Di dalam ruangan mewah bernuasa emas, Ratih mendengarkan cerita anak keduanya, Nindi. Banyak lukisan mahal terpajang rapi di setiap sisi dinding putih. Lampu hias berwarna gold, meskipun tak menyala tetap seperti memancarkan sinar.
"Serius istrinya Yudha kek gitu, Nin? " tanya Ratih tampak seperti ragu.
"Mama kalau gak percaya, samperin aja. Dia itu, sumpah dah... " ucap Nindi menahan kemarahannya.
"Mama tahunya kalau wanita bercadar itu wanita baik-baik dan menjaga bangetlah dari semua tutur kata, perilaku, takkan berutal seperti yang kamu ceritain. Kok mama kurang yakin ya. "
"Mama kurang yakin karena mama gak tahu, menantu mama itu busuk! Ya gak, Rat?! "
Ratna hanya mengangguk walau tampak di wajahnya ada keraguan.
"Aah masak sih sampai dia ngancam-ngancam gitu? Kakek kalian tidak mungkin salah jodohkan cucunya. Kalian jangan lupa, dia adalah rekomendasi kakek! " ujar Ratih memperingati anak-anaknya.
"Mama gak percaya sama kami? Ya gak apa-apa. Kapan-kapan ke sana aja jengukin menantu mama itu. Persis seperti teroris! "
Nindi menggebu-gebu. Otot-ototnya mengeras.
"Huuss!! Berani ngomong gini di depan kakek? " tanya Ratih. Nindi hanya bersungut sedangkan Ratna hanya diam saja. Ratih menggeleng mencoba memaklumi anaknya.
"Okey. Nanti sore kita ke sana! " seru Ratih dan disambut dengan anggukan keras dari kedua anaknya.
Tiba di rumah Yudha, tampak gerbang dikunci. Luna berlari keluar, membukakan mertuanya pintu.
'Aku membaca, mertua itu memiliki lidah seperti silet. Aku harus berhati-hati. Harus lebih sabar sebab dia ibu suamiku' Luna berbicara dalam hati.
Luna mempersilakan ketiga wanita itu masuk. Nindi sama sekali tak memandangnya. Berbeda dengan Ratna, gadis berambut panjang lurus itu menjulurkan tangannya lalu mencium tangan Luna. Luna kikuk. Apakah memang begini aturannya? Setiap kali bertemu Ratna, tangannya selalu dicium oleh gadis itu. Tapi mengapa Nindi tidak? Luna menahan nafasnya mencoba menguasai suasana.
"Bagaimana kesehatanmu, Nak?! " tanya Ratih membelai kepala menantunya.
"Sssayaa bbaik-baik saja, " jawab Luna agak gugup. Sentuhan tangan Ratih seolah menembus hatinya. Hangat.
"Mama bawakan kamu minuman jahe, pasti menjadi istri Yudha sangat menguras tenagamu, kan? " senyum Ratih menatap kedua bola mata Luna. Wanita bercadar itu mengangguk pelan. Ia merasakan hatinya seketika basah. Perlakuan ibunya Yudha di luar dugaannya, yang dibacanya.
"Aku sedang mencoba memasak ayam taliwang, jadi maaf agak berantakan, " ujar Luna mencoba merapikan dapur. Di ruangan itu terdapat meja panjang dengan jumlah kursi 8. Ruangan itu memang sering digunakan untuk berkumpul sembari menikmati hidangan yang baru matang.
Ratih tersenyum.
Nindi menyenggol ibunya dan berbisik,
"Lihat menantu pilihan kakek itu! Bahkan dia tak tahu tata krama. Ketemu mertua kok dia gak salim! Dia gak diajari adab ya sama orang tuanya! "
Ratih mencubit lengan putrinya sampai membuatnya meringis menahan kesakitan.
"Aku akan menelpon Mas Yudha agar pulang, " kata Luna mencoba menuju telpon rumah.
"Sepertinya kakak ipar tak punya ponsel ya, Ma, " celetuk Ratna.
"Dia itu gadis miskin yang dipungut kakek! " seru Nindi.
Ratih menatap kedua anak gadisnya dengan mata melotot. Memberi isyarat agar mereka diam.
Setelah menghubungi suaminya, Luna mendekati mertuanya.
"Maafkan aku, mm.. "
Lidah wanita itu kelu. Rasanya sangat berat mengatakan yang harus ia ucapkan.
"Panggil aku, mama. Seperti Nindi dan Ratna. Mereka adik-adiknya Yudha jadi adik-adikmu juga. Mereka memang anak nakal tapi sebenarnya hatinya baik, " papar Ratih menunjuk kedua putrinya.
Nindi masih tetap memasang wajah masamnya sedangkan Ratna tersenyum simpul. Luna menatap mereka bertiga dengan penuh keseriusan. Ia sedang mempelajari cara untuk hidup dengan banyak orang.
"Jangan terlalu kaku dengan Mama. Kamu anakku juga sebab Yudha adalah suamimu. Karena pernikahan kalian begitu dadakan sampai-sampai Mama tak punya waktu buat bicara banyak denganmu. "
Luna mengangguk.
'Wanita ini seperti Momi. Hangat dan cantik. Mertua itu ternyata tak selamanya jahat. Semoga saja bukan topeng' bisik hati Luna.
Tidak mudah percaya pada orang lain itu sudah menjadi karakternya.
"Kalau sekarang, mama boleh lihat wajahmu?" tanya Ratih.
Wanita itu tahu persis, menantunya itu tak mau membuka penutup wajahnya sebelum Yudha melihatnya lebih dulu. Parahnya, anak laki-lakinya tak tertarik dari awal. Lama Ratih menahan penasarannya sebab ayahnya mengatakan, gadis yang di depannya itu adalah bintang yang paling bersinar. Hanya saja tertutup malam, sehingga sinarnya redup.
Luna mengangguk bersedia. Ratih tersenyum.
"Tapi pastikan tidak ada ponsel, Ma, " timpal Luna.
Ketiga wanita itu saling pandang. Nindi mencebikkan mulutnya. Ratih mencoba menetralisir suasana.
"Baik. Semua tas kami yang berisi ponsel, diletakkan saja di sini! " seru Ratih berjalan menuju ujung meja dan meletakkan tas branded miliknya. Ratna mengikuti ibunya sedangkan Nindi nampak tak bergeming sedikitpun.
"Nindi... " tegur ibunya memberi isyarat.
"Aku tak perlu tahu wajahnya. Buatku tak penting! " seru Nindi menghentakkan kakinya.
"Maafkan aku, Ma. Jika dia tak menjauhkan dirinya dari ponselnya, aku tak akan membuka cadarku, " kata Luna menatap Ratih dengan serius.
"Nindi.... "
Ratih memandang putrinya itu dengan tatapan mengancam. Nindi yang mulanya kukuh tak punya pilihan lain. Dengan menghentakkan kakinya, dia melempar tasnya.
Luna membuka tali cadarnya. Ratih memilin kedua tangannya, ia sedikit gugup. Sebentar lagi ia akan melihat wajah menantu pilihan ayahnya.
"MasyaAllah..." Puji Ratih tak berkedip.
"Kakak ipar cantik sekali! " seru Ratna.
Nindi yang semula malas dan membuang wajah, refleks melihat Luna. Alisnya terangkat kaget. Tak bisa ia bohongin matanya, Luna memang wanita yang cantik.
"Alah segitu doang, " ketus Nindi kembali membuang wajahnya. Ia tak mahu, kakak iparnya itu merasa diri jika ia mengakui kecantikannya. Lagipula sangat aneh rasanya memuji orang yang dibenci.
"Pasti Yudha kesem-sem deh sama kamu. Cantik sekali menantu Mama, " lanjut Ratih memuji menantunya.
Luna hanya tersenyum, tersipu malu.
"Apalagi pas senyum gitu, cantik banget! " Ratna bahkan belum berkedip menatap kakak iparnya itu.
"Kamu juga cantik, Ratna. Hatimu juga cantik. Sempurna, " lirih Luna.
Mendengar itu, Nindi makin panas. Ia merasa disindir.
"Ayo kita pulang, Ma! Lagian gak mungkin nginep juga kan di sini!?" pekik Nindi.
"Kamar di sebelah kamar utama sudah aku kosongkan. Aku sudah pindahkan barang-barangku ke belakang. Jadi bisa kalian gunakan kapanpun, " ujar Luna.
"Ciiih... Sekarang aja baru gitu!" celetuk Nindi.
"Maafkan anak-anak Mama ya, Luna. Nindi memang kebiasaan dimanja jadi kebawa-bawa sampai besar gini, " bela Ratih.
"Tak mengapa, Ma. Supaya dia tahu juga, bahwa setiap orang ada privasi yang harus dihormati. Bukan hanya memenangkan ego sendiri, " timpal Luna melirik Nindi.
Gadis itu mencebik lalu menyentak, mengambil tasnya lalu keluar.
"Eeh...eeh..Nindi, mau kemana kamu?! Belum pamit ini!" Ratih mencoba mengejar anaknya yang diikuti Ratna.
"Luna, maaf ya, Mama kejar Nindi dulu takutnya dia pergi jalan kaki. Kadang dia suka nekad kalau lagi ngambek! " teriak Ratih menoleh menantunya.
Luna hanya mengangguk tersenyum.
Di depan pintu, Yudha hadir.
"Eeh kok pada mau kemana? pulang?! Aku baru aja nyampe lo! "
Yudha keheranan melihat Nindi bergerak cepat sedangkan ibu dan Ratna mengejarnya.
"Tanyain istrinya abang itu!! Sok paling!! "
Ketus Nindi menghambur keluar melewati gerbang.
Yudha meremas kepalanya.
"Masalah lagi! Pecah kepalaku lama-lama karena perempuan-perempuan ini!!! "