Pacar Brondong

2340 Words
2. Pacar Brondong   Diandra menyiapkan sarapan untuk putri kecilnya. Dia memang memiliki seorang asisten, tapi urusan sarapan putrinya, dia memasaknya sendiri. Sembari menunggu Alea menyelesaikan sarapannya, Diandra menyiapkan bekal untuk putrinya. “Mama bawain aku bekal apa?” Alea melirik sang mama. “Mama bikinin sandwich. Dihabiskan ya bekalnya,” balas Diandra dengan senyum khasnya. Alea mengangguk, “Thank you, Mom.” Diandra bersyukur, putrinya termasuk mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal dan sekolah barunya. Untungnya selama tinggal di Australia, Diandra selalu membiasakannya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia saat berada di rumah, jadi Alea tetap bisa berbahasa Indonesia. Seusai sarapan, Diandra mengantar Alea ke sekolah. Gadis kecil berusia lima tahun itu terlihat antusias sepanjang jalan. Setiap hari dia berceloteh tentang teman-temannya, gurunya, serta materi yang ia pelajari. Alea memang tipikal anak yang supel, ceria, dan mudah bergaul. Setelah mengantar putrinya, Diandra melajukan mobil menuju butik. Butik yang sempat dikelola kerabatnya saat ia tinggal di Australia itu menjual baju, sepatu, dan tas branded berharga mahal maupun merk-merk lain yang harganya terjangkau. Sejak SMA, Diandra memang menyukai dunia fashion, bahkan hingga kini penampilan Diandra selalu terlihat modis dan fashionable. Setiba di butik, Diandra menaiki tangga menuju ruang pribadi. Tiga orang karyawatinya sudah datang dan sedang merapikan baju-baju yang dipajang. Selain menjual secara offine, Diandra juga memasarkan produknya secara online. Diandra melangkah ke lantai atas. Ada dua ruangan di atas, satu ruang pribadi, satu ruang untuk konsultasi. Dia tak bisa meninggalkan pekerjaannya sebagai psikolog meski penghasilannya sudah sangat mencukupi dari bisnis fashion-nya. Diandra duduk di ruang pribadinya, membuka laptop dan berselancar di website butiknya. Ia mengecek jumlah orderan yang masuk. Sesaat smartphone-nya berbunyi. Satu pesan w******p datang dari Aldebaran. Membaca namanya saja sudah terbitkan perasaan tak menentu. Rasa benci, marah, kesal, dan jijik masih saja mengacaukan pikirannya. Ia berusaha untuk menepis dan berdamai dengan masa lalu, tapi ternyata tak semudah itu. Di, hari ini aku ingin ngajak Alea jalan-jalan. Sebentar lagi aku balik ke Australia. Gimana kalau aku jemput dia di sekolah? Diandra kehilangan mood untuk membalasnya. Rasa sakit masih saja menjalar, seakan melumpuhkan setiap persendian yang ada. Sering ia bertanya, sampai batas waktu kapan seseorang bisa dikatakan bisa benar-benar move on dari masa lalu? Diandra mengalihkan pikirannya yang sempat carut-marut dengan membuka **. Mungkin dengan membaca postingan teman-temannya, hatinya sedikit terhibur. Ada satu permintaan pertemanan dari Aldebaran. Mereka memang sudah lama saling unfollow di akun media sosial. Sejak bercerai, Diandra mengatur akunnya menjadi akun private. Diandra mengabaikan permintaan pertemanan dari mantan suaminya. Ia cukup tergoda untuk stalking sejenak akun ** Aldebaran yang di-set publik. Ia dikejutkan dengan postingan Aldebaran yang mengunggah foto Disha, mantan sahabatnya yang telah tega mengkhianatinya. Ia baca caption pada postingan itu. Happy birthday sayang, I love you so much ❤. Diandra membaca komentar dari Disha, I love you too honey. Thank you so much for the surprise. I miss you so much.. Mata Diandra serasa memanas membacanya. Kadang ja berpikir, bagaimana bisa seseorang yang sudah mengkhianati istrinya dan menceraikannya atas kesalahan yang ia perbuat sendiri bisa begitu berbahagia dengan cinta selingkuhan, tanpa sedikitpun rasa sesal. Begitu juga dengan Disha, bagaimana bisa perempuan yang tega merebut suami sahabatnya sendiri bisa dengan bangganya memamerkan kemesraan dengan laki-laki yang telah ia rebut. Atau memang pelakor itu dimana-mana tak tahu malu? Tak punya hati, tak punya perasaan. Tiba-tiba tercetus di pikirannya untuk mengajak Rayga menjemput Alea di sekolahnya. Sebenarnya tidak menjemput, hanya mengantar baju ganti karena ia akan pergi bersama Aldebaran. Dia akan bertemu laki-laki itu di sekolah. Mungkin dengan mengajak Rayga, dia bisa sedikit menunjukkan bahwa dia sudah move on dari laki-laki itu. Meski sebenarnya, belum sepenuhnya move on. Diandra mengirim satu pesan w******p untuk Rayga. Ray, hari ini kamu ngajar sampai jam berapa? Mau nggak nemeni aku ke sekolah Alea? Sekitar jam sebelas. Balasan belum datang. Diandra berpikir, mungkin saja Rayga sedang mengajar jadi belum bisa membalas pesannya. Smartphone-nya berbunyi. Satu pesan balasan datang dari Rayga. Kebetulan aku nggak ada jadwal ngajar di jam itu. Insya Allah aku temeni. Buat kalian mah, aku bakal usahain. Diandra mengetik balasan. Makasih banyak ya. Nanti aku ke kampusmu atau gimana? Tak sampai semenit datang balasan dari Rayga. Aku yang jemput kamu ke butik. Pakai mobilku aja. Nggak perlu berterima kasih. Kayak sama siapa aja. Diandra membelalak membaca kata-kata yang paling belakang, kayak sama siapa aja? Diandra membalas lagi. Aku takut aja ngrepotin kamu dan ganggu aktivitas kamu. Diandra menghela napas. Sebenarnya ia berpikir untuk memberi Rayga kesempatan, tapi sejuta ragu seolah berkecamuk. Ia tak yakin Rayga benar-benar mencintainya mengingat rekam jejaknya yang mudah bersimpati pada perempuan dan jatuh cinta. Belum lagi pembawaannya yang kadang tengil dan terkesan kurang serius. Rayga mengirim balasan. Sama sekali nggak ngrepotin atau ganggu. Aku malah senang kamu minta bantuan. Aku merasa dibutuhkan. Lagipula wajar kan minta bantuan pacar? Ada yang berdesir ketika ia membaca, lagipula wajar kan minta bantuan pacar? Mendengar kata ‘pacar' menjadi sesuatu yang aneh dan ia pikir ini terlalu alay dan kekanakan untuknya. Ia merutuki diri sendiri, apa masih pantas untuk single parent sepertinya berurusan dengan yang namanya pacaran? Meski ini hanya pura-pura. Diandra akui, dirinya masih jauh untuk dikatakan shalihah. Tapi berpacaran jelas bukan sesuatu yang harus ia jalani. Dia bingung pada dirinya sendiri dan perlu menimbang kembali keputusannya untuk berpura-pura pacaran dengan Rayga. Sungguh saat ini ia bahkan tak mengerti kondisinya sendiri. Ia tak bisa memahami jalan pikirannya sendiri. Atau ia ikuti saja kemauan Rayga yang memintanya untuk tidak terlalu sepaneng dan menikmati hidup. ****** Rayga mengemudi dengan hati-hati sambil sesekali melirik Diandra yang duduk terpekur di sebelahnya. “Apa yang sedang kamu pikirkan, sayang?” Pertanyaan Rayga membuat Diandra terkesiap. Panggilan ‘sayang’ itu masih terdengar aneh di telinganya. “Sayang? Aku masih merasa aneh dengan panggilan itu, Ray.” Diandra menatap Rayga dengan datar. Rayga tersenyum, “Mulai sekarang biasakan diri untuk dipanggil sayang.” Diandra mengembuskan napas, “Aldebaran mau mengajak Alea jalan-jalan. Kita hanya akan mengantar baju ganti untuknya.” Rayga melirik Diandra tajam lalu tatapannya kembali fokus ke depan. “Oh, jadi kamu sengaja ngajak aku untuk bikin Aldebaran cemburu?” Diandra terdiam sejenak. Matanya menerawang ke arah luar jendela. “Setidaknya aku bisa menunjukkan padanya kalau aku sudah move on darinya.” Rayga tersenyum tipis. Ia sadar benar, saat ini dia hanya dijadikan alat oleh Diandra untuk membuat mantan suaminya cemburu. Tapi ia terima. Ia menganggap semua ini sebagai bagian dari perjuangannya untuk mendapatkan Diandra. “Kamu nggak usah khawatir. Aku bisa bersandiwara, bahkan mungkin sangat menjiwai.” Rayga menoleh Diandra dan menatapnya tajam, “karena apa yang kurasakan nggak berbeda dengan apa yang ada di skenario.” Rayga kembali menatap ke depan. Jleb.. Diandra membeku. “Setelah mengantar baju ganti untuk Alea, apa kamu mau kalau ajak makan?” Rayga melirik Diandra sepintas. “Kamu nggak ada jadwal lagi?” Diandra menoleh Rayga yang masih fokus dengan kemudinya. “Nggak ada.” Diandra mengangguk, “Okay.” Tentu, dia tak enak menolak. Dia sudah meminta bantuan Rayga. Dia tak ingin mengecewakannya dengan menolak ajakannya. Setiba di sekolah, Diandra melihat Aldebaran menggandeng tangan Alea. Diandra sudah mengirim pesan w******p untuk Aldebaran sebelumnya, bahwa ia akan membawa baju ganti untuk Alea. Diandra dan Rayga turun dari mobil dan berjalan mendekat ke arah mereka. Aldebaran cukup terkejut melihat kedatangan mantan istrinya bersama seorang pria yang telihat masih muda. “Hai sudah lama? Maaf kalau aku telat datang.” Diandra berusaha bersikap setenang mungkin. “Om Rayga....” Alea menghambur, menyambut kedatangan Rayga. Rayga berjongkok dan memeluk gadis cilik itu. Aldebaran melihat keakraban putrinya dengan laki-laki itu dengan perasaan yang bercampur-campur. Ia bertanya-tanya, siapa laki-laki itu? Apa dia yang akan menggantikan posisinya? Menjadi seorang ayah untuk putrinya? Tidak, tentu posisinya sebagai seorang ayah tak akan pernah tergantikan. Kalaupun pria ini menikah dengan Diandra, dia hanya akan berstatus sebagai ayah tiri putrinya. “Hai sayang, bagaimana sekolahmu? Apa menyenangkan?” Rayga mengusap rambut Alea lembut. “Iya, Om. Alea suka sekolah di sini,” jawab Alea riang dengan  senyum mengembang. “Alea, hari ini jalan-jalan bareng papa ya,” Aldebaran menggandeng tangan putrinya. Ia terlihat keberatan melihat keakraban Alea dengan laki-laki muda itu. Alea melirik papanya, “Iya, Pa.”                                                                     “Alea ke toilet dulu, yuk. Ganti baju dulu.” Diandra meraih tangan Alea dan menuntunnya masuk ke pelataran sekolah. Kini tinggallah Aldebaran dan Rayga diam mematung dengan atmosfer yang begitu canggung. “Saya Aldebaran, anda pacar Diandra?” Aldebaran menyodorkan tangannya. Rayga membalas uluran tangan Aldebaran dengan senyum yang melengkung. “Saya, Rayga. Ya, saya pacar Diandra,” jawab Rayga penuh percaya diri. Aldebaran mengakui sosok di hadapannya ini terlihat percaya diri dan meyakinkan, meski sosok tengilnya masih sedikit kelihatan. “Oh, kerja di mana? Atau masih kuliah?” Aldebaran menatapnya menelisik. Wajah laki-laki ini terlihat baby face, seperti anak kuliahan. “Saya ngajar di beberapa kampus,” balas Rayga. Aldebaran cukup kaget. Dari penampilan dan tampang Rayga, sama sekali tak menunjukkan tampang seorang dosen. Sejenak ia berpikir, apa Diandra memang seleranya itu menyukai dosen? Pria ini berprofesi sama dengannya. Pandangan mata Aldebaran beralih menatap Diandra dan Alea yang berjalan ke arah mereka. “Sudah ganti bajunya, sayang.” Aldebaran tersenyum menatap putrinya. “Sudah, Pa.” “Oya, aku lupa untuk mengenalkan, ini Rayga.” Diandra menatap Rayga. “Kami sudah kenalan tadi,” balas Aldebaran cepat. “Oya kalian udah berapa lama jalan? Apa waktu Diandra masih di Australia, kalian sudah berpacaran?” Aldebaran menatap Diandra dan Rayga bergantian. Diandra melirik Alea, “Alea masuk dulu ke mobil papa, ya.” Diandra membimbing putrinya untuk masuk ke dalam mobil. Ia tak mau putrinya mendengar obrolan orang dewasa. Diandra menatap tajam Aldebaran, “Aku nggak kayak kamu yang bahkan sudah berhubungan dengan perempuan lain di saat kita masih terikat pernikahan. Kami berpacaran setelah kita resmi bercerai.” Aldebaran menyeringai, “Cepet ya move on-nya.” Ia tersenyum sinis. “Untuk apa berlama-lama larut dalam masa lalu? Aku juga berhak bahagia membangun cinta yang baru,” tegas Diandra. Rayga terpekur, seolah ia terjebak diantara dua orang yang masih menyimpan luka masa lalu dan belum bisa berdamai dengan semuanya. “Okay kamu hebat, masih bisa memikat pria single yang masih muda.” Nada bicara Aldebaran terdengar meremehkan. “Dia bisa memikat siapapun. Aku bersaing dengan banyak pria untuk mendapatkannya,” sela Rayga segera. Diandra cukup terkejut mendengar ucapan Rayga. Ia tak menyangka laki-laki itu akan menanggapi perkataan Aldebaran dengan kata-kata yang meninggikan harga dirinya setelah sebelumnya direndahkan Aldebaran. Aldebaran tersenyum sinis, “Ya pria tidak akan terpikat kalau si wanitanya nggak memancing dengan sengaja untuk memikat pria.” Diandra tersentak, “Aku nggak pernah memancing pria manapun.” “Aku yang mengejarnya. Dia tak pernah memancingku atau pria manapun. Dia diam pun, pria akan terpikat padanya. Dan aku beruntung mendapatkannya. Dia punya banyak keistimewaan,” kata-kata yang meluncur dari bibir Rayga bernada tenang tapi terdengar tegas. Tatapannya awas menatap Aldebaran seakan hendak menguliti habis-habisan. “Jika dia memang seistimewa itu, aku nggak akan menceraikannya,” balas Aldebaran lebih pedas. Suasana sudah semakin memanas. Diandra menggandeng tangan Rayga. “Sayang, bukankah kamu ingin mentraktirku makan? Lebih baik kita makan sekarang. Aku sudah lapar,” Diandra mengulum senyum termanisnya. Rayga mengangguk, “Okay.” Mereka berjalan beriringan menuju mobil Rayga. Aldebaran menatap kepergian dua orang itu dengan tatapan tak suka. Ia benci melihat kebersamaan Diandra dan Rayga. Ia benci melihat mantan istrinya begitu cepat melupakannya dan bahkan mendapat seseorang yang lebih muda. Di matanya pacar brondong Diandra ini sama sekali tak istimewa. Ia berani menjamin, hubungan Diandra dan pacar brondongnya tak akan bertahan lama. Diandra mengembuskan napas pelan lalu meneguk air mineral hingga habis setengahnya. “Sudah lebih tenang?” tanya Rayga masih fokus dengan setirnya. Diandra mengembuskan napas sekali lagi, “Mendingan. Setiap kali bicara dengannya selalu saja membuat emosiku berantakan.” “Dia memang menyebalkan. Keputusanmu berpisah dengannya adalah hal yang sangat tepat. Dia tak bisa menghargai perempuan,” balas Rayga. “Ya, dia tak pernah menghargai usahaku. Sebesar apapun usahaku untuk bisa menjadi istri yang baik, di matanya tidak ada artinya.” Rayga melirik Diandra sepintas. “Aku akan berusaha untuk selalu menghargaimu, Di.” Diandra tercenung. Tentu ia tak meragukan Rayga untuk urusan satu itu. Dia sudah melihatnya sendiri bagaimana pria itu membelanya di depan Aldebaran. “Kenapa kamu diam?” tanya Rayga tanpa menoleh. “Tidak apa-apa.” “Oya lusa Mas Bayu dan Firda akan menikah. Aku ingin mengajakmu ke Bandung. Kita bisa mengajak Alea. Nanti aku akan minta izin pada orang tuamu.” Mereka saling menatap sejenak. “Ray, sebenarnya aku belum siap untuk mengenalkanmu pada orang tuaku. Aku rasa ini terlalu cepat. Atau sebaiknya kita berangkat sendiri-sendiri. Nggak enak pergi jauh berduaan.” Rayga terpaku. Tangannya sibuk mengemudi, sedang pikirannya berkelana pada konsekuensi yang siap ia tanggung dari fake relationship-nya dengan Diandra. “Tak masalah, aku sudah biasa tidak dianggap. Jadi tak usah mengenalkanku pada orang tuamu.” “Ray...” Diandra menatap tajam Rayga. Rayga menepikan mobilnya dan menghentikan laju mobilnya. Ia balik menatap tajam Diandra. “Ya, sayang...” “Ehm.. Bukan maksud aku nggak menganggapmu, tapi kita cuma...” “Pura-pura,” sela Rayga cepat. Diandra tertunduk. Rasanya berpura-pura dengan melibatkan hati bukanlah pilihan yang bijak. Bagaimana jika perasaan Rayga terhadapnya semakin dalam sedang ia tak bisa menjanjikan apapun. “Aku rasa kita hentikan saja kepura-puraan ini.” “Tidak, Di, aku menyukainya. Jika dengan berpura-pura bisa membuatku dekat denganmu, aku ikhlas.” “Masalahnya....” “Di..” Rayga memotong perkataan Diandra dan menatapnya tajam. “Masalahnya....” “Aku sayang kamu, Di,” lagi-lagi Rayga menyela. “Kamu nggak usah khawatir. Aku ikhlas. Apapun resikonya aku siap.” “Kenapa semudah itu, kamu bilang sayang?” Diandra mengernyit. “Karena aku memang sayang,” jawab Rayga dengan raut wajah serius. Diandra beralih menatap ke depan. “Jalani saja semuanya, okay? Diandra mengangguk. “Ya sudah jalan lagi ya. Katanya udah laper tadi?” Rayga mengulas senyum manisnya. Diandra membeku. Ia tersenyum, kenapa pacar brondongnya ini begitu manis? Ia takut jatuh cinta jika kembali berujung patah hati dan pengkhianatan. Ya mungkin benar kata Rayga, jalani saja semuanya. ******                      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD