Tak Dianggap

2062 Words
3.      Tak Dianggap   Rayga menenteng dua kotak berisi pizza dan berjalan memasuki butik. Ketiga karyawati itu selalu saja terpana setiap kali melihat sosok laki-laki yang mereka tahu tengah dekat dengan atasannya melangkah dengan penuh percaya diri. Ya laki-laki itu memang selalu percaya diri. Postur tubuh yang ideal didukung wajah tampan dengan level kegantengan mendekati paripurna selalu saja menarik perhatian kaum Hawa untuk setidaknya meliriknya sekali lagi atau bahkan berkali-kali setelah lirikan pertama dirasa masih kurang. Wajah baby face-nya punya daya tarik tersendiri, ketika tersenyum ia terlihat sangat manis. Rayga mendekati salah satu karyawati, membuat karyawati tersebut salah tingkah. “Ini buat kalian.” Rayga memberikan satu kotak pizza padanya. Karyawati tersebut mengulas senyum sumringah, dibarengi senyum lebar dari dua temannya. “Makasih banyak, Mas. Sering-sering aja kayak gini ya.” “Pokoknya kita dukung Mas Rayga buat dapetin Bu Bos, semangat Mas,” ujar yang lain. Rayga tersenyum lebar, “Beneran lho ya dukung saya.” “Beres, Mas. Good luck,” balas Devi dengan senyum lebarnya. “Bu Bos lagi atas, ya?” “Iya, lagi bareng Alea,” jawab Devi. Rayga segera melangkah ke atas dengan menenteng satu kotak pizza. Pintu ruangan pribadi Diandra tidak ditutup. Baik Diandra maupun Alea menoleh ke arah pintu setelah derap langkah Rayga mencuri perhatian ibu-anak itu. “Om Rayga...* Alea memekik senang. “Hai little princess, how are you?” Rayga mengusap rambut Alea. “I'm very fine. Om Rayga apa kabar?” mata Alea menyasar pada sekotak pizza yang ditenteng Rayga. “Om juga baik, ini Om bawakan pizza.” Rayga menyodorkan sekotak pizza di hadapan Alea. “Pizza itu kurang sehat, Ray,” cetus Diandra. “But I like pizza.” Alea tersenyum cerah melihat pizza yang begitu menggiurkan. “Cuci tangan dulu, Alea,” tukas Diandra datar. Alea beranjak, “Okay Mom..” Alea setengah berlari keluar ruangan dan berjalan menuju wastafel. Dua manik itu bertemu. Sepasang mata berbinar dan menyorotkan kekaguman. Ya dia selalu mengagumi Diandra dengan penampilan yang selalu sopan dan berkelas. Sepasang mata yang lain menatapnya datar. “Jangan terlalu idealis, Di. Sesekali makan junk food nggak akan bikin kesehatan kita menurun. Kan cuma sesekali.” Rayga seolah mengerti benar apa yang tengah dipikirkan Diandra. “Alea udah cuci tangan.” Alea berlari masuk ke dalam. “Okay Alea. Silakan dimakan pizzanya.” “Om juga makan ya.” Alea mengambil satu potongan pizza dan menyorotkan tepat di depan mulut Rayga. Rayga menggigitnya dan mengunyahnya. Alea tertawa kecil melihat Rayga yang terlihat lahap mengunyah pizza. “Hmmm enak banget. Sayang ya ada yang nggak doyan pizza.” Rayga melirik Diandra sepintas. Diandra membalas tatapan itu dengan ekspresi wajah datar. Ia beralih menatap Alea makan dengan lahap sekali seperti bertahun-tahun tidak makan pizza. Ia memang jarang sekali membeli junk foods. Sebisa mungkin ia membiasakan Alea untuk makan makanan sehat. “Kamu nggak ingin mencobanya? Kecantikanmu nggak akan luntur hanya karena makan pizza,” seloroh Rayga. Diandra tak menanggapi. Ia mengalihkan pandangannya ke sudut lain. “Beneran enak banget lho, Di. Lihat saja Alea, dia lahap banget makannya. Ini bukan sembarang pizza. Aku pesan pizza sehat, jadi kamu jangan khawatir.” Diandra tak bergeming. “Ya sudah kalau tidak tertarik,” tukas Rayga sambil mengamati wajah dingin Diandra. “Oya sebentar lagi aku mau ke mall, membeli kebutuhan. Alea nanti aku antar pulang karena dia butuh beristirahat. Jadi...” ucapan Diandra menggantung di akhir. “Jadi apa?” Rayga memicingkan matanya. “Jadi kamu silakan pulang,” Diandra menatap tajam Rayga. Tatapannya menancap tepat di kedua mata Rayga. “Wah, aku diusir ,” seringai Rayga. “Bukan diusir. Tapi aku akan keluar dari butik. Kamu di sini mau sama siapa?” Rayga tersenyum, “Kan ada tiga karyawatimu di sini. Aku bisa ngobrol sama mereka,” jawab Rayga sekenanya. Diandra menaikkan sebelah sudut bibirnya, tersenyum sinis. “Dasar jelalatan.” Rayga membulatkan matanya, “Jelalatan? Kamu mulai cemburu, ya?” Rayga mengedipkan matanya. “Cemburu? Ya ampun, Ray. Aku bukan anak ABG yang dikit-dikit cemburu. Itu semua nggak penting. Aku punya prioritas lain yang lebih penting.” Diandra menenteng tas milik Alea “Alea ayo kita pulang.” Alea yang masih asik memakan pizza, kembali memasukkan sisa pizza gigitannya ke dalam kotak. Setelah itu dia beranjak dengan menenteng satu kotak pizza tersebut, ia ingin menghabiskannya di rumah. “Aku antar ya. Mobilmu ditinggal saja di sini.” Rayga belum ingin berpisah dengan Diandra. Dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama Diandra. “Nggak usah,” jawab Diandra singkat. “Ma, Alea pingin diantar Om Rayga,” Alea merajuk seraya menarik-narik lengan baju mamanya. “Alea, Om Rayga masih punya urusan lain.” Diandra sedikit membulatkan matanya pada Alea, sebagai isyarat agar Alea tak lagi merengek minta diantar Rayga. “Om nggak punya urusan lain, kok. Ayo Om antar.” Rayga tersenyum lebar menatap Alea. “Horeeee.... Pulang bareng Om Rayga.” Alea memekik girang. Kalau sudah begini, Diandra tak bisa berbuat banyak selain menuruti keinginan Alea. Sepanjang jalan, Rayga dan Alea bernyanyi bersama, menyanyikan lagu anak-anak. Diandra baru menyadari, suara Rayga cukup enak didengar saat sedang bernyanyi. Sepertinya ia punya bakat di bidang seni suara. Selepas mengantar Alea, Rayga kembali mengantar Diandra berbelanja di mall. Sepanjang jalan, Diandra lebih banyak diam. Ia kurang berselera untuk berbincang dengan Rayga. Sesekali Rayga melirik Diandra yang membisu. Rayga tahu, menaklukkan hati Diandra itu tidak mudah. Ia juga bisa merasakan bahwa di hati Diandra mungkin memang belum ada rasa untuknya. Meski mereka tengah berpura-pura menjadi sepasang kekasih, tetap saja Diandra belum sepenuh hati memainkan perannya. Namun Rayga tak akan menyerah. Wanita senang diperjuangkan dan ia akan terus berjuang untuk Diandra. Setiba di mall, mereka berbelanja di bagian kebutuhan rumah tangga seperti buah, sayuran, dan bahan-bahan makanan lainnya. Rayga menatap Diandra yang begitu serius memilih bahan makanan. Ia tak sekalipun mengajak Rayga berbincang. Rayga hanya menguntit Diandra kemanapun sambil mendorong troli. “Diandra...” Diandra menoleh ke arah sumber suara. Ia kaget melihat Indah dan Vera, teman semasa SMA. “Indah.. Vera.. Ya ampun nggak nyangka ketemu kalian di sini.” Diandra tersenyum ramah dan bercipika-cipiki dengan keduanya. “Kamu udah balik dari Australia, ya? Ya ampun kamu tambah cantik aja, Di.” Indah tersenyum cerah, tapi saat matanya melirik sosok laki-laki tampan nan cute di belakang troli, senyumnya sedikit menurun. Antara terpana melihat cowok model oppa Korea nyasar di mall tapi di sisi lain statusnya yang sudah menikah memaksanya untuk tak berlama-lama mengagumi sang pria. “Kalian juga semakin kece. Nggak bareng anak-anak?” tanya Diandra lagi. “Anakku lagi bareng kakek neneknya.” Mata Vera beralih menelisik cowok cakep di belakang troli. “Eh cowok itu siapa, Di? Kenalin atuh,” ledek Vera. Rayga mengangguk dan tersenyum tipis pada kedua teman Diandra. “Kamu siapa? Temennya Diandra?” Vera kepo juga. Dia sudah mendengar kabar perceraian Diandra. Ia menduga cowok cute itu adalah orang yang saat ini dekat dengan Diandra. Masih muda...pikirnya. “Saya Rayga, pacarnya Diandra,” jawab Rayga percaya diri. Seketika wajah Diandra memerah, bukan tersipu tapi menahan amarah. Vera dan Indah cukup terperanjat. Pasalnya setahu mereka Diandra belum lama bercerai, tapi sudah cepat dapat pacar. Mana masih muda dan ganteng pula. “Oalah jadi cowok ini pacarnya Mbak Di.” Tiba-tiba seorang ibu paruh baya berjalan mendekat ke arah Diandra. Ia sudah lama meperhatikan gelagat Diandra sejak menyadari keberadaan Diandra di mall, bersamaan dengannya yang juga tengah berbelanja. Dia mendengar obrolan Diandra dan teman-temannya. Di kompleks, gosip kedekatan Diandra dan Rayga memang tengah jadi pembicaraan ibu-ibu kompleks karena mereka melihat Rayga beberapa kali bertandang ke rumah Diandra. Mereka bilang Diandra begitu cepat dekat dengan pria setelah menjanda. Diandra kaget bukan main bertemu Bu Asri, seorang ibu yang dikenal sebagai biang gosip di kompleks. Ia yakin dia akan menyebarkan berita ini ke tetangga yang lain. “Eh Bu Asri...” Diandra memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. “Pacarnya ganteng ya, Mbak. Masih muda pula. Mbak Di mah emang pinter nyari laki-laki. Mantan suami juga ganteng, yang sekarang juga ganteng.” Bu Asri tersenyum melirik Rayga, senyum sedikit genit. Diandra semakin salah tingkah. Kata-kata Bu Asri terdengar begitu menohok, seakan mengecapnya sebagai perempuan yang hobi mencari laki-laki. “Saya permisi dulu ya, Bu Asri, Vera, dan Indah. Mau pulang dulu.” Diandra memaksakan diri untuk bersikap ramah meski dalam hatinya bergemuruh perasaan tak nyaman dan marah karena Rayga seenaknya mengaku sebagai pacarnya. Diandra berlalu dengan wajah yang sudah semerah kepiting rebus karena malu. Ia yakin, ibu-ibu kompleks yang senang bergosip akan semakin senang membicarakan kejelekannya. Begitu juga dengan Vera dan Indah, mungkin mereka akan berkoar, menceritakan pada teman-teman yang lain bahwa dirinya sudah memiliki pacar. Hal ini akan menurunkan kredibilitasnya sebagai perempuan yang bisa menjaga diri. Harga dirinya seperti dikuliti habis-habisan dan citra baiknya seakan runtuh seketika. ***** Sepanjang jalan menuju kediaman Diandra,Rayga merasa ada yang tak biasa dari raut wajah Diandra yang sedari tadi memasang tampang cemberut. Memang Diandra jarang terlihat sumringah saat bersamanya, seperti ada rasa berat dan tak ikhlas. Rayga menepikan mobilnya dan menghentikan laju mobilnya. Rayga menatap Diandra tajam. “Kenapa berhenti?” tanya Diandra ketus. “Kenapa dari tadi kamu cemberut? Kamu nggak suka jalan sama aku? Kamu marah? Salahku apa, Di?” Diandra menaikkan sebelah sudut bibirnya. Ia tersenyum sinis. “Salahmu apa? Kamu memang nggak peka, Ray. Maksud kamu apa coba ngaku sebagai pacarku di depan teman-temanku dan juga di depan Bu Asri, si biang gosip itu.” Diandra menaikkan intonasi suaranya. Rayga terhenyak mendengar Diandra bicara seketus itu. Ia melihat ada bara amarah yang berkilatan seakan ingin menelannya bulat-bulat. “Karena aku memang kekasihmu. Kamu juga kekasihku. Masih ingat perjanjian itu, kan?” Rayga berusaha bersikap tenang, tak terprovokasi oleh kemarahan Diandra. “Bisa tidak kalau di depan teman dan tetanggaku jangan bersikap seolah kamu ini kekasihku? Kalau di depan Aldebaran, silakan. Dan kepura-puraan ini hanya berlaku untuk kita berdua juga di depan Aldebaran, bukan lantas mengaku di depan semua orang bahwa kita pacaran.” Diandra tak mampu lagi meredam amarah yang sedari tadi berkecamuk di d**a. Rayga terpekur sejenak. “Apa salahnya mengaku di depan semua orang? Kamu sudah bercerai, bukan sedang berselingkuh.” Rayga tak kalah tegas. Diandra menghela napas. Rasa kesal, kecewa, dan amarah itu masih saja menguasai pikirannya. “Kamu nggak mikirin apa orang yang pikirkan tentang aku? Diandra si janda gatel, baru aja cerai sudah dapat brondong. Kamu nggak mikirin soal ini, kan? Bisa aja mereka berpikir aku sudah berselingkuh lebih dulu sebelum bercerai dengan Aldebaran. Dan mana mereka peduli, secara agama aku dan Aldebaran sudah bercerai lama, sejak aku masih tinggal di Australia. Mereka tahunya aku baru aja cerai. Pikirkan tentang namaku Ray.” Diandra membuang muka. Ia begitu marah, kesal dan sulit mengendalikan deru perasaan emosional yang sudah sangat membakar dan meluap pada akhirnya. “Jadi ini semua karena nama baik? Peduli amat sama pikiran orang, Di. Namanya komentar negatif itu pasti ada meski yang kita lakukan hal positif sekalipun. Kamu berhak bahagia, jangan terpancang pada opini orang lain tentangmu. Kalau kamu terus memusingkan komentar orang lain tentangmu, seterusnya kamu nggak bisa jadi diri sendiri dan nggak bahagia,” tandas Rayga sembari menelisik wajah Diandra dengan tatapan awas. “Wajar kan aku tak ingin orang salah paham dan menilaiku buruk? Bisa besar muka si Aldebaran kalau orang menuduhku mengkhianatinya saat kami masih menikah. Dia bakal menertawakan penderitaanku jika ia mendengar orang-orang memojokkanku karena aku cepat menggaet cowok baru setelah lepas darinya.” “Oh jadi Aldebaran juga jadi alasan,” sela Rayga cepat. “Intinya kamu belum bisa move on dari dia,”lanjut Rayga lagi. “Aku bukan belum move on dari dia. Aku hanya nggak mau dia merasa menang.” Nada bicara Diandra terdengar lebih keras. Dua mata itu beradu dan masing-masing terdiam dengan pikiran yang tengah bergelut. “Kita putus..!” tegas Diandra sembari mengambil kantong belanjanya di jok belakang. Diandra turun dari mobil dan melangkah cepat meninggalkan Rayga. Dia berharap Rayga mengejarnya, tapi yang ada Rayga malah terpekur dan bertanya-tanya, ternyata dalam pacaran pura-pura pun ada yang namanya putus cinta. Diandra menghentikan taksi yang melaju searah dengan langkahnya. Baru saja Rayga hendak menyusul, Diandra sudah masuk ke dalam taksi dan melaju berlalu dari hadapannya. Rayga mengepalkan tangannya dan memukulkannya ke jok, kesal dan kecewa. Diandra tercenung, menilai seorang Rayga tak benar-benar mencintainya hanya karena tak mengejarnya. Ia tersenyum getir, memang yang namanya brondong itu kurang serius dan tak bisa dipercaya. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD