BAB 15_JANGAN SENTUH AKU!

1040 Words
Aku duduk terengah-engah sembari menghirup udara yang rasanya begitu langka. Jantungku hampir copot tiba-tiba mendengar suara teriakan lalu harus melerai istriku yang sedang mengamuk. Kepala terasa pening sebab aku masih bermimpi yang indah. Mimpi yang malu aku sebutkan tapi begitu menyenangkan jika kuingat. Aku bermimpi melewati kegiatan "itu" bersama Luna. Rupanya efek melihat lekuk tubuhnya aku bisa memimpikan selebihnya. Aku suami yang memprihatinkan memang. Saat ini wanita bercadarku itu masih menatap laki-laki sekarat di depan kami. Temannya yang satu lagi mencoba memangkunya. Tampak dia tak berani banyak bicara, sepertinya dia tahu, rekannya sudah melampaui batasan. "Sudah! Nanti aku yang selesaikan. Kau masuk saja. Ke kamar utama, jangan di sini!" perintahku pada Luna setelah sedikit tenang. Luna masih diam tak berkutik. Sorot matanya seperti ingin melumatkan sosok lemah di depannya. "Dek! Masuk! Jangan bikin aku makin pusing! " suaraku semakin meninggi. Luna sekarang melayangkan tatapannya ke arahku. Melihatnya begitu, aku tiba-tiba jadi tak bernyali. "Maksudku, aku pusing sebab harus dibangunkan dengan cara bar-bar begini, Dek. Kaget aku. Sudah, kamu masuk saja ya ke kamar kita. Biarkan aku urus dia, " ucapku perlahan. Aku tak mau jadi korban berikutnya. "Bawa pergi temanmu sekarang sebelum aku makan dia hidup-hidup! Begundal tak tahu malu! Nafsu binatang! " umpat Luna. Kali ini sorot matanya berbicara pada Si Pemapah. Laki-laki yang sudah mulai beruban itu gemetar. Ia mengangguk dan menyeret temannya keluar. "Dar... Dar... Kenapa malah jadi begini?! Mau makan apa kita nanti? Anak istri di rumah sudah menunggu upah hari ini. Kau mengacaukannya. Sekarang harus gimana?!" Terdengar suara Si Pemapah itu memarahi temannya yang lemah. Langkahnya terlihat begitu berat. Aku tahu bebannya. Belum sampai niatku memanggilnya, terdengar suara Luna memanggil lebih dulu. "Hey, kau! Berhenti! " Laki-laki itu berhenti. Dari raut wajahnya tampak rasa takut itu menyelimuti. "Diam di situ! " perintah Luna lagi. Aku hanya melihat saja. Kira-kira apa yang akan istri galakku itu lakukan. Tampak Luna masuk ke dalam kamarnya lalu keluar membawa sesuatu. Ia mendekati kedua laki-laki itu. Dia menyerahkan satu buntalan uang berwarna merah. Terlihat cukup banyak. "Bawa ini! Obati dia dan berikan makan anak istri kalian. Setelah ini, jangan pernah kalian muncul di depanku! " seru Luna terdengar tegas. Gemetar tangan laki-laki itu menerima tumpukan uang itu. "Aaaapaa Nyonya sunguh-sungguh? Iiinnni terlalu baanyaaak, Nya, " suaranya terbata seperti menahan tangis. Dari matanya, aku melihat, tetesan bening itu akan jatuh. "Ambil saja. Pastikan teman gilamu ini tak menceritakan apapun yang terlihat, yang terjadi di tempat ini. Jika tidak... " Belum sempat Luna menyelesaikan ucapannya. Laki-laki yang menerima uang itu membungkuk sambil menahan tubuh temannya yang lemah, tak sadarkan diri. "Bbbaiik, Nyonya. Saya menjamin semua ini tak akan ada yang tahu. Terimakasih banyak Nyonya, Tuan, " ucapnya mengusap wajahnya. Sepertinya ia menangis. Aku sedikit mengangguk ketika dia melihat ke arahku. Mereka keluar lalu menghilang dengan sepeda motor bututnya. Semoga mereka selamat di perjalanan, pikirku. Luna melewatiku yang masih duduk di lantai. Ia sama sekali tak mengajakku bicara. Istriku itu melenggang begitu saja. "Kok masih marah begitu, Dek? Jangan dong, aku jadi sasaran kemarahanmu, " ucapku ketus. "Laki-laki macam apa, kau, Mas! Jam segini kamu masih tidur. Ada orang masuk rumah bahkan mau melecehkanku, kau tak tahu! Apa suara palu itu tak terdengar di telingamu?! Kebo! " umpat Luna padaku sembari membuka cadarnya. Aku menggosok-gosok tengkukku, bingung. Sekarang, aku yang salah? Aku korban lo di sini! "Maaf, Dek! Aku sangat ngantuk. Kau tahukan, semalam Kakek menyiksaku," ucapku mengadu cari aman. Niatku saja yang mau balik marah, melihat hidung mungilnya kembang kempis merah begitu, membuat nyaliku kempes. Luna hanya diam dan sedikit merenggangkan tangannya. Mataku memincing heran, tangan sekecil itu, jari-jari lentik itu, bagaimana bisa melumpuhkan laki-laki dewasa dengan sekali hantaman. Aku bergidik. "Dek!! Kamu gak nyesal kasih duit sebanyak itu sama mereka? Berapa itu? " tanyaku penasaran sambil berusaha bangkit. "7 juta, " jawab Luna datar. Aku mengangguk-angguk. Luar biasa istriku ini. Baru saja dia ingin membunuh orang, setelah itu dia memberikannya uang. Baiklah. "Ehhhmm... Tapi itu pintu gimana, Dek? Belum selesai terpasang. Aku panggil tukang lain ya. Kamu jangan keluar-keluar. Diam di kamar saja. Nanti aku temani di kamar. Aku sengaja libur ngantor hari ini, buat kamu, " ucapku mencoba merayu. Namanya usaha, tak ada salah mencoba. "Tak perlu, aku yang akan memperbaikinya! " ucapnya tak ada keraguan. Luna lalu mengambil palu yang ditinggalkan kedua tukang tadi lalu memulai aksinya. Aku melotot seolah tak percaya saat melihat istriku mengangkat pintu itu. "Pegang ini, Mas! " teriaknya. Aku langsung bergegas membantunya. Mataku tak berkedip melihat tangan cantiknya memalu dan menggigit paku. Aku tak ingin percaya yang telah terjadi sejak aku menikahinya. Aku juga ingin menapik yang sedang terjadi di depan mataku. Tapi, dia istriku. Istri bercadarku yang penuh misteri! *** POV AUTHOR Luna berjalan memasuki lorong kos-kosan. Gerbang besinya tampak sudah usang dan tak berkunci. Tampak berjejer motor-motor penghuni di parkiran yang dinaungi pohon jambu air. Terlihat beberapa laki-laki muda sedang asik dengan gawainya. Mereka sekilas melihat kehadiran Luna, namun setelah itu kembali abai. 'Baguslah' bisik hati Luna. Ia tak ingin kehadirannya menjadi sorotan. Ia benci diperhatikan. Itu membuatnya tak nyaman. Wanita itu berdiri dan mencari kamar nomor 10. Marimar, asistennya mengatakan pria yang sedang dicarinya berada di kamar no 10. Matanya menangkap angka itu. Namun ia juga melihat, di samping kamar itu, ada sebuah tanda yang tak asing baginya. Sepasang sepatu yang tersimpan di depan pintu kamar. Sepasang sepatu yang saling bertaut. Salah satunya ujungnya dimasukkan ke dalam lubang sepatu yang lain. Itu adalah tanda untuknya. Sebuah tanda rahasia dari sahabatnya. "Ccciiih... Di sini rupanya dia. Mau mencoba mengelabuiku, rupanya, " ucapnya tersenyum. Luna memasuki teras kamar nomor 11. Teras itu berukuran kecil, ada penyekat dengan teras kamar lainnya. "Keluarlah, aku di sini! " seru Luna. Perlahan pintu itu terbuka. Tampak seorang pemuda berambut belah tengah sedang tersenyum lebar. Gigi putihnya berjejer rapi. Badannya tegap berisi. Jelas ada sixpack di tubuh kekarnya. Kulitnya sawo matang, mengkilap karena keringatnya. Rupanya ia baru saja sedikit berolahraga. "Wow! My Angel!" serunya sumringah. Tanpa basa-basi, Luna menerobos masuk, membuat laki-laki itu semakin girang. "Aku kira kau melupakan tentangku, " ucapnya. "Siapa manusia yang menyimpan sepatu seaneh itu jika bukan pemuda payah, Aleksei The Lord." Pemuda itu tertawa dan mengacak-acak jilbab yang dipakai Luna. Wanita itu sedikit menghindar. "Jangan sentuh aku! " seru Luna dengan tatapan tajam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD