AJ#2

1679 Words
Aku memasuki pelantaran rumah, setelah berjalan lebih dari 10 menit dari perpuastakaan nasional untuk sampai di rumah mungil bercat biru muda, rumah dari hasil kerja keras aku selama ini. Aku mengeluarkan kunci dari dalam jaket denim kesuakaanku, mengurai rambut yang tadi sempat aku kuncir kuda, membuka pintu rumah dan menghirup aromanya. “Kamu udah tinggal di rumah ini selama 1 tahun Alya, dan kenapa kamu harus ngelakuin hal kayak gitu?” tanya Joe yang menjitak kepalaku, berjalan lebih dulu dan duduk dengan santainya di sofa ruang tamu, dia menyampirkan jaketnya di pinggiran kursi. “Emang salah kalau aku mau bersyukur bisa dapat tinggal di rumah ini dengan cara kayak gitu? Lagian aroma rumah aku itu beda dari rumah-rumah yang pernah aku datangi, di sini wangi segar dari mawar tercium dengan pas, gak terlalu menyengat.” Aku ikut mengambil tempat di samping Joe, menggulung lengan baju sampai siku, memejamkan mata sembari menikmati angin dari AC rumah, cukup panas udara siang ini, sedikit lebih tinggi suhu hari ini dari biasanya. “BMKG lagi ada masalah ya? Katanya ada planet dari luar tata surya kita yang semakin mendekat,” ucapku dengan mata yang masih terpejam. “Kamu tau darimana sih? Aku aja yang kerja di departemen itu, gak mau mengungkit masalah itu dan gak ada satu orang pun yang ngebocorin tentang penemuan baru kita ini.” “Kamu lupa kalau Zennita, tangan kanan dari pemerintah pusat itu sahabat aku? Dia kemarin ngeluh tentang kerjaannya yang semakin numpuk karena penemuan baru itu, lagian sekarang aku lagi bikin alat untuk mempermudah kerjaan BMKG, tapi sayang penanggungjawab proyek ini udah dipegang sama Richard dan Roy,” sahutku lirih, mengubah posisi menjadi sedikit tegap dengan mata yang terbuka, menatap ekspresi keruh dari wajah Joe. Lengan Joe mengambil remote AC yang tergeletak tidak jauh dari lengannya, “Kadang ambisi kamu selalu jadi alasan kenapa kamu ada dalam bahaya.” “Kan ada kamu, terus juga ada Nayla sama Zennita yang degan suka rela mau membantu aku terbebas dari hukuman pemerintah,” aku sedikit memajukan tubuh ke arah Joe, mengambil lengannya untuk mencari perhatian dari Joe, “kadang aku gak habis pikir sama pemerintah yang terlalu membatasi kita, maksud aku gak masalah dong kalau kita warga biasa, pengen tau sebenernya apa yang jadi akar permasalahan dari perang itu.” “Pemerintah cuman mau kita aman Al, gak ada yang lain. Jadi berhenti membuat spekulasi tentang hal yang mustahil terjadi Alya, bukan gak boleh tapi jadi terlalu berlebihan. Masih inget bukan hukuman yang udah kamu terima dulu? Apa itu belum cukup buat bikin kamu berhenti?” Aku mendecih pelan, mempoutkan bibir, memutar bola mata jengah, kemudian mengibaskan rambut sebelum berlalu menuju dapur di sebelah barat. Aku membuka kulkas dua pintu, mengeluarkan beberapa bahan makanan dari dalam kulkas, mengisi panci dengan air sampai setengah, menyalakan kompor dengan api sedang. “Malah ngambek, dasar cewek suka banget baperan,” sindir Joe yang berdiri di sampingku, aku langsung mengarahkan pisau yang aku pegang ke arah wajah Joe. Mendelik kesal, “Berhenti ganggu aku Joe! Sana pulang, aku gak nerima tamu saat ini, tau kan dimana pintu keluar!” “Hahaha, sini sini aku bantu kamu masak.” Joe mengambil alih pisau yang tadi aku gunakan untuk menodongnya, mengambil beberapa sayur dan memotong semua sayur yang tadi aku keluarkan. Aku mencepol asal rambutku, mengambil daging ayam segar yang baru aku beli kemarin, memotong 1 ayam menjadi 8 bagian. Selama 30 menit aku dan Joe berkutat dengan serius di dapur, menghidangkan 3 masakan yang sangat menggugah selera. “Sana kamu ke meja makan, biar aku yang bawain masakannya,” usirku yang menarik spatula dari lengannya, mendorong tubuh Joe untuk menjauh dari dapur. “Dasar,” dengusnya yang tak ayal tetap mengikuti kemauanku, dia mengambil satu piring berisi tumis dan satu piring berisi ayam balado. Langit dengan cepat berganti warnanya, perasaan tadi masih terlihat cerah sekarang sudah mulai kemerah-merahan, pertanda senja. Joe baru mau meninggalkan perantara rumah 10 menit yang lalu, aku gak bisa protes sama sikapnya yang berlebihan protektif, karena udah jadi kebiasaan dia untuk ngeliat langsung aku dalam keadaan baik-baik aja. “Jadi kenapa kalian gak pacaran?” tanya perempuan dari ponselku, wajahnya sedikit memerah bekas pelatihan militer khusus perempuan. “Lah kita kan sepupu Hiraka, gak mungkin aku pacaran sama dia, meskipun dia ada rasa sama aku,” gumamku pelan, meletakan ponsel yang aku pegang di atas meja, mengambil laptop dan menyalakannya. “Kalian sepupu jauh, bahkan gak ada hubungan darah, ayahnya Joe itu anak angkatnya nenek kamu kan. Gak masalah kalau misalnya kalian pacaran,” ucap Hiraka meyakinkan, aku melirik sekilas dan memutar bola mata jengah. “Iya aku tau Hira, tapi gak deh untuk pacaran sama dia. Aku gak mau terkekang sama laki-laki yang udah jelas pro sama pemerintah, kamu tau sendiri kan kalau aku itu pengen ngulik langsung tentang sejarah yang udah jelas itu ilegal.” “Kalau kamu bukan sahabat aku, udah aku bocorin sama pemerintah tentang rencana kamu ini,” kesal Hiraka yang menautkan alisnya, menaikan satu sudut bibir kemudian menghela napas pasrah. Aku menangkup pipiku, “Kamu emang sahabat terbaik yang aku punya, nanti kalau aku udah tau apa yang sebenernya di tutupin sama pemerintah. Aku janji, kamu bakal jadi salah satu orang yang aku kasih tau rencananya. Aku pengen deh liat negara lain, sehebat apa negara mereka, apalagi---“ “Berhenti bermimpi untuk bisa menjelajahi negara-negara lain, mustahil untuk kamu lakuin tanpa terciduk sama pemerintah. Oh iya aku dapet kabar kalau misalnya ada buronan yang sekarang lagi diincar sama semua negara, dia udah berani ngelewatin perbatasan antar negara dan yang bakal bikin kamu kagum, dia berhasil mengungkap sesuatu yang katanya itu salah satu rahasia dari negara barat sama utara.” Aku langsung memfokuskan diri ke arah ponsel, “Dia sampe sekarang gak ketangkap?” tanyaku dengan nada tidak percaya. Hiraka mengangguk semangat, “Orangnya hebat dalam berkamuflase, dia hanya perlu liat gimana tingkah penduduk, dan dalam hitungan menit dia bisa beradaptasi. Salah satu alasan kenapa dia gak ketangkap, terus katanya dia ada orang dalem yang digadang-gadang bakal jadi pemberontak.” “Hmm gitu ya, jadi pengen ketemu sama orangnya.” “Hahaha mustahil kamu ketemu sama dia, kecuali kamu jadi orang-orang pemerintahan kayak Joe,” Hiraka melirik ke arah samping kemudian mengangguk pelan, “aku udah dipanggil sama pelatih buat kembali latihan. Hati-hati ya, semangat buat hari penting kamu nanti.” “Jadi penasaran siapa orangnya itu, kenapa dia bisa ngelewatin penjagaan ketat perbatasan.” Aku menggelengkan kepala, mengenyahkan pemikiran untuk mencari tau lebih lanjut tentang orang yang dimaksud Hiraka, tapi pertahananku langsung goyah. Aku mengklik ikon internet di laptop, membuka beberapa berkas penting yang dikirim profesor dan para ilmuwan muda. “Kondisi perbatasan negara hari ini dalam keadaan siaga, penyusup baru sedang berkeliaran. Ada dua korban aparat pemerintah yang menjadi sandra, 3 penjaga mengalami luka serius. 20 warga sekarang mengalami perawatan karena terkena api dari pembakaran hutan yang misterius. Negara barat mengumumkan akan ada pencabutan militer, 3 negara mengusulkan penjagaan yang ketat, salah satunya dari negara Timur.” Aku membaca poin-poin dari berita internasional, menggelengkan kepala dengan apa yang baru aja aku baca. Ah iya aku mendapatkan akses khusus untuk menjelajahi informasi dari negara lain, hanya berlaku untuk beberapa berita, tidak untuk semua berita. “Kalau kayak gini, kemungkinan orang yang dimaksud sama Hiraka itu orang yang bener-bener berbahaya. Sekarang aja 4 negara yang udah memperketat penjagaan, pemerintahan semakin otoriter kalau kayak gini caranya dan yang pasti aku gak bakal bisa bebas nyari tau apa aja dari sejarah itu.” “Kak Alyaaaa, Xilo datang!!” teriakan dari luar menyadarkan aku dari lamunan. “Udah nyampe aja, cepet banget,” gumamku yang berjalan menuju pintu masuk, menyambut junior baru dari tim penelitian. Namanya Xilo, dia perempuan manis dengan wajah temben dan warna kulit putih pucat, rambutnya yang hitam legam sama seperti aku, bedanya rambut Xilo ikal gantung, terlihat anggun tapi sebenarnya menutupi sifat aslinya yang urakan. “Tumben gak telat kayak biasanya,” sapaku. Xilo tertawa meringis, “Abisnya di laboratorium gak ada yang asik kayak kak Alya, kak Zay juga lagi di panggil buat penelitian teknologi di rumah sakit, kak Clara tadi sakit. Kakak tau sendiri lah sisanya itu orang-orang yang kayak gimana, bikin bosen,” keluhnya dengan mempoutkan bibir. “Itu bawa apaan, tumben banget bawa sesuatu ke sini biasanya asal nyelonong.” “Ais kakak geer banget, ini aku barusan beli dari kak May, dia baru buka cabang baru buat cafe. Kak ada yang pengen aku tanyain, keknya kakak bakal tau deh.” “Tentang apaan? Kalau pemerintahan, jangan tanya aku. Mending tanya kak Zay atau kak Joe, mereka lebih faham sama pemerintahan di negri kita.” “Kakak juga pasti faham, tadi aku nanya kak May, katanya aku suruh tanya sama kakak aja.” “Pasti masalah penyergapan cafe kak May ya?” Xilo mengangguk dengan semangat, “huft.. emang bukan sekali dua kali ada penyergapan dari pemerintah di cafe, di mall, di restaurant, bahkan di rumah sakit sekali pun, selalu ada penyergapan dadakan. Ini sedikit sensitif sih Xil, soalnya pemerintah gak transparant sama apa yang mereka lakukan.” “Terus kenapa itu masih berlanjut, maksud aku kayak gini. Ada cafe sama restauran kan punya tujuan biar gak pada lapar, apalagi buat yang sibuk dan gak sempet masak kayak kita. Terus rumah sakit, udah jelas fungsinya ngobatin dan tempat perawatan,” Xilo menggeleng kesal, “gak logis kalau pada akhirnya pemerintah harus melakukan penyergapan yang gak ada gunanya. Buat apa coba? Emang apa yang mereka takutin?” tanya Xilo dengan senyum terpaksa. “Karena mereka takut, kita tau apa yang mereka sembunyikan.” “Hah? Maksud kakak kedamaian ini tuh cuman semu belaka? Ada konspirasi di balik semua tragedi yang ada?” tanya Xilo dengan raut wajah tidak percaya, "wah ini pasti akal-akalan kakak doang kan? Udah deh jangan berlebihan kayak gini kalau gak suka." "Aku serius Xilo, kita gak bakalan bisa tetep damai kayak gini, suatu hari nanti pasti bakal terulang lagi kisah kelam yang udah kita tutup rapat-rapat." Xilo merunduk pelan, "Kakak yakin? Aku gak mau ada p*********n lagi, gak mau kalau kisah pertumpahan darah kembali terulang kak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD