Pemakaman

1005 Words
Sementara itu di tempat lain, Sabda langsung mendatangi kantor polisi dan meminta penjelasan tentang kecelakaan yang menimpa Mia. Pria itu mendengarkan dengan seksama semua penjelasan dari pihak kepolisian yang mengurus kasus istrinya itu. Tanpa mereka tahu, serapi dan secermat apapun rencana yang sudah disusun, sudah pasti akan ada satu hal yang terlewat. Sabda sudah menemukan dalangnya dan pria itu sangat marah. Setelah menyelesaikan urusan di kantor polisi, Sabda segera bergegas menuju rumah duka. Dia ingin melihat langsung kehancuran sang dalang. Selama perjalanan menuju tempat tujuan, Sabda tertunduk lesu di kursinya. Tidak ada yang tahu apa yang tengah pria itu pikirkan. Sekretarisnya, Juan, yang duduk di depan mengintip dari kaca spion tengahnya. Dia teramat khawatir dengan kondisi bosnya itu. Penghiburan apapun pasti tidak akan berhasil untuknya dan saat ini bosnya itu pasti tengah patah hati. Kehilangan merupakan satu-satunya momentum yang sangat menyakitkan. Tidak ada seorangpun yang siap jika dihadapkan dengan kematian mendadak seperti itu. Hal itu juga berlaku pada Sabda. Mereka sampai di rumah sakit tiga puluh menit kemudian. Juan segera membuka pintu belakang dan mempersilahkan Sabda untuk melangkah lebih dulu. Pandangan pria itu mengitari sekitar sebelum benar-benar melangkah masuk menuju tempat dimana jasad istrinya diletakkan. Di dalam aula, Dewi, Mama tiri Mia, tengah asyik berbincang dengan sanak saudaranya. Dia merasa senang saat mereka menyanjungnya sebagai wanita yang beruntung. Dewi merasa berada di atas awan. Apalagi kini mereka semua seakan berlomba untuk menjilat dirinya agar mendapat sedikit cipratan kemewahan yang saat ini sudah sah menjadi miliknya dan putrinya. Dewi tidak memungkiri untuk mencapai posisi ini dia memang banyak berkorban, belum lagi dia juga harus berpura-pura menyukai Mia. Jadi menurutnya, apa yang dia dapat sudah setimpal dengan apa yang sudah dia keluarkan. "Mama, Kak Sabda udah datang," intrupsi Desti dan itu membuat orang-orang ikut menoleh. Dewi hampir saja melupakan keberadaan Sabda, bagaimanapun juga dia tetap harus menjalin hubungan baik dengan menantunya itu. Dewi mengangguk dan segera beranjak pergi untuk menyambut Sabda. Pria itu sendiri kini sudah masuk ke dalam. Penampilannya membuat semua orang iri. Sabda memang dikelilingi oleh kekayaan yang tidak akan pernah habisnya. Baju yang dia gunakan juga merupakan baju jahitan tangan yang memang membutuhkan banyak biaya untuk membuat satu buahnya. Sarung tangan hitam serta topeng yang menutupi sebagian wajahnya sudah menjadi kewajiban untuknya. Hingga kini tidak ada seorangpun yang pernah melihat wajah Sabda secara langsung. Pria itu teramat misterius namun menarik perhatian disaat yang bersamaan. Aura yang dikeluarkan Sabda, membuat pria itu selalu menjadi sorotan. Kehadirannya sendiri menjadi sebuah komentar yang paling ditunggu-tunggu. Melihat bagaimana sepak terjangnya pria itu di dunia bisnis membuat semua orang kagum. Sabda sudah menjadi buah bibir sejak dia berhasil membawa kejayaan bagi perusahaan yang dia pimpin. "Kamu udah datang nak. Mama turut berduka cita ya." Dewi memandang Sabda. Dia harus tetap menjaga citranya di depan Sabda, meski dia berhasil membawa Dimas untuk menjadi sekutu, tapi pria itu masih tidak ada apa-apanya dibandingkan seorang Sabda. Iya Dimas, mantan pacar Mia yang kini sudah menjadi pacar Desti. Bahkan pria itu kini turut menyambut tamu juga seolah dia bagian dari keluarga ini. "Terima kasih. Tapi bukanya Mama yang harusnya lebih merasa kehilangan?" Sabda bahkan tidak memandang Dewi sama sekali ketika mengucapkan kalimat itu. Matanya hanya terfokus pada pigura yang memajang foto Mia. Untuk beberapa saat dia seperti terhanyut dan ketika sadar, Sabda melayangkan tatapan tajam kepada mereka berdua. Desti yang pertama kali menyadari tatapan itu langsung mundur dan bersembunyi di balik punggung Mamanya. Dia merasa terintimidasi dan gemetar ketakutan karena tatapan itu. Dia menatap Dimas untuk meminta bantuan, tapi bahkan pria itu hanya bisa menundukkan kepalanya dan pura-pura tidak tahu. Sabda melangkah maju dan dia menarik tubuh Desti dari balik tubuh Dewi. Desti teramat takut, dia bahkan berusaha sangat keras untuk melepaskan diri dari cengkraman Sabda. Tapi pergerakannya bahkan tidak mengusik pria itu. Sabda malah semakin kencang mencengkram pergelangan tangan Desti. "Ceritanin ke gue apa yang udah lo perbuat!" "M-maksud kakak apa? Aku nggak ngerti." Dia memandang Sabda panik, "Ma, tolongin aku," rengekannya pada Dewi. Dewi sudah akan melangkah maju untuk membantu putrinya, tapi gerakannya tertahan karena anak buah Sabda menahannya untuk tetap diam ditempatnya. "Sabda." Dewi buru-buru menetralkan raut wajah paniknya. Dia tidak bisa ketahuan secepat ini dan satu-satunya cara untuk berhasil lepas dari Sabda adalah, dia harus menjilat menantunya itu, "ada masalah apa sebenarnya ini? Apa Desti udah bertingkah nggak sopan ke kamu? Kalau iya, kamu nggak perlu bersikap kayak anak-anak begini. Kita bisa bicarakan secara baik-baik." "Dia baik, tapi dia bersalah. Lagian, Desti udah 23 tahun dan apa yang saya lakuin itu bukan tindakan kekanak-kanakan." Sabda membantah tidak peduli. Dia bahkan tidak menunggu jawaban dari mereka karena menurutnya itu tidak penting, "Mia bahkan baru 24 tahun," gumamnya pada dirinya sendiri. Desti menatap Sabda dan tangan miliknya yang dicengkeram pria itu secara bergantian. Dia mendongakkan kepalanya untuk menenangkan diri, tapi dia langsung tersentak dan berteriak histeris ketika melihat Mia yang tengah tersenyum padanya. Mungkin karena dia yang merasa bersalah dan pada akhirnya Desti menangis tersedu-sedu. Sabda tidak bergeming sama sekali. Tatapan matanya masih dipenuhi amarah, saat ini dia sangat ingin membunuh wanita itu dengan tangannya sendiri. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana amarah yang dia miliki. Bahkan Sabda sampai harus menahan diri agar tidak bertindak gegabah dan berakhir merugikan dirinya sendiri. Dia memang tidak tahu dendam apa yang diderita Dewi dan Desti hingga mereka tega membunuh gadis konyol macam Mia itu. Sabda hanya merasa menyesal karena selama wanita itu hidup, dia sama sekali tidak peduli dengan keadaannya. Bahkan dia juga tidak tahu jika keluarga Mia sebusuk ini. "Dulu saya memang tidak punya keinginan untuk ikut campur karena ini masalah internal keluarga kalian. Tapi harusnya kalian juga bisa jaga sikap. Apa karena saya sedikit longgar ke keluarga ini, jadi kalian berani mengusik apa yang sudah menjadi milik saya? Tangan kotor kalian nggak seharusnya menyentuh Mia. Kalian pikir saya bakal diam saja?" Suara lantang Sabda berhasil mengejutkan semua orang yang hadir. Pandangan mata mereka benar-benar terfokus pada perdebatan yang dimulai oleh Sabda. Semua orang saling berbisik dan menunjuk pada sekumpulan orang itu. Jiwa Mia yang ada di sana juga tertegun. Dimas sendiri, pria itu....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD