Yes, We Are Dating

2378 Words
1. Yes We Are Dating Diandra mematut diri di cermin. Ia memandangi pantulan wajahnya, menelisik apa dirinya masih terlihat cantik? Ah sejenak ia merutuki diri, apa artinya kecantikan wajah jika itu tak mampu mengikat hati dan mata suami untuk tidak berpaling dan melirik perempuan lain. Ia tersenyum sinis, menahan sakit di hati yang masih membekas hingga kini. Bahkan mungkin luka itu masih basah, seperti awal ia memergoki suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Menjijikan..!! Satu kata itu menari-nari di kepalanya. Masih terngiang di telinganya suara desahan nikmat laki-laki dan perempuan yang terdengar saling bersahutan dari dalam kamar. Matanya meradang dan hatinya hancur seketika tatkala pandangan matanya dipanaskan dengan adegan panas suami dan sahabatnya. Sakit, satu kata itu seolah menggema di mana-mana, leburkan apa yang ada. Hatinya tak hanya pecah berkeping-keping, tapi runtuhan kepingan itu bahkan tak akan bisa disatukan lagi. Kepercayaan yang telah terkoyak, sulit untuk dibangun kembali. Sakit karena pengkhianatan akan terus terasa hingga waktu bisa menyembuhkan dan kondisi bisa mendamaikan luka yang entah kapan akan mengering. Dan tak tahu, kapan waktu itu akan tiba? Tiga tahun yang lalu ia menyusul sang suami ke Australia. Putrinya baru berusia dua tahun waktu itu. Ia ingin mendampingi sang suami yang sedang menempuh PhD dan juga bekerja di sana. Dua tahun kemudian ia memergoki perselingkuhan itu. Aldebaran menjatuhkan talak dan mereka pun tinggal terpisah. Ada satu hal yang membuat Diandra bertahan di Australia dan tidak seketika kembali ke Indonesia. Ia masih terikat kontrak kerja sebagai psikolog yang mendampingi anak-anak yang menderita gangguan kejiwaan di rumah sakit. Setahun kemudian keduanya kembali ke Indonesia, bukan untuk menyatukan kembali cinta yang telah retak, bukan untuk memperbaiki rumah tangga, tapi untuk mengurus perceraian. Selalu saja ada sakit yang sedemikian menggila, seolah menghunus hatinya yang terdalam setiap kali teringat suami yang terlihat baik dan romantis, tega berkhianat dengan memacari sahabatnya sendiri. Diandra seolah disadarkan bahwa sahabat sejati itu sulit untuk ditemukan. Dalam hidupnya, dia hanya pernah memiliki dua sahabat terbaik, Mareta dan Bayu. Mareta adalah cinta sejati Bayu yang meninggal tiga tahun yang lalu karena bunuh diri. Ia dan Bayu hancur, sehancur-hancurnya saat mendengar berita kematian tragis Mareta. Rasa sakit karena kehilangan itu masih terasa menyesakkan hingga kini. Ia pikir, ia tak akan pernah lagi merasakan sakit dan hancur, ternyata ia harus bertemu kembali dengan rasa sakit yang bahkan jauh lebih sakit. Ia seolah tenggelam di palung terdalam dan sulit untuk menyelamatkan diri. Adakah yang lebih perih selain dikhianati suami dan sahabat sendiri? Dua orang yang dianggap sebagai orang-orang terpercaya. Diandra menyeka setitik air mata yang tiba-tiba mengalir tanpa mampu ia cegah. Diandra memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Dia berjanji untuk bahagia. Ia membenarkan perkataan Rayga, adik Bayu, yang mengatakan bahwa untuk bisa move on dari luka lama adalah dengan memberi kesempatan pada cinta lain untuk singgah. Rayga... Ah satu nama itu kenapa tiba-tiba menyelinap di pikirannya? Masih teringat saat Bayu memperkenalkannya dengan laki-laki yang berusia tiga tahun lebih muda itu dalam balutan seragam SMP. Waktu itu Diandra sudah kelas tiga SMA. Ia tak menyangka pertemuannya dengan Rayga sekembalinya dari Australia justru hadirkan cerita baru. Di awal laki-laki itu datang menemuinya di butik untuk membicarakan gangguan psikis kakaknya. Ia tak pernah menyangka bahwa dari pertemuan itu terjadi sesuatu yang membuatnya malu, salah tingkah, dan kesal pada diri sendiri. Rayga mencengkeram lengannya saat ia menolak untuk bercerita kisah silam antara Bayu dan almarhumah Mareta. Jarak mereka begitu dekat hingga Rayga tergoda untuk menepis jarak diantara mereka. Diandra bersyukur bahwa ciuman itu tak pernah terjadi. Namun ia terlanjur malu, sangat malu. Dan siang tadi pemuda 26 tahun itu menemuinya kembali. Seliweran kejadian tadi siang mengisi benaknya. Flashback Diandra terlihat serius merapikan meja kerjanya. Salah seorang karyawati mengetuk pintu. “Bu...” Diandra menoleh pada Devi. “Ada apa Dev?” “Ada yang mau konsultasi,” jawabnya setengah ragu. Diandra memicingkan mata, “Siapa? Setelah konsultasi barusan aku nggak punya appointment lagi dengan siapapun.” Mata Diandra dikejutkan dengan sosok Rayga yang berdiri di belakang Devi. “Lho kamu?” Diandra kaget luar biasa melihat sosok itu nekat menemuinya dengan alasan ingin konsultasi. Devi segera berlalu meninggalkan kedua insan itu. Tanpa dipersilakan, Rayga melangkah masuk. Diandra menganga sekian detik. “Aku nggak nyuruh kamu masuk,” ketus Diandra. “Aku mau konsultasi, jadi wajar kan aku masuk?” Rayga menghempaskan tubuhnya di sofa. Diandra menyeringai sinis, “Memangnya kamu mau konsultasi apa? Kamu nggak punya masalah atau gangguan psikis.” “Aku punya gangguan makanya aku mau konsultasi,” balas Rayga santai. Diandra bersedekap dan berdiri menatapnya dingin. “Aku nggak mau buang-buang waktu untuk bermain-main.” “Aku juga nggak mau buang waktu untuk main-main. Perlakukan aku seperti klien atau pasien lain. Jangan ketus seperti itu.” Rayga merebahkan badannya, menyangga kepalanya dengan dua telapak tangan yang ia sandarkan di atas bantal. Sementara mata awas itu menelisik pada sosok cantik yang menatapnya dengan tatapan tak suka. “Saat berkonsultasi dan bercerita, kita boleh sambil tiduran, kan?” tanya Rayga. Diandra membuang muka. Rasanya ia malas menanggapi Rayga. Bocah berondong itu semakin ngelunjak. “Kenapa kamu diam saja? Apa begini cara menyambut klien?” Rayga masih awas memperhatikan wanita itu begitu lekat. Diandra menatap Rayga, masih dengan sikapnya yang tak bersahabat. Ia menyadari satu hal, Rayga dengan lancangnya menyebutnya ‘kamu' tanpa embel-embel ‘mbak'. “Kamu mau konsultasi apa?” tanya Diandra setengah hati. “Aku merasakan sesuatu yang begitu mengganggu dan tak bisa aku hilangkan.” Diandra memijit pelipisnya. “Sesuatu apa?” tanya Diandra masih dengan sewot dan setengah hati. “Sesuatu yang membuatku kepikiran seseorang dan aku nggak bisa menyingkirkannya dari pikiran, hati, dan kepalaku.” Rayga menatap Diandra dengan tatapan maut. Diandra salah tingkah dibuatnya. “Jatuh cinta?” Diandra menaikkan alisnya dan tersenyum kecut. “Sepertinya...” Rayga bangun dari posisinya dan duduk di sofa. Sementara Diandra mematung di hadapannya. “Berhentilah bermain-main. Ray. Aku nggak punya banyak waktu.” “Aku serius, aku nggak main-main.” Rayga beranjak dan melangkah mendekat pada Diandra. Ia menatap wanita itu tajam, “Aku jatuh cinta sama kamu.” Entah keberanian dari mana yang membuat Rayga berani berterus terang. Deg... Entah kenapa Diandra berdebar-debar. Seketika gugup melanda. Apalagi jarak mereka semakin dekat. “Jangan bercanda. Toh apa untungnya jatuh cinta padaku.” Rayga tersenyum mendengar penuturan Diandra. Ia bisa merasakan kegugupan wanita itu yang perlahan memundurkan langkahnya. “Untungnya apa? Aku bisa menikahimu.” Rayga mengulas senyum manis. Ia melangkah maju hingga tubuh Diandra menghimpit dinding. Sebelah tangannya bertumpu pada sisi tembok di sebelah kepala Diandra. Ia dekatkan wajahnya pada wajah Diandra. Diandra merasa was was dan ia malah semakin deg-degan. Ia bertanya-tanya, apa Rayga hendak mencoba menciumnya lagi. Diandra menaikkan sebelah sudut bibirnya, “Menikahiku? Kamu mencium perempuan saja belum pernah, berlagak mendekatiku, membuat badanku mundur seakan kamu mau menciumku lagi. Terus kamu bilang mau menikahiku. Kamu masih bocah. Nggak tahu apa-apa.” Dikatakan masih bocah dan tak tahu apa-apa membuat sisi kelaki-lakian Rayga bangkit. “Aku masih bocah? Nggak tahu apa-apa? Okay... Kita lihat seberapa bocahkah seorang Rayga?” Rayga menulisuri pipi Diandra dengan jari-jarinya. Tatapan itu serasa membius Diandra dan membekukannya. Diandra semakin gugup kala Rayga semakin menepis jarak diantara mereka. Diandra semakin deg-degan kala Rayga semakin memperpendek jaraknya dan menatapnya lekat. Pria di hadapannya ini sebenarnya menarik di matanya dengan sikap tengilnya hari ini. Ia tak menyangka Rayga bisa bersikap seperti ini. Ia menyadari kata-katanya mungkin telah menyinggung perasaannya. Satu masalahnya, pria ini lebih muda. Lagipula ia menilai Rayga terlalu cepat jatuh cinta padanya. Rayga terpaku menatap Diandra yang terlihat seperti memikirkan sesuatu. Ia bisa membaca ada kegugupan menguasai wanita cantik itu. Hembusan napasnya yang memburu telah menyapu wajah Rayga. Laki-laki itu bisa merasakan debaran yang tengah bergelora. Tentu dia tak akan melakukan sesuatu. Dia hanya ingin tahu, apa ada ketertarikan di hati Diandra untuknya. “Kalau aku memang masih bocah, tentu akan kulakukan sesuatu, menciummu atau bahkan lebih. Aku orang yang dewasa. Dewasa itu artinya bisa memilih mana yang baik, mana yang nggak. Dan aku nggak akan melakukan sesuatu padamu.” Rayga menjauhkan jaraknya dari Diandra. Diandra merasa lega. Namun entah kenapa, rasa gugup itu masih mendominasi. Ia berusaha menetralkan kegugupannya. Seketika suasana hening. Kedua insan itu hanya beradu pandang, tanpa suara. “Kalau sudah nggak ada yang dibicarakan lagi, lebih baik kamu keluar.” Diandra tak berani menatap Rayga. “Aku nggak akan keluar. Aku belum selesai ngomong,” tegas Rayga. “Apa lagi yang mau diomongin?” Diandra menaikkan kedua alisnya. “Kenapa kamu meragukanku? Apa karena aku lebih muda? Cuma selisih tiga tahun, nggak jauh kok.” Diandra bingung menjawabnya. Tatapan Rayga begitu menghunjam. Mata tajam itu kerap membuatnya salah tingkah. Diandra merutuki diri sendiri. Menghadapi hal-hal seperti ini harusnya bukan lagi menjadi sesuatu yang membuatnya salah tingkah seperti remaja. Entah kenapa, dia seakan membeku di hadapan Rayga. “Sepertinya kamu terlalu cepat jatuh cinta padaku, Ray. Kita memang sudah mengenal lama, tapi kita tidak saling mengenal secara personal.” “Karena itu biarkan aku mengenalmu lebih dekat,” sela Rayga cepat. “Aku mungkin terkesan cepat jatuh cinta atau mudah jatuh cinta. Padahal aku hanya mencoba bersikap realistis. Aku pernah dijodohkan dengan Riana, tapi dia menolak. Aku bisa apa? Mungkin aku belum benar-benar jatuh cinta padanya. Aku menerima perjodohan karena aku pikir Riana wanita yang baik. Dan aku nggak mau mengecewakan orang tuaku. Tapi saat dia menolak, aku nggak bisa memaksa. Saat Riana berbalik menerima perjodohan, aku sudah jatuh cinta sama Firda.” Diandra terhenyak mendengar nama Firda. Rayga meneruskan kata-katanya, “Lalu ternyata Firda masih mencintai Mas Bayu. Aku nggak mau egois memaksakan perasaan orang lain. Aku justru berharap Firda bisa mendampingi Mas Bayu dan menjadi motivasi untuk Mas Bayu sembuh dan lebih bahagia menjalani hidupnya. Aku nggak mau menyiksa perasaanku sendiri dengan terus mencintai seseorang yang tidak mencintaiku. Dan sekarang aku jatuh cinta padamu. Kita sama-sama single. Wajar jika aku berusaha mendapatkanmu. Kecuali kalau kamu menolak dan memilih yang lain, aku akan mundur. Selama kamu belum memiliki seseorang dan belum menolakku, aku akan terus maju.” Rayga menatap Diandra tajam. Ada keseriusan tergambar di matanya. Diandra terdiam. Ia pikir, ini terlalu cepat untuknya membuka hati. Luka lama yang ditinggalkan mantan suaminya masih terasa sakit dan belum mengering. Rasa trauma dikhianati begitu membekas. Ia butuh waktu menata hati. “Aku butuh waktu menata hati, Ray. Aku rasa ini terlalu cepat. Sementara aku masih terbayang dengan pengkhianatan yang dilakukan Aldebaran. Butuh waktu untuk kembali membangun kepercayaan pada laki-laki. Apalagi aku punya seorang putri. Ketika aku siap membuka hati, maka kebahagiaan putriku di atas segalanya.” Nada bicara Diandra sudah terdengar lebih tenang. “Aku mengerti maksudmu. Aku bisa menunggu. Atau beri aku kesempatan untuk membuatmu dan Alea bahagia. Untuk bisa move on kamu perlu memberi kesempatan pada cinta lain yang akan mengobati lukamu. Tapi aku nggak akan memaksa.” Rayga menghela napas. “Kapanpun kamu butuh teman bicara kamu bisa menghubungiku, Di. Aku serius ingin mengenalmu lebih dekat,” tambahnya lagi. Tatapan itu terasa begitu membius. Diandra tak mau terburu-buru menilai seorang Rayga. Namun agaknya ia perlu memberi kesempatan pada hatinya untuk bahagia. Tiga tahun itu tidak terlalu jauh... “Dengan segala yang kamu miliki, sebenarnya kamu bisa mendapatkan siapapun, Ray. Kenapa harus aku? Aku janda, punya anak satu. Banyak wanita lajang yang lebih baik dari aku.” “Kalau aku bisa mendapatkan siapapun, harusnya aku bisa mendapatkanmu, kan? Atau begini saja. Selama enam bulan anggaplah aku sebagai kekasihmu dan aku akan menganggapmu sebagai kekasihku. Setelah jangka waktu enam bulan, keputusan ada di tanganmu, mau lanjut atau tidak. Jadikan enam bulan itu untuk mengenalku lebih dekat sekaligus mempertimbangkan baik-baik, apa kamu menerimaku atau tidak.” Rayga bicara dengan tenangnya, sementara Diandra melongo seketika. “Maksudmu kita pura-pura pacaran?” Diandra memicingkan matanya. “Bisa dibilang begitu. Meski pura-pura, aku akan berusaha yang terbaik.” Rayga mengulas senyum. Diandra mengembuskan napas. Ini terdengar konyol olehnya. Namun entah kenapa, Diandra tertantang untuk mencobanya. “Baiklah,” balas Diandra. Diandra mengerjap. Kini ia mempertanyakan kembali keputusan konyolnya. Berpura-pura pacaran? Astaga. Sesaat ia lupa pada statusnya sebagai single parent dengan seorang putri berusia lima tahun dan saat ini dia 29 tahun. Bagaimana mungkin ia memutuskan sesuatu yang terdengar kekanakan. Rasanya ia perlu menimbang kembali keputusannya. Mungkin saja ia begitu emosional hingga memutuskan sesuatu tanpa berpikir panjang. Bagaimana bisa ia berpura-pura pacaran dan mencintai seseorang. Smartphone-nya berbunyi. Ada panggilan dari Rayga. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam sayang, kamu lagi apa?” Diandra terbelalak mendengar panggilan ‘sayang’ dari Rayga, terdengar aneh. “Kenapa kamu manggil aku sayang?” “Kamu lupa, hari ini kita resmi pacaran.” “Kita sedang berpura-pura, Ray.” Diandra melangkah keluar menuju balkon. Ia amati mega malam yang terlihat kelam. “Jadikan kepura-puraan ini lebih istimewa dengan panggilan sayang. Bagaimana?” Diandra memijit pelipisnya. “Bukankah ini kekanakan? Alay? Kita bukan remaja.” “Bapak ibuku saling manggil sayang. Mereka bukan remaja, itu jelas. Apa itu alay? Nggak, kan?” Diandra menyadari satu hal, Rayga ini jago ngeles. “Yang benar saja, Ray. Ini aneh.” “Ayolah Di. Jangan terlalu sepaneng. Nikmati hidup ini. Selama enam bulan bersikaplah seoolah-olah kamu benar-benar kekasihku. Setelah itu kamu bebas membuat keputusan.” Diandra menyila rambutnya ke belakang. “Bagaimana dengan perasaanmu?” “Resiko terberat dari jatuh cinta adalah patah hati, dan aku siap.” Hening.. “Sayang...” Entah kenapa panggilan ‘sayang’ itu sekarang terdengar lebih menyejukkan. “Ya...” “I love you....” Nyesss.... Diandra terdiam. Bibirnya terkatup. Brondong manis itu bisa juga membuatnya baper. “Kenapa diam?” Diandra menghela napas, “Nggak apa-apa.” “Kamu udah makan?” “Udah, kamu?” “Udah juga. Nggak enak makan sendiri.” “Makan sendiri? Nggak makan sama Bayu?” “Mas Bayu lagi di Bandung. Dia dan Firda mau menikah di sana. Nanti kita datang ke sana, ya. Mau, kan?” Diandra tersenyum mendengar kabar bahagia itu. Dia berharap Firda mampu menjadi pendamping hidup Bayu yang setia dan membantunya untuk benar-benar sembuh dari gangguan halusinasi dan delusi serta anxiety disorder-nya. “Iya insya Allah, Ray. Aku seneng dengernya.” “Aku sayang kamu, Di.” “Kenapa kamu gombalin aku terus?” “Aku serius.” Senyap... “Bisa nggak sekali ini saja, kamu bilang kamu sayang aku? Pura-pura juga nggak apa-apa.” Diandra terkekeh, “Bagaimana aku bisa berpura-pura?” “Ayolah. Sekali ini saja membuatku senang.” Diandra mengembuskan napas. “Aku sayang kamu....” “Alhamdulillah...” Kini Diandra merutuki dirinya sendiri yang terbawa oleh permainannya sendiri. Dia tersipu. “Ya udah, kamu tidur gih. Udah malam. Jangan dibiasakan bergadang.” “Baik, kamu juga ya. Tidur.” “Iya. Have a nice dream ya sayang... Muach.” Tut tut tut... Diandra tertawa kecil. Ia merasa seperti kembali ke masa remaja. Sungguh ia masih belum mengerti kenapa ia bisa terjebak dalam permainan yang begitu kekanakan ini. Namun setidaknya malam ini ia bisa tidur lelap dengan suasana hati yang lebih baik dari hari kemarin. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD