak ada yang tertinggal di kerongkongannya. Pria itu juga menegakkan duduknya di sofa ruang tengah, tak lupa ia menurunkan volume televisi yang sedang mereka lihat sebelumnya. "Nia, kamu ingat kan, alasan kita menikah karena apa?" Dimitri memiringkan badannya demi berhadapan dengan sang istri. Mendengar kalimat Dimitri, Fawnia menghentikan gerakannya mengupas apel. Perlahan, piring berisi buah-buahan di pangkuannya ia pindahkan ke meja kecil di samping sofa. Kemudian ia menatap lekat-lekat pada sepasang netra kecoklatan milik Dimitri demi memastikan pria itu sedang berbicara serius dengannya. "Tentu ingat bang, karena permintaan kedua orang tua kita, yang juga permintaan terakhir mendiang ibu. Iya kan?" jawab Fawnia dengan sangat hati-hati. "Tapi Nia, entah kenapa.. hingga detik ini Abang.. Abang belum bisa jatuh cinta sama kamu." Fawnia menunduk mendengar kelanjutan kalimat Dimitri. Hal itu lagi ternyata yang membuat resah Dimitri. "Dan menurut Abang ini gak adil buat kamu Nia. Kamu berhak mendapatkan laki-laki baik yang tulus mencintai kamu. Bukan bertahan dengan laki-laki tanpa rasa seperti Abang." Fawnia tercekat, seolah ada tangan besar yang meremas jantungnya. "Maksud Abang apa?" "Abang gak bisa melanjutkan pernikahan hambar ini Nia." ujar Dimitri membuat Fawnia menatapnya penuh tanya "Abang cuma pengen kamu bahagia, Nia." "Aku bahagia dengan pernikahan ini Bang." potong Fawnia cepat. "Tapi Abang nggak begitu Nia." jawab Dimitri seolah tanpa dosa. Ia menundukkan pandangan, karena tak cukup berani menatap mata Fawnia yang mulai berkaca-kaca. "Kasih tau aku, aku salah apa bang? Aku akan perbaiki." ucap Fawnia lirih. "Nggak Nia.. kamu gak salah. Kamu gak pernah salah sekalipun. Ini murni perasaan Abang yang salah, Abang gak bisa membohongi kamu terus menerus." Dimitri menggenggam kedua tangan Fawnia yang mulai bergetar. "Tapi kena.. kenapa bang?" Lolos sudah air mata yang ditahan fawnia sejak tadi. Sesak di dadanya semakin menjadi-jadi ketika Dimitri hanya memberikan jawaban berupa gelengan kepala. "Abang benar-benar minta maaf Nia, tapi mungkin ini yang terbaik buat kamu ... dan juga Abang." Dimitri membuka suara ketika Fawnia sudah kembali dari dapur setelah merapikan meja makan. "Tapi dulu Abang sendiri yang bilang mau belajar membuka hati buat aku, buat nerima pernikahan kita. Bahkan.. bahkan kita sudah melakukan 'itu' beberapa kali bang." gumam Fawnia di sela Isak tangisnya. "Maaf Nia, tapi memang ternyata cinta gak bisa dipaksakan." "Terus?" Fawnia mengusap kasar kedua pipinya. "Abang ingin kita bercerai." "Cerai? Abang bercanda?" Fawnia membelalakkan mata tak mempercayai apa yang didengarnya. Dimitri menggeleng cepat. Karena ia memang tak sedang bercanda. Hal ini sudah berkeliaran sejak lama dalam benaknya. Berbagai keraguan sempat mencegah Dimitri untuk mengutarakan niatnya ini. Tapi sejak kejadian siang tadi, meneguhkan lagi keinginannya berpisah dengan Fawnia. "Abang gak pernah bercanda untuk hal semacam ini Nia." Fawnia mengepalkan tangan kuat-kuat. Tak habis pikir bagaimana bisa laki-laki bijak dan tenang seperti Dimitri ternyata sanggup mengatakan cerai padanya. "Terus orang tua kita gimana Bang? Bagaimana aku bilang ke bapak dan kakak-kakakku? Bagaimana juga dengan..." Fawnia menjeda kalimatnya saat mengambil nafas panjang. "mama Abang..." Fawnia menguatkan hati menatap lurus pada Dimitri. Wulandari, mama dari Dimitri adalah tokoh utama di balik perjodohan keduanya beberapa tahun silam. Perempuan paruh baya itu sangat menyayangi Fawnia layaknya putri kandungnya sendiri. Karena itu, Wulandari sangat berbahagia tatkala Fawnia menerima pinangan dari keluarganya. "Itu urusan gampang, biar Abang yang menjelaskan pada mereka. Terutama.. mama." sebenarnya Dimitri dilanda keresahan ketika memikirkan cara untuk memberitahu sang ibu perihal perpisahannya dengan Fawnia. Bagaimanapun ia adalah anak tunggal di keluarganya, dan selama ini Fawnia lah yang menjadi kesayangan sang ibu. "Baiklah kalau memang keputusan Abang sudah final," Fawnia mengusap jejak basah di wajahnya. "aku gak bisa menolak lagi karena ini keputusan Abang, yang menjadi imam rumah tangga." Sedetik kemudian Fawnia bangkit dan masuk ke kamarnya. Dimitri hanya bisa mengambil nafas lega sambil merebahkan lagi duduknya. Ternyata secepat ini Fawnia menyetujui permintaannya untuk berpisah. Dimitri tersenyum samar. Hampir satu jam, Fawnia akhirnya keluar dari kamar dan kembali duduk tepat di sebelah Dimitri. Kedua tangannya bergerak gelisah menggenggam sesuatu. "Aku setuju dengan keputusan Abang, tapi aku punya satu syarat." ucap Fawnia memberanikan diri menatap manik mata Dimitri, lelaki yang sudah ia cintai diam-diam selama dua tahun pernikahannya ini. "Syarat apa?" Dimitri kembali menegakkan tubuhnya. "Ijinkan aku tinggal di rumah ini beberapa bulan ke depan. Setidaknya biarkan aku menyiapkan hati serta alasan yang tepat sebelum kembali ke rumah bapak." saut Fawnia. "Tentu saja, silakan tinggal di sini untuk beberapa waktu ke depan." "Aku akan segera memindahkan semua barang-barangku ke kamar tamu." ucap Fawnia lantas berdiri dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Terserah, silahkan lakukan apapun Nia, asal kau sudah setuju kita berpisah. Aku tak melarangmu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD