AJ#1 Luka?

1564 Words
Suara pistol yang saling bersahutan tiap detiknya, dentuman dari bom masih terdengar dengar jelas di telinga, darah-darah dari manusia yang tidak bersalah sudah tumpah ruah dimana-mana, bangkai manusia yang mulai membusuk tergeletak seperti sampah yang tidak ada nilainya lagi, dan saat ini mereka yang masih bertahan hidup hanya bisa memejamkan mata dengan perasaan was was, berlindung di bangunan yang sudah tidak layak huni, berharap esok masih bisa bertemu dengan mentari. Sekarang adalah masa dimana puncak dari kerakusan umat manusia, tidak ada lagi yang namanya keadilan seperti yang digaungkan dengan lantang, tidak ada lagi yang namanya perlindungan dari kekerasan, karena yang tersisa saat ini hanyalah ego untuk bisa menguasai dunia, menjadi penguasa dari seluruh belahan bumi yang ada. “Kapan semua akan berakhir mah?” tanya anak kecil dengan pakaian lusuh, menatap nanar ibunya, dia semakin mengeratkan pelukan ke arah ibunya. “Sampai mereka puas dengan rasa haus mereka akan kekuasaan nak, bertahan ya.” Sang ibu langsung memeluk satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki. Aku menutup buku besar dari buku sejarah peperangan ke-tiga umat manusia, peperangan yang membantai hampir dari 2/3 dari jumlah umat manusia saat itu, bahkan bukan hanya membantai umat manusia tapi membinasakan seluruh daratan yang ada, meruntuhkan satu persatu bangunan yang menjulang tinggi hingga yang tersisa hanyalah reruntuhan. “Serakus itu mereka dengan kekuasaan sampai semua menjadi tumbal,” dengusku dengan kepala yang menggeleng pelan, masih tidak habis pikir dengan cara berpikir mereka yang dangkal saat itu. “Apa yang sebenernya mereka cari? Gak mungkin kan cuman kekuasaan? Bukannya dari dulu selalu ada negara adidaya?” aku menggaruk pelan kepalaku yang tidak gatal sama sekali. Aku membuka ulang buku yang selalu aku bawa kemana-mana, membuka bab khusus tentang dampak peperangan besar itu, menuliskan satu persatu poin penting ke dalam buku saku peganganku, melengkapi tulisan mengenai peperangan yang tidak beradab itu, mungkin terlihat menghabiskan waktu tapi percayalah kalau aku sebenarnya berusaha mengungkapkan kejanggalan yang selama ini aku dapatkan. “Lagi-lagi kamu baca buku lusuh itu, gak ada gunanya kamu baca dan menulis kejadian gak bermoral dan jauh dari kemanusiaan itu,” protes laki-laki yang duduk di sebelahku, dia menyerahkan ponsel dengan warna biru neon ke arahku, “profesor mau ketemu sama kamu nanti sore di tempat kalian biasa bahan proyek penelitian besar, katanya ada pembahasan baru untuk nanti dan lebih ke pengarahannya juga sih.” “Ah iya pembahasan untuk pertemuan penting kita nanti,” aku mengangguk-anggukan kepala, menyerongkan tubuh sampai menghadap langsung ke arah laki-laki dengan rambut coklat terang, menatap dengan salah satu alis terangkat. “Buku baru?” tanya laki-laki itu dengan lirih, tubuhnya sedikit condong ke arah aku, menjulurkan lengan ke arah samping tubuhku, seperti memeriksa sesuatu. Laki-laki itu dengan santainya menimang buku kecil, aku sedikit menyipit sebelum mataku melotot kesal! Kurang ajar banget dia asal mengambil buku orang! Kalau dia sampai tahu apa isi buku itu, habislah aku dengan omelan tidak berfaedah dari dia yang selalu sama! “Joe!” seruku dengan penuh penekanan, mengambil buku yang hampir dia buka. “Kenapa lagi sih?! Orang cuman ngambil buku kecil doang, gak ada artinya pastinya atau jangan-jangan sekarang di buku itu ada rahasianya ya? Jujur aja deh Alya, jangan boong sama aku, kamu gak bisa buat berbicara dusta di hadapan aku ini,” ucap Joe dengan nada menggoda dan terlalu percaya diri, alisnya terangkat dengan senyum menyebalkan di wajahnya. “Dih sok tau banget sih kamu Joe, tadi datang ngatain aku yang baca sejarah umat manusia. Nih ya, aku pertegas lagi pentingnya kita tau sejarah tentang umat manusia, biar kejadian buruk yang dulu terjadi di masa lalu kelam kita, gak terulang lagi buat anak cucu kita.” “Halah Alya kamu itu terlalu mikir hal negatifnya, sekarang aku nanya sama kamu deh, selama 400 tahun terakhir ini. Apa ada satu negara yang nunjukin mereka mau melakukan peperangan? Gak ada bukan? Bahkan kalau kamu lupa, catatan sejarah 5 tahun terakhir ini yang kita semua tau bahwa semua negara turut andil dalam perdamaian negara, terus sekarang negara lain bakal bantu negara yang terkena bencana, jadi apa yang kamu khawatirkan itu gak guna, kecuali---“ “Kita gak tau apa yang sebenernya udah di sembunyikan sama pemerintah Joe! Coba kamu pikirin sama logika kamu, kalau dunia ini udah damai tentram seperti yang kamu bilang tadi, kenapa kita gak bisa saling kenal dengan negara lain? Kenapa semua pergerakan kita selalu dibatasin? Dan kenapa gak ada budaya yang beragam seperti yang dulu? Aku pengen tau konser musik itu kayak gimana? Pengen tau gimana parahnya mereka seperti yang dibicarain sama petinggi!” tukas dengan nada tegas, deru napasku sedikit memburu menyesuaikan dengan panjangnya kalimat yang udah aku lontarkan. Joe menghela napas pendek, dia mengeluarkan tatapan datar, mungkin kesal dengan ucapan aku yang sudah jelas menentang kebijakan pemerintah. Aku rasa sekarang Joe udah sepenuhnya tercuci dengan ucapan manis pemerintah, aku yakin kalau mereka selama ini udah nutupin kebenaran yang gak ada satu pun warga biasa bisa tau. “Udah udah, aku gak mau debat sama adik kecil aku ini,” ucap Joe pada akhirnya, dia mengusap puncak kepalaku dengan senyum tipis, benar-benar tipis bahkan jika aku tidak fokus dengan ekspresinya sekarang, kemungkinan aku gak bakal tau kalau Joe tersenyum. Aku memegang wajah Joe dengan kedua lenganku, “Kamu marah ya sama aku?” tanyaku dengan nada suara serendah mungkin, takut kalau ucapan aku ini bener. “Apa aku bisa marah dengan perempuan di depan aku ini? Bahkan kalau kamu bikin masalah yang luar biasa, aku bukan marah tapi khawatir kamu kenapa-napa. Kalau kamu bukan---“ Aku menutup mulut Joe dengan lenganku, enggan mendengarkan lanjutan kata yang selalu bisa membuat aku berada di titik tertinggi dari penyesalan. Aku menggelengkan kepala, menatap penuh mohon untuk berhenti mengungkit itu. “Kita udah bahas ini dari lama, bukan salah kamu atau siapa pun, tapi emang udah takdir yang gak merestui tentang kita,” ucapku yang mengusap kedua alis Joe, “oh iya, ngomong-ngomong kabar kak Fincent hari ini gimana ya? Katanya yang aku denger dari Haruka, sekarang semua dokter ada jadwal padat di rumah sakit pusat, itu beneran gak sih Joe?” “Heh Alya, kamu ini gimana sih, masa gak tau kalau kak Fincent ngambil cuti sampai hari Minggu ini, dia mau nemenin kamu nyiapin diri buat hari penting kita semua. Kamu tau kan takdir negara kita itu gimana sekarang, salah satunya ada di tangan kamu, jangan kecewakan mereka yang udah percaya sama kamu.” Aku mendengus, memutar bola mata jengah, selalu kata-kata itu yang aku dengar lebih dari 3 bulan ini. Semua orang yang kenal sama aku, datang jauh-jauh hanya untuk bilang jangan bikin kecewa banyak orang! Menyebalkan! “Tau gini aku nolak permohonan profesor buat ikut di pertemuan nanti Senin! Mana ada jadwal buat pertemuan para junior hari Senin pagi, terus penelitian buat perkembangan tenaga medis yang bakal aku bawa buat presentasi nanti,” keluhku dengan suara lirih, menyandarkan punggung yang terasa kaku di sandaran kursi, merunduk untuk menyembunyikan raut wajah tertekan saat ini. Lengan Joe sedikit mengangkat daguku, “Aku tau kamu pasti bisa buat lewatin ini semua, gak bakal cukup satu lemari besar untuk nyimpen semua penghargaan kamu dari dulu sampai detik ini, kamu adalah pemenang yang di ditakdirkan untuk selalu bersinar.” ‘Kamu lupa Joe jika aku adalah bintang yang semakin bersinar di langit seperti katamu tadi, maka bintang ini hanya tinggal menghitung mundur waktunya untuk hidup, dan saat waktu itu tiba di depan mata. Aku bakal bilang sama kamu, selamat tinggal angkasa yang sudah jadi tempat terindah untuk bintang ini bersinar.’ “Dih apaan deh Joe, oh iya kamu udah ini mau kemana?” tanyaku yang merapihkan semua buku-buku besar yang sudah berserakan di atas meja, menatap sekilas ke arah Joe yang terpejam sesaat sebelum dia membuka mata dan mengeluarkan cincin bertatahkan permata. “Dari dulu aku pengen ngasih cincin ini ke kamu Al,” Joe menarik lenganku, memasangkan cincin yang pas di jari manisku, aku menatap cincin itu sesaat. Aku melepaskan cincin di jari manisku, “Udah berapa kali aku bilang sama kamu untuk berhenti berharap ke hal yang gak mungkin bisa kamu gapai Joe,” aku membuka lengan kanan Joe, meletakan cincin manis itu, “kasih ini ke orang yang bisa mencintai kamu tanpa syarat, aku yakin dia orang yang pantes buat dampingi kamu Joe.” “Sesulit itu nerima aku ya?” bisik Joe dengan lirih, perasaanku sedikit terenyuh saat melihat senyum miris dan wajah masam Joe. Aku memegang wajah Joe, mengusap pipi Joe dengan kedua ibu jariku, menarik kedua sudut bibir Joe untuk membentuk bulan sabit. Mata kami saling tatap satu sama lain, dia hanya terdiam sembari lengannya perlahan menarik tubuhku untuk mendekat ke arahnya. “Aku bakalan iri sama orang yang bakalan menjadi pasangan kamu Al,” bisik Joe saat tubuhku sudah berada dalam dekapannya, deru napasnya menggelitik langsung ke tengkuk. “Orang yang bakalan jadi pasangan kamu juga itu orang yang bener-bener beruntung, dia bakalan di cintai oleh laki-laki yang tulus sama perempuan.” Mataku sedikit memicing saat melihat bekas luka yang cukup mencolok di bahunya, tersamarkan oleh baju yang ia kenakan, ini bukan bekas luka karena senjata tapi lebih ke bekas alergi dari obat-obatan yang di suntik. “Kamu abis dari rumah sakit Joe?” aku mengusap bekas lukanya, Joe sedikit meringis. “Ini dari senjata yang kemarin aku pakai buat pelatihan” “Kamu kira aku bodoh? Bekas senjata gak bakalan kayak gini Joe! Jelas-jelas ini bekas luka suntik dan bekas alergi bodoh!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD