Aku melihat jam tanganku. Sudah pukul 09.00 pagi. Aku akan mengajak Luna ke tempat biasa aku olahraga menembak. Dia pasti akan terkesima dengan kemampuanku dalam menembak sasaran.
"Aku tak keberatan lo kamu buka cadarmu. Pastilah orang-orang akan mengagumi kecantikanmu! " seruku bersemangat.
Aku ingin teman-temanku tahu, aku memiliki istri yang cantik seperti bidadari. Walau aku belum menyentuhnya, itu hanya karena kami butuh waktu. Begitu pikirku.
"Jika ingin memamerkan wajah pasanganmu, ajak saja pacarmu, jangan aku, " ketus Luna memasang cadarnya.
"Kenapa sih kamu takut orang lain melihat wajahmu, Dek? Padahal perempuan pada umumnya malah berlomba-lomba tampil cantik. "
"Karena mereka dilahirkan dari keluarga biasa bukan seperti keluargaku, " jawab Luna dingin.
"Memangnya keluargamu itu kenapa, Dek?!" tanyaku membungkuk sambil memasang sepatu.
"Keluarga mafia, " jawab Luna santai.
Aku langsung terjungkal ke bawah, tanganku menahan tubuhku agar tak ambruk menyentuh lantai.
Apa katanya tadi?
"Kamu kalau ngomong ya disaringlah! Gak lucu! Ayo segera kita berangkat! Sudah mau telat nih! " seruku menyalakan mobil.
Aku menganggap Luna sedang mengerjaiku. Dia tak mau aku tahu latar belakang keluarganya. Mungkin karena tak percaya diri, dari keluarga menengah bawah, bawah sekali. Sedangkan aku? Pemuda tampan dan berduit. Pemilik perusahaan eksportir rempah!
Tanpa komentar apa-apa, istriku yang cantik itu hanya memandang jalan raya dengan tatapan kosong. Aku kadang heran, apa sih yang di dalam pikirannya.
Lagi-lagi ponselku bergetar. Saat aku melirik layarnya, seperti biasa, Ayu Ruminang sedang memanggilku. Biasanya hari libur begini, aku sering mengajaknya berbelanja.
"Angkat saja, Mas. Nanti pacarmu merajuk!"
"Biarkan saja. Nanti setelah di rumah, aku akan telpon dia. Ngomong-ngomong, kenapa kamu tak marah jika aku masih berhubungan dengan wanita lain, Dek?"
"Memangnya aku ini istri sungguhan? Lagipula, itu ada dalam perjanjian pra nikah kita."
Aku menahan nafas cukup lama. Aku bahkan hampir melupakan perjanjian itu. Bahkan jika aku memikirkannya, aku tak suka. Membayangkan sehari tak memandang wajah cantik Luna, hatiku serasa belum ikhlas.
"Kalau jadi istri sungguhan memangnya kenapa? " pancingku.
"Kalau begitu, tinggalkan wanita itu selamanya. Satu hawa untuk satu adam. Jika kau berkhianat, aku akan membunuhnya bahkan di depan matamu, " ujarnya santai seolah tanpa beban.
Suara Luna terdengar sangat dalam dan bergetar. Aku merasakan aura kesungguhan dari ucapannya. Seketika mulutku terasa mengering, kupaksa menelan ludahku sendiri agar tenggorokanku basah. Wanita di sampingku ini membuatku bergidik.
Setelah sampai di lokasi, aku harus melewati beberapa lorong menuju lapangan tembak. Beberapa teman menyapa kami dan tak ada satupun yang menegur istriku walau sekedar bertanya. Mungkin mereka sungkan karena Luna menunjukkan sikap dinginnya. Atau mereka merasa tak nyaman sebab tampilan istriku mirip seperti sayap kelelawar karena memakai kain hitam yang lebar. Istriku ini benar-benar jauh berbeda dengan pacarku.
Saat ini aku berdiri dengan posisi siap menembak lagi. Beberapa kali aku mampu mengenai sasaran. Aku melirik istri bercadarku, dia menatapku fokus. Pastilah dia sedang mengagumiku. Olahraga ini tidak mudah, jadi hanya yang berbakat sepertiku yang bisa mengenai sasaran.
"Hiiish!! Kapan ya bisa kena spot inti?!" gerutuku. Luna hanya mendengarkanku. Mungkin dia tak paham ucapanku.
"Itu loh, titik yang di tengah. Titik merah dalam lingkaran-lingkaran itu. Cukup sulit dan itu yang tingkat tertinggi! " seruku.
"Tapi kena bagian-bagian lain juga itu tak mudah, " kilahku. Biar dia sadar betapa kerennya aku ini.
Aku mengunyah permen karet sambil mencoba menembak lagi, mengincar target.
"Angkat sedikit lagi tanganmu, Mas! Geser ke kiri 3 cm cukup! " ujar Luna.
Aku meliriknya heran.
"Yang fokus kalau mau kena spot! Angkat. Yah... Sedikit saja! "
Aku yang masih melongo tetap saja msngikuti arahannya. Tangannya menuntun lenganku.
"Terlalu jauh. Begini. Ya tahan. Tembak sekarang!" serunya.
Duaaaarrr!!!
Kena! Benar-benar spot inti itu tembus. Aku tak percaya. Sepanjang aku bermain, ini kali pertama aku berhasil. Apa ini kebetulan? Atau Luna benar-benar menuntunku sesuai target? Apa itu mungkin? Aku masih tak percaya.
"Kamu bisa olahraga menembak juga, Dek? " tanyaku curiga.
Jujur, aku tegang.
Dia menggeleng.
"Tapi kok bisa tepat sasaran?!" cecarku lagi.
"Yaa karena mata wanita lebih jeli daripada laki-laki dalam mengincar target! "
Aku mengangguk-angguk, mengiyakan. Yang barusan itu pasti hanya kebetulan. Tidak seperti yang sedang kupikirkan. Itu pasti.
"Sedangkan mata laki-laki lebih jeli melihat body montok, d**a bahenol! " ketusnya.
Aku hampir mengangguk lagi tapi segera kurem kepalaku ini.
Eiiich!! Sempat-sempatnya dia menyindirku.
Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan. Refleks mata kami mencari arah suara. Tampak lelaki muda yang berpenampilan casual mendekati kami. Tinggi, mata sipit, kulit putih bersih, rambut yang ditutupi oleh topi hitam.
"Bravo! Brovo! So nice brother! "
"Thanks you. How do you do?" jawabku dengan elegan.
Luna, istriku harus melihat suaminya ini begitu keren saat berkomunikasi dengan bahasa Inggris.
"Im fine. Any way, its amazing shoot. Mari kita rayakan! " ajak laki-laki itu.
"Sure! " jawabku mantap.
Luna terlihat menatap lelaki itu dengan pandangan yang tajam. Mungkin dia merasa tak nyaman ada kehadiran orang lain. Aku mulai memahami, istriku itu adalah pribadi introvert. Tak suka keramaian.
"Kau tunggu saja di sini ya! Aku akan segera kembali, " ucapku tanpa menunggu persetujuannya.
Dia hanya sedikit mengangguk.
Lama aku berbincang-bincang dengan Zoone. Dia banyak memujiku dan aku suka pujian. Aku kembali mendekati Luna, ada yang ingin aku sampaikan.
"Aku dan dia akan ke samping. Kami akan menembak dengan target yang berbeda! " seruku pada Luna sambil mengambil kacamataku yang tergeletak di sisinya.
"Aku ikut! "
Wanita bercadarku bangkit dengan cepat.
"Tak usah! Di sana banyak laki-laki berbaur, kau mungkin tak akan nyaman. "
"Tunjukkan aku jalannya! "
Luna menatapku serius. Aku tak punya pilihan lain selain mengikuti maunya meskipun dalam hati, aku sangat dongkol.
Aku dan Zoone berjalan lebih dulu. Luna mengikuti dari belakang. Wanita itu keras kepala. Tak mengerti privasi laki-laki!
Kami bertiga melewati tempat yang cukup ramai. Para pengunjung asik dengan target tembak masing-masing. Meski berbeda bentuk target, ada yang dari kayu, papan lingkar, balon yang digantung, bahkan yang lebih menakjubkan, memanah sambil berkuda.
Zoone berhenti di tempat yang legang. Aku mengernyitkan dahi. Di depan, tak ada papan target ataupun sesuatu yang bisa menjadi sasaran tembak. Di sisi kananku sudah ada pistol dan di kiriku beberapa botol air mineral dan kecamata serta pelindung telinga.
"Welcome, Master!"
"Apa sasaran kita Zoone?" tanyaku antusias.
"Rupanya Master tak suka waste time, allright!" jawabnya
"Out!! " teriaknya.
Tampak seorang laki-laki ringkih keluar membawa 3 buah semangka. Di tangan kanan, kiri dan di atas kepala. Matanya penuh ketakutan. Tampak dari kakinya seperti gemetar.
"Tembak semangka itu! Kalau kau berhasil, aku punya hadiah spesial untukmu. Paket honeymoon ke Bali mungkin! "
Zoone terlihat girang dan bersemangat.
"Tanpa biaya pendaftaran kan? " godaku sambil memutar-mutar senjata.
"Nope! " ucapnya tertawa.
"Tapi, ini serius, apa tidak membahayakan bapak itu? Aku hanya takut, jika dia terkena. Bukan aku tak ahli, hanya terkadang ada saat sedang tidak beruntung."
Aku memang was-was tapi tak mau Zoone memandangku lemah.
"Its oke! Aman. Di sini hanya peluru karet! " ucapnya meyakinkan.
Luna mencubitku.
"Jangan teruskan! Kau bisa saja salah sasaran dan menyakiti dia! "
Aku menepisnya. Kalimatnya seperti meragukanku. Yang shootpoint tadi itu hanya kebetulan, bagiku. Aku melototkan sedikit bola mataku agar dia paham, untuk tidak ikut campur.
Dengan konsentrasi tinggi, aku layangkan tembakan pertamaku.
Ddduaaar!!
Semangka di tangan kanan laki-laki itu tembus. Bibir hitamnya tampak pucat.
"Yess Brother! " seru Zoone terlihat senang.
Aku menyeringai girang. Kembali kufokuskan tangan kiri laki-laki itu.
Dduaaaar!!!
Lagi-lagi tepat sasaran. Laki-laki itu semangkin terlihat ketakutan. Buah semangka yang masih di kepalanya terlihat bergoyang-goyang.
"Hentikan, Mas!" seru Luna mencubit pahaku.
Aku sedikit menjauhinya.
"Ini tantangannya!" ucapku yakin.
Dengan fokus tingkat tinggi, aku kembali memasukkan telunjuk ke trigger dan siap menembak. Tiba-tiba...
Tanganku di tendang oleh sebuah kaki yang terbungkus kain hitam dari samping. Aku sangat terkejut. Tembakanku melesat ke atas. Suaranya berbeda dengan yang sebelumnya. Aroma metal menyebar,menusuk hidungku. Laki-laki di depanku langsung luruh terjatuh, padahal aku tak mengenainya. Sepertinya dia pingsan.
Aku melirik arah datangnya tendangan itu. Dan itu adalah kaki istriku, Luna.
"Iblis! Itu peluru tajam!"
Luna berlari, melesat mengejar Zoone yang ternyata sudah menghilang.
Tiba-tiba aku bergetar ketakutan. Apa yang barusan terjadi? Bagaimana kalau benar-benar mengenai kepala laki-laki itu? Aku lemas.