Kangen

1774 Words
4. Kangen   Diandra memijit pelipisnya. Sedari tadi ia mencoba berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya, tapi yang ada fokusnya berantakan dan melalangbuana memikirkan pertengkarannya dengan Rayga tadi siang. “Mama...” Alea memasuki kamar Diandra sambil menenteng boneka Panda kesukaannya. Diandra menyipitkan matanya, “Lho Alea belum tidur? Tadi mama udah bacain cerita, kan? Apa minta dikelonin?” senyum terulas dari kedua sudut bibir Diandra. “Alea kebangun. Kelonin ya Ma, sambil ditepuk-tepuk.” Alea merajuk manja. “Okay, mama kelonin.” Diandra mematikan laptopnya lalu menuntun Alea menuju kamarnya. Diandra mengeloni sang putri sambil menepuk-nepuk lengannya lembut. Saat mengeloni anaknya pun Diandra masih memikirkan kejadian tadi siang. Dia tahu, mungkin sikap marahnya telah menyakiti Rayga. Ia menduga Rayga marah padanya karena itu hingga detik ini dia belum menghubunginya. Sejenak dia merutuki diri sendiri kenapa dia jadi galau begini. Bagaimana bisa hatinya porak poranda karena dibuat baper oleh seorang brondong. Setelah Alea terlelap, Diandra kembali ke kamarnya. Manik beningnya menangkap pantulan gambar dalam pigura. Diandra mengambil pigura itu dan memperhatikan fotonya dan Alea bersama bapak ibunya. Orang tuanya kecewa karena dia memutuskan bercerai dengan Aldebaran. Namun mereka menyerahkan keputusan itu sepenuhnya pada putrinya, karena bagi mereka, kebahagiaan putrinya adalah yang terbaik. Saat Diandra sedang terpuruk-puruknya, bapak ibunya menjadi dua orang yang begitu mendukung dan menenangkannya. Ia merasa bersalah karena tak mampu menjaga keutuhan rumah tangga. Terlebih lagi pada Alea. Setiap melihat mata bening sang putri atau mendengar celotehnya yang kangen bertemu papanya atau menggerutu, ‘Mama kok kita nggak pernah pergi bareng-bareng papa lagi? Nggak kayak teman yang lain, mereka suka pergi bareng papa mamanya’. Selalu ada rasa perih dari luka yang masih basah setiap kali menyadari kegagalannya dalam memberikan potret keluarga yang utuh dan sempurna untuk Alea. Ia tahu, perceraian orang tua dapat meninggalkan trauma di hati anak atau mempengaruhi kondisi psikis sang anak. Namun di sisi lain, hubungan yang tak harmonis antar suami istri yang terus-menerus menggerogoti pernikahan yang masih dipertahankan juga sama-sama memberikan pengaruh pada kondisi psikis sang anak. Karena itu, ia mantap bercerai. Toh Aldebaran lebih memilih pelakor itu. Ia tak bisa menerima kembali cinta yang pernah mengkhianati. Diliriknya smartphone itu di nakas. Tak ada pesan w******p atau panggilan telepon dari Rayga. Entah kenapa ia ingin membuka akun instagramnya dan melihat postingan terbaru Rayga. Saat ia menjelajah di ** laki-laki itu, Diandra melihat foto benang kusut di postingan terbarunya. Ia membaca caption itu baik-baik. Perempuan itu terkadang seperti benang kusut, sulit dimengerti dan rumit. Diandra terbelalak. Jelas sekali postingan ini ditujukan untuk menyindirnya. Ingin ia mengomentari postingan itu tapi ia tahan. Dia tak mau menyapanya lebih dulu kendati ia gregetan karena Rayga tak menghubunginya. Terkadang rasa trauma akan pengkhianatan yang membuatnya bersikap apatis dan tak mau begitu saja menyerahkan hatinya pada seseorang. Ia takut kembali dikhianati. Ia takut sakit hati kembali. Ia rasa, ia perlu memberikan proteksi lebih pada hatinya agar tidak terluka lagi. Ia sedikit kesal saat membaca komentar dari para follower Rayga. Niacute saya insya Allah bisa dimengerti. Nggak rumit kok memahami saya, cukup buka hati kamu aja. Winda siapa perempuan itu Pak? Nanti saya bilangin deh ke orangnya, jangan bikin dosen tercinta kita galau. Tita_ Rayga lagi jatuh cinta, ya? Riana Ada saatnya memang perempuan sulit untuk dimengerti. Apa kabar Rayga?   Diandra ingat, Rayga pernah bercerita bahwa ia pernah dijodohkan dengan Riana dan Riana menolaknya. Namun suatu saat, Riana berbalik menerima perjodohan. Giliran Rayga yang menolak karena jatuh cinta pada Firda. Ia berpikir, mungkin Riana masih mengharapkan Rayga. Diandra tak mau memikirkan masalah itu. Rayga punya privasi sendiri dan ia tak mau melibatkan diri lebih jauh ke dalam kehidupan pribadi Rayga. Ia kembali teringat pada masa lalunya yang pahit. Trauma karena pengkhianatan kembali mengacaukan pikirannya. Pengkhianatan mampu membuat seseorang takut untuk melangkah dan ia akan berusaha mencari jalan yang aman agar tak lagi jatuh di lubang yang sama. Tidak semudah itu membangun kepercayaan pada laki-laki meski jika harus jujur, sosok Rayga cukup menarik di matanya. Diandra merebahkan badan dan mencoba memejamkan mata. Ia tak akan memikirkan Rayga atau laki-laki manapun. Ia hanya ingin menata hidupnya lebih baik bersama putrinya. Menyembuhkan luka dan menghargai dirinya lebih baik. ****** Di sudut bumi yang lain, Rayga belum juga tidur. Dia jalan mondar-mandir dengan pikiran yang bergelut mencari cara untuk menghubungi Diandra tanpa harus menunjukkan secara langsung bahwa seharian ini ia uring-uringan memikirkan perempuan itu. Ia pikir ia juga perlu menguji Diandra apakah dia membutuhkannya atau tidak. Dia juga berpikir bahwa ada saatnya dia harus menjaga wibawanya sebagai laki-laki. Ia juga punya harga diri. Namun pikirannya kembali kacau, galau tak menentu. Apa dengan mengejar perempuan, itu akan meruntuhkan harga dirinya? Tapi memang sudah dari sananya perempuan itu suka dikejar. Giliran sang pria berhenti mengejar, sang perempuan akan kehilangan juga. Ia bertanya-tanya kenapa perempuan begitu sulit dimengerti. Rasanya jika ada kelas khusus yang mengajarkan bagaimana memahami perempuan, dengan senang hati ia akan mengikuti kelas itu. Rayga memandangi layar smartphone-nya. Ia berpikir untuk menghubungi Diandra tapi lagi-lagi gengsi membendung keinginannya. Dia masukkan kembali smartphone itu ke saku celana. Biarkan saja, pikirnya. Dia akan menunggu tiga hari ke depan, siapa yang akan lebih dulu mengalah. ****** Tiga hari berlalu tanpa ada komunikasi apapun antara Rayga dan Diandra. Dua-duanya masih stalking akun ** masing-masing. Namun keduanya menahan diri untuk nggak kepo dengan status masing-masing di w******p. Rayga tak begitu fokus mengajar. Hatinya empet tak karuan. Ingin ia bertanya pada kakaknya tentang seperti apa karakter yang sebenarnya dari Diandra. Ia yakin Bayu tahu banyak soal Diandra karena mereka bersahabat baik sejak SMA. Namun ia urungkan. Ia tak mau membebani kakaknya dengan curhatannya yang tak berfaedah, curhatan galau ala laki-laki yang jomblo dari lahir dan sering mencintai bertepuk sebelah tangan. Kontras dengan julukan “dosen idola” yang disandangnya. Banyak perempuan mengejar, tapi ia justru mengejar perempuan yang sulit untuk ditaklukkan. Atau memang sudah sifatnya manusia menyukai mengejar sesuatu yang sulit untuk ia raih. Entah sebagai pembuktian atau menantang diri sendiri. Namun ia sadari benar, ia benar-benar jatuh cinta pada Diandra, bukan sekedar tantangan atau pembuktian diri. Ia mengejarnya karena ia memang mencintainya. Tiga hari berlalu. Rayga tahu, tiga hari ini dunia masih berputar, Bu Darmi masih jualan nasi kuning dan dia tetap doyan makan nasi kuning kendati dalam d**a bergemuruh perasaan tak enak, menyesakkan, dan awut-awutan. Kata orang patah hati itu artinya kamu akan mengalami gangguan tak diharapkan seperti sulit tidur dan tak enak makan. Dia bersyukur masih enak makan, apalagi nasi kuningnya Bu Darmi. Beginikah patah hati? Ia pernah melewati serangkaian patah hati sebelumnya, tapi kali ini rasanya jauh lebih sakit. Padahal ia tahu, status pacarannya pura-pura, bisa jadi putus cintanya juga pura-pura. Namun ia tak menampik, hatinya hancur, lebur, dan berserakan. Mungkin juga hatinya sudah seperti barang rongsok tak ada harganya di mata Diandra, yang barangkali cuma dihargai lima ribu per kilo. Huff... Rayga mengembuskan napas pelan. Kesabarannya habis sudah. Ia tak mau lagi terus-menerus tersiksa. Ia akan mendatangi Diandra, tak peduli apapun penilaian wanita itu terhadapnya. Jika ia tak bergerak lebih dulu, sampai kapanpun Diandra tak akan bergerak mendatanginya. Jangankan mendatanginya, sekedar menyapa di w******p saja tidak. ****** Diandra menjalani kesehariannya seperti biasa. Ia memasak, menyiapkan bekal untuk Alea, mengantar dan menjemput anaknya, mengurusi butik dan menjalankan pekerjaannya sebagai psikolog. Ia menyibukkan diri dengan aktivitasnya dan melupakan sejenak permasalahannya dengan Rayga. Ia tersentak saat tiba-tiba ketukan pintu mengagetkannya. Ia pikir pasti Devi yang mengetuk pintu. “Ya masuk.” Matanya terbelalak tatkala Diandra melihat sosok di balik pintu. Rayga menutup pintu kembali dan mematung di depan pintu dengan tatapan dingin. Diandra speechless untuk sesaat. Ia berusaha menstabilkan gejolak di dadanya yang berdebar. Bagaimana bisa ia begitu deg-degan. Diandra beranjak dan menatap tajam laki-laki itu. “Tolong pintunya jangan ditutup. Atau Kita bicara di luar.” Diandra mencecar. Rayga tak menuruti ucapan Diandra. Ia justru melangkah maju, mendekat pada perempuan itu. Diandra semakin gugup. Terlebih ekspresi wajah Rayga begitu dingin, tak terbaca apa maunya. Ditariknya tangan Diandra. Ia mendorong tubuh Diandra hingga menghimpit dinding. Deg... Deg... Jantung Diandra seakan berpacu lebih cepat. Rayga menyandarkan sebelah tangannya di sisi kanan kepala Diandra. Diandra memalingkan wajahnya, tak mau menatap Rayga. “Tiga hari ini kamu kemana saja?” Rayga menatap lekat wajah perempuan yang tiga hari belakangan ini membuatnya kelimpungan. “Aku nggak kemana-mana. Aku masih di Purwokerto,” jawab Diandra tanpa menoleh pada Rayga. “Bukan itu yang aku tanyakan. Kenapa kamu nggak menghubungiku? Apa kamu nggak kangen sama aku?” Diandra menyeringai, “Kenapa aku harus menghubungimu? Dan kenapa aku harus kangen sama kamu?” Dua pasang mata itu beradu. “Karena aku pacarmu,” tandas Rayga. “Sudah tidak lagi. Kita sudah putus,” sahut Diandra. “Aku anggap putus cinta yang kemarin itu putus cinta pura-pura. Jadi kita masih pacaran.” Rayga masih menatap tajam Diandra. Diandra tersenyum sinis, “Aku menganggap putus beneran.” “Tak masalah. Aku akan tetap menganggap putus cinta kita bohongan dan pacaran kita adalah pacaran beneran.” Diandra mengernyit, “Kenapa jadi maksa?” “Kalau nggak dipaksa kamu nggak bakal mau.” Rayga menatap Diandra begitu lekat, membuat Diandra salah tingkah. “Memaksa itu bukan perbuatan yang baik,” balas Diandra lagi. “Kalau dengan memaksa bisa membuatmu jadi milikku, maka itu jadi perbuatan yang baik.” Diandra terpekur, kehabisan kata. “Beri aku kesempatan, please. Paling tidak kasih aku kesempatan untuk membuktikan kalau aku benar-benar serius sama kamu.” Rayga begitu berharap. Asa itu kian membesar dan terlihat jelas di matanya. Diandra tak tahu harus membalas apa. “Kalau lagi diam gini, kamu sangat menggemaskan.” Rayga mengulas senyum tipis. Diandra menatap balik Rayga yang masih menatapnya lekat. “Kalau memang berat untuk menjawab, nggak usah dijawab. Tapi setidaknya biarkan aku dekat denganmu dan juga Alea. Biarkan aku datang dan menghubungimu. Rasanya berat kalau nggak ketemu dan komunikasi sama kamu. Tiga hari ini aku udah kayak orang gila,” ucap Rayga lagi. Diandra terdiam. Ia mengangguk pelan. Rayga menyunggingkan senyumnya sekali lagi. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Diandra. Diandra yang sedari tadi merasakan debaran, kini semakin deg-degan. Rayga menyapu bibir Diandra dengan jarinya, “Tenang saja, aku nggak akan menciummu... Meski........ Ehm.... Pingin juga sih.” “Ray...!” Diandra membulatkan matanya. “Bercanda, eh serius ding .. Eh bercanda.” Rayga tertawa kecil. Diandra melirik tajam Rayga dan kembali membuang muka. “Aku jemput Alea, ya. Bentar lagi dia pulang, kan?” tanya Rayga. Diandra mengangguk. “Ya udah, aku ke sekolah Alea dulu. Assalamu'alaikum.” Rayga tersenyum dan berjalan menuju pintu. “Wa'alaikumussalam.” Diandra meraba dadanya, merasakan irama denyut jantungnya yang masih saja bertalu. Ia bahkan melirik langkah Rayga yang berjalan menuju mobilnya dari balik tirai. Entah kenapa, ia masih saja deg-degan kendati laki-laki itu sudah melakukan mobilnya berlalu dari pelataran. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD