bc

Unspoken Words

book_age12+
271
FOLLOW
1.4K
READ
revenge
playboy
arrogant
badboy
goodgirl
drama
tragedy
sweet
bxg
affair
like
intro-logo
Blurb

Jika Heksa peka urusan rasa, Reksa cenderung tajam dalam tatap. Meski dengan cara berbeda, keduanya mampu menerjemahkan dengan cepat sekecil apa pun kebohongan yang coba disembunyikan. Namun, sayang ... tak semua yang tertangkap netra bisa dengan mudah disuarakan. Yang menikam hati tak selalu terjamah seperti apa bentuknya.

Ada kata-kata yang tak terucap sebelum sakit sesungguhnya datang mendekap. Ada kata-kata yang tak terucap sebelum Tuhan mempersempit kontrak hidupnya. Ada kata-kata yang tak terucap sebelum keabadian datang, tersenyum, lalu merengkuhnya.

"Pa, Ma, hatiku sakit." -Pandu Heksa Baskara

"Seandainya aku lebih cepat memberi peringatan, paling tidak ada satu hati yang bisa aku selamatkan. Bukan diam lebih lama dan membiarkan kami hancur bersamaan."-Pandega Reksa Baskara

chap-preview
Free preview
Kembar tapi beda
"Prank!" Pemuda yang sebelumnya panik sampai berteriak-teriak meminta bantuan, tersentak dengan tubuh refleks mundur saat saudara kembarnya mendadak bangun dan langsung tertawa puas. Menurutnya, ini sama sekali tidak lucu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Reksa bangkit, lantas berjalan menjauh sembari mengacungkan jari tengahnya pada Heksa yang masih sibuk menertawakan. Namanya Pandega Reksa Baskara, kakak kembar dari Pandu Heksa Baskara yang beberapa menit lalu terkapar di lapangan basket. Mereka benar-benar memiliki sifat yang bertolak belakang. Jika Reksa cenderung pendiam dan selalu serius, Heksa kebalikannya. Anak itu usil dan pandai mematik emosi orang lain. Reksa penghuni kelas 11 IPA 1, sementara Heksa kebanggaan 11 IPS 2. Keduanya hanya mempunya satu kesamaan, yakni sama-sama tampan dan paling diincar. Heksa cukup terkejut melihat reaksi saudara kembarnya. Meskipun selalu serius, tetapi Reksa tidak pernah terlihat semarah ini. "Baper dia," katanya bangga sambil melirik gadis bertubuh kurus yang berjongkok di sebelahnya, masih berusaha menguasai diri. "Lo keterlaluan tahu enggak. Reksa marah banget." Pemuda itu mengulum bibir, lalu menghela napas panjang. Sejujurnya Heksa tidak bermaksud membuat Reksa marah, ia justru tidak ingin kembarannya itu cemas. Maka dari itu, Heksa sengaja menjadikan aksi pingsannya lelucon. "Kejar sana, Al!" titahnya. Alma menggeleng cepat. Tidak mungkin juga ia berlari ke kelas 11 IPA 1 sekarang hanya karena masalah pribadi. Lagi pula, Reksa tidak suka diganggu karena masalah sepele. Jadi, wajar kalau pemuda itu sangat marah setelah mengetahui bahwa Heksa hanya mempermainkannya. "Kita ke kelas aja. Lo kuat bangun enggak?" Heksa mengangguk. Ia memaksakan diri bangkit, walaupun detik berikutnya kembali terhuyung dan nyaris jatuh. Beruntung, Alma sigap menahan. "Ke UKS aja gimana?" "Enggak usah. Gue enggak apa-apa." Alma tak lagi bersuara. Gadis itu memilih membantu sahabatnya masuk kelas agar bisa segera beristirahat. Reksa memang kekasihnya, tetapi Alma rasa ini bukan waktu yang tepat untuk mereka bicara, apalagi sekadar menjelaskan kejadian barusan. Ia sadar, Heksa jauh lebih membutuhkannya sekarang. *** Berkali-kali Reksa mengumpat tanpa suara merutuki tingkah konyol kembarannya juga kebodohannya sendiri yang dengan mudah percaya. Padahal, ia sudah tahu Heksa seperti apa. Heksa itu anak yang kuat. Sekali makan bisa menghabiskan sepiring penuh nasi goreng banjir kecap dengan dua telur dadar di atasnya. Minumnya juga banyak seperti unta. Gemar berolahraga. Jarang sekali sakit. Justru Reksa yang sering sakit karena rewel dan pilih-pilih makanan. Harusnya ia tidak tergesa percaya saat mendengar anak itu pingsan di lapangan. Kejadian tadi begitu cepat. Alma tiba-tiba berlari ke kelasnya dengan wajah panik dan napas terengah, bahkan gadisnya itu nyaris menangis. Reksa yang melihat langsung ikut panik dan mengikuti ke mana Alma mengarahkannya. Di lapangan basket, ia mendapati Heksa terkapar, wajahnya pun pucat bukan main. Beberapa siswa mengerubunginya. Tentu saja Reksa langsung percaya dan sangat marah saat tahu ternyata itu hanya permainan Heksa semata. "Gila gue kaget. Gue pikir dia oleng karena gue lempar bola basket terlalu keras." Pemuda itu menoleh pada segerombol anak yang berhasil merenggut seluruh atensinya. "Gue juga. Orang abis itu dia langsung ambruk anjir." "Tahunya cuma prank!" Denis kembali bersuara masih dengan nada yang terdengar kesal. "Tapi, enggak kelihatan kayak prank. Asli mukanya pucat sampai banjir keringat. Lo lihat juga, ‘kan, tadi?" "Sebenarnya kejadiannya gimana?" Reksa langsung melibatkan diri ke dalam obrolan teman sekelasnya. Denis menoleh. "Lo tanya sama kita?" Reksa mengangguk. "Enggak ngerti juga gue. Tadi kita lagi main basket, berenam. Gue, Yoga, Huda, Odi, sama anak IPS-nya cuma Heksa sama Miki. Pas gue lempar bola ke dia, dia tiba-tiba ambruk. Kata si Yoga, sebelum itu udah kelihatan sempoyongan sih anaknya." Sontak Reksa terdiam. Apa kembarannya itu benar-benar sakit? Kalau tadi hanya lelucon, tidak mungkin tak satu orang pun dilibatkan. Alma juga tidak tampak sedang berakting. Justru raut cemas gadis itu yang membuatnya langsung percaya. Reksa mengambi benda pipih di dalam tas, lantas mengetik sesuatu di sana. Me Al, pulangnya sama aku. Me Aku mau tanya sesuatu. *** Pulang sekolah, Heksa langsung mengurung diri di kamar. Ia tak berniat melakukan apa pun, bahkan untuk sekadar mengisi perut. Sementara saudara kembarnya entah ke mana bersama Alma. Maklum, Reksa punya pacar. Bukan jomlo ngenes sepertinya. "Adek." Heksa membuka mata begitu mendengar ketukan pintu yang bersahutan dengan panggilan sang mama. "Masuk, Ma." "Tumben di kamar aja? Papa udah pulang tuh. Biasanya langsung ngajak main PS." "Enggak mood," jawab anak itu seraya menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Aulia mengambil posisi duduk di tepi tempat tidur, lantas meraba dahi putra kesayangannya. "Agak hangat. Adek sakit?" "Ma, justru kalau aku dingin itu patut dipertanyakan." Perempuan itu terkekeh. "Jawab aja kamu tuh." Tangannya bergerak teratur mengusap penuh sayang puncak kepala Heksa. "Abang ke mana? Kok Adek duluan yang sampai rumah?" "Lagi pacaran. Setelah bel tadi Alma diculik sama Abang." Lagi, Aulia tertawa. "Makan dulu, yuk? Nanti tidur lagi deh bebas." "Enggak mau." "Kok nakal sih?" "Enggak nakal." "Mama lapor Papa, ya? Biarin aja biar uang jajannya dipotong." Heksa langsung mengangkat kepala. "Kok Mama gitu, sih? Nanti aja makannya nungguin Abang pulang." "Paling Abang udah makan sama Alma. Ya kali bawa jalan anak gadis orang, tapi enggak dikasih makan." "Tapi, aku lagi malas makan, Ma." "Kenapa sih? Lagi diet apa gimana?" tanya Aulia heran. Ini kali pertama ia melihat Heksa tak bersemangat. Padahal, putranya yang satu ini biasanya tidak bisa diam, dan gampang merasa lapar. "Lemas, Ma. Mau tiduran aja." "Ya udah. Adek sekarang tidur. Setengah jam lagi Mama bangunin." Setelah mendapat jawaban dari putranya, Aulia langsung bergegas keluar memberi kesempatan untuk Heksa beristirahat. *** "Adek mana, Pa?" "Salam dulu, Bang," tegur Bara. Pemuda tujuh belas tahun itu mengucap salam, kemudian menghampiri sang ayah, mencium punggung tangannya. "Adek udah pulang, 'kan?" Bara mengangguk. "Kenapa sih? Khawatir banget kayaknya. Kata Mama, Adek enggak keluar kamar dari pulang sekolah. Padahal, biasanya kalau Papa pulang dia ribut ngajak main PS." Mimik wajah Reksa kontan berubah. Diamnya sang adik benar-benar menimbulkan tanda tanya besar. Sudah dibilang bukan kalau Heksa itu hiperaktif? Jadi, kalau seharian hanya mengurung diri tanpa melakukan apa pun pasti ada yang tidak beres. "Kalau Mama mana?" tanyanya lagi. "Mama lagi masak," sahutnya. "Kamu tuh kalau ditanya, jawab dulu, Bang. Kenapa? Kok khawatir banget sama adiknya?" "Adek pingsan di sekolah, Pa. Terus kata Alma juga di kelas enggak kayak biasanya. Lebih banyak diam." "Kita lihat Adek dulu, yuk. Kalau ternyata enggak apa-apa, langsung ajak turun biar makan sama-sama." Reksa mengangguk. Entahlah. Kalau terjadi sesuatu padanya, Heksa jauh lebih peka. Namun, jika sebaliknya, Reksa justru tak bisa merasakan apa pun. Seolah hanya Heksa yang terikat padanya, Reksa tidak demikian pada sang adik. Sejak awal ... mereka memang berbeda. |Bersambung|

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Perfect Revenge (Indonesia)

read
5.1K
bc

Super Psycho Love (Bahasa Indonesia)

read
88.6K
bc

GARKA 2

read
6.2K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.3K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

DIHAMILI PAKSA Duda Mafia Anak 1

read
40.7K
bc

TERNODA

read
198.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook