BAB 2.

1519 Words
Sejak kelahiran Allea, Hera dan Adrian membagi tugas. Setiap malam, ketika Allea terbangun, mereka akan bergantian bangun untuk kembali menidurkan Allea. Kemarin Hera, dan malam ini Adrian. Adrian tidak pernah mengeluh sedikitpun tentang masalah Allea. Ceklek* Adrian membuka pintu kamarnya, rasa kantuk begitu menyerangnya, Allea terbangun dan dia baru saja menidurkan Allea kembali. Adrian beringsut naik ke atas tempat tidur, menarik selimutnya hingga sebatas pinggang, dan beralih memeluk Hera yang tertidur dengan posisi membelakanginya. "Allea sudah tidur"gumam Hera yang ternyata terbangun, walau matanya terpejam tetapi sebenarnya ia terjaga. "Humm.. putrimu begitu merepotkan"gumam Adrian dengan mata terpejam. Bibirnya menempel di tengkuk Hera, kedua tangannya mengerat melingkar di pinggang Hera dengan erat. "Dia juga putrimu tuan Refano"Adrian tersenyum, seraya mengeratkan pelukannya. Pelukan Adrian terasa nyaman, bahkan aroma tubuh Adrian. Aroma mint segar yang menyeruak masuk ke dalam Hera merasa tenang. "Kau terbangun?" "Humm...aku akan selalu terbangun ketika mendengar suara Allea menangis"ucap Hera yang memang benar, seolah suara Allea alarm untuk Hera. "Ueekkk...."keduanya tersentak, suara tangis Allea terdengar kembali dengan begitu nyaringnya, memecah keheningan malam. Hera bergerak, untuk bangun dan menghampiri Allea. "Biar aku saja"ucap Adrian yang beringsut menuruni tempat tidur, lalu berjalan menuju pintu kamar. "Bawa saja ke sini, sepertinya dia haus"ucap Hera yang kemudian beringsut mendudukan dirinya dan bersandar pada headboard ranjang tempat tidur. Selimut nya ia Tarik hingga sebatas pinggang. Lalu beralih menatap Adrian yang kini sedang memperhatikannya. "Kau benar, sudah 3 kali dia terbangun malam ini"Ucap Adrian, membuat Hera terkekeh. Tak lama Adrian kembali dengan membawa Allea dalam gendongannya, menyerahkan nya pada Hera yang terduduk bersandar pada heardboard ranjang tempat tidur. "kalau begitu, sekarang kau ke harus luar"Hera mengusir Adrian, membuat kening Adrian mengerut bingung.   "Memangnya kenapa!"protes Adrian saat Hera menyuruhnya keluar. "Aku ingin memberikannya asi, kau jangan di sini cepat keluar" "Kenapa aku harus keluar, kalau mau memberikannya asi, ya berikan saja"tolak Adrian mentah-mentah, selama ini Hera selalu menyuruhnya untuk keluar kamar ketika ia memberikan asi, dan Adrian merasa bingung. Kenapa, sepertinya tak apa-apa jika ia ada di sana dan melihatnya. "Tapi..."ucap Hera canggung. Entah kenapa Hera merasa rishi melakukannya di hadapan Adrian. Seolah-olah ia sedang mengumbar hal-hal yang seharusnya tak di tunjukan di halayak umum. "Kenapa! kita sudah b********h berkali-kali, dan hanya memberikan asi kau masih malu padaku"ucapan Adrian membuat wajah Hera memerah. "HEI"protes Hera seraya melempar Adrian dengan bantal yang berada di sampingnya. "m***m"ucap Hera, Adrian menangkap bantal yang ­­­­dilempar Hera dengan tepat. "Kenapa! Kau malu padaku, aku hanya ingin melihat putriku minum, sudah 3 bulan dia lahir dan aku tidak pernah melihatnya minum" "Tapi... rasanya akan aneh jika kau melihatku memberikan Allea minum, lebih baik kau keluar" "Berikan saja, Allea sudah menangis sejak tadi, kau mau membuat putriku mati kehausan" Hera menatap Adrian sengit, lalu mulai memberikan Allea asi. Walau masih menutupinya dengan kain. Adrian terdiam, melihat bagaimana proses yang membuatnya penasaran sejak lama. tak lama tubuhnya bangkit menjadi berdiri. "Sepertinya aku keluar saja"ucapnya terdengar gugup, seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kau benar, rasanya andeh"ucapnya sebelum pergi keluar kamar meninggalkan Hera dan Allea begitu saja. *** Seattle, 07.45 am. 8 Bulan kemudian.... "Adrian, jaga Allea sebentar, aku harus menjaga masakanku" "baiklah"Adrian berjalan menuju Allea yang tengah asik dengan bondeka kelinci miliknya, terduduk di ruang tamu dengan acara cartoon setiap pagi. Sementara Hera bergelut dengan masakannya yang akan selesai sebentar lagi. “Allea, tampanan daddy atau Brad Pitt ?” "Dad...dda..dda..."gerutu Allea tak jelas. “mmam.. ma.ma.ma”geuruu Allea lagi. "Hahahaha..."tawa Adrian meledak, Hera hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar tawa Adrian. Adrian memang kerap kali seperti itu, dia akan bertanya pada Allea, membandingkan ketampanannya dengan para artis Hollywood, dan tertawa dengan sangat kencang saat Allea menyebut papa. Jelas saja, gadis kecil itu akan selalu mengatakan daddy. Jika Allea bisa mengatakan Brad Pitt maka Hera akan membuat pesta besar. Karena itu sangat luar biasa. Ting...Tong..... Hera menoleh ke belakang, ketika bel rumah mereka berbunyi. "Biar aku saja"ucap Adrian, yang bangkit dari tempatnya terduduk secepat kilat menuju pintu untuk membukanya. "Kalian sudah datang, masuklah" Hera kembali menoleh ke belakang, menuju ke arah pintu, begitu penasaran dengan siapa yang bertamu di rumah mereka di pagi hari ini. "Halo Hera, masih penasaran dengan siapa yang tiap pagi merecoki rumah tangga kalian"ucap Deren menyapa Hera yang kemudian bergabung dengan Allea di ruang tengah. Hera memutar kedua bola matanya malas. Harusnya Hera memang tidak perlu penasaran dengan siapa tamu mereka pagi-pagi begini. "Aku kira yang datang seorang selebrity, ternyata kalian lagi"ucap Hera. "Aku menyuruh kalian untuk datang jam 8 kurang 5. Kalian mau numpang sarapan lagi ?"ucap Adrian sarkatis. "Gotcha. Kenapa kau menebak dengan benar, kami lapar aku suka makanan istrimu"ucap Evan yang kemudian duduk di sisi kanan Allea yang berada di atas karpet berbulu di ruang tengah. "Halo Allea. Kau mau coklat, paman Evan akan membelikannya untukmu" "Allea tampanan daddy atau paman Evan ?"Tanya Adrian. "Paman Evan, ucapkan itu Allea"seru Evan menggebu-gebu, dan begitu antusias. "daaddd...da.ddaa.."jawab Allea seraya ingin menggapai Adrian. "Hahaha.. Seorang bayi juga tahu Adrian adalah pria paling tampan"seru Adrian, Hera memutar kedua bola matanya malas. Suaminya itu memang memiliki kepercayaan diri yang cukup besar. "Allea. Ucapkan Evan, paman Evan" Hera hanya bisa menggelengkan kepala nya terheran ketika melihat tingkah Evan yang berusaha mati-matian mengajari Allea untuk menyebut namanya. Deren hanya bisa menggelengkan kepalanya terheran melihat temannya yang satu itu. Deren mendudukan dirinya di sofa, tangannya meraih remote TV dan menggantinya dengan channel lain ke channel acara musik. Tiba-tiba Allea menangis. "Huaaaaa....hiks...hiks.. ddaaddadadad" "Ada apa Allea ? jangan menangis"Evan ingin meraih Allea, memeluknya, namun gadis kecil itu tidak mau dan terus menunjuk ke arah tv. "Kenapa ? Allea kau mau sepeda?"tanya Deren ketika melihat Allea menunjuk iklan sepeda di layar tv. Allea terus menangis, dan membuat Deren bingung. "Jangan. Allea masih kecil, nanti saja kalau sudah besar, baru main sepeda ok. Paman Evan yang akan mengajarinya nanti" "Hei, siapa yang berani mengganti channel TV nya"seru Adrian yang baru datang dari arah dapur dengan sebungkus biskuit bayi di tangannya. "Apa!"Deren menatap Adrian bingung, pria itu terlihat mengambil remote tv dan kembali mengganti channel kartun pororo. "Eoh"Evan terkejut, Allea menghentikan tangisnya dan terlihat fokus menatap kartun pororo di hadapannya seraya memakan biskuit yang Adrian berikan padanya. "Jadi kau suka nonton kartun humm?"Evan menatap Allea, anak perempuan itu terlihat sibuk dengan biskuit pemberian Adrian di tangannya seraya tersenyum, seakan mengerti apa yang pria itu katakan. "Kau mengerti apa yang pororo katakan huh.. nona Refano ?"tanya Deren dengan kekehan di bibirnya. "Jangan ada yang mengganggunya dengan mengganti channel, itu berbahaya"ucap Adrian. "Bagaimana bisa dia suka kartun pororo!"Tanya Deren terheran. Deren belum pernah menjumpai seorang anak kecil yang terlihat begitu tertarik dengan sebuah acara cartoon pororo. "Aku juga tahu dari Hera. Aku tidak tahu kenapa anak berumur 8 bulan bisa begitu suka dengan sebuah kartun pingun berkacamata terbang"jelas Adrian. Ia sendiri terkejut ketika Hera yang mengatakannya ketika ia juga tak sengaja mengganti channel lain ketika Allea sedang menonton cartoon pororo. "Putrimu itu aneh "ucap Deren yang membuat Adrian menatapnya sengit. *** 20.30 pm. Adrian mengambil tempat duduk tepat di samping Hera yang terlihat asik dengan drama Korea di hadapannya. Adrian duduk di samping Hera, menatap Hera yang terlihat fokus dengan drama di hadapannya. "Kau milikku ingat" Hera menoleh pada Adrian, pria itu menatapnya datar."Aku tahu, tidak perlu di perjelas, bukankah cincin ini tandanya" Hera menunjukan kelima jari kirinya, yang terdapat sebuah cincin putih dengan permata kecil di tengahnya. "Jangan sampe lepas dan hilang lagi"ancam Adrian, wanita itu memang sempat menghilangkannya, tidak benar-benar hilang, tapi tertinggal karena ia lupa #ingat season1. "Kau masih mengingatnya, aku bahkan sudah lupa"Adrian menoleh sinis pada Hera. Mengingatnya saja sudah membuat Adrian kesal. Itu adalah pengalaman yang sangat menyebalkan. "Tentu saja aku ingat"ucapnya kemudian. Hera terkekeh, lantas kembali pada layar monitornya. "Hei. Putrimu mengatakan jika antara aku dan Brad Pitt, lebih tampan aku" Hera memutar kedua bola matanya malas. "Tentu saja, putrimu hanya bisa mengatakan kata daddy, dia akan terus memanggilmu daddy dan mommy padaku" Adrian terkekeh. Matanya lagi-lagi mengarah pada Hera. Tubuhnya lebih merapat pada sang istri, mengikis jarak diantara mereka. Adrian menghirup aroma rambut Hera. Harum sampo yang sama dengannya membuatnya tenang. Sebelah tangan Adrian meraup pinggang Hera. Adrian terus menatap Hera dari samping hingga akhirnya, bibirnya menempel pada bahu Hera, lalu merangkak naik ke atas leher jenjang sang istri.. "Hei"protes Hera, saat merasakan sensasi aneh yang mulai menjalar ditubuhnya. Hera menjauhkan sedikit tubuhnya dari Adrian, tapi pria itu malah menarik kembali tubuhnya untuk mendekat. "Aku merindukanmu"bisik Adrian tepat di telinga kanan Hera. Wanita itu menoleh pada Adrian, dan saat itu juga Adrian menempelkan bibirnya pada bibir Hera. Keduanya saling menautkan bibir mereka. Hera bahkan sudah mengalunkan kedua tangannya di leher Adrian. "Huaaaaaaaa..." Suara tangis Allea membuat Hera sedikit menarik rambut Adrian agar melepaskan tautan bibir mereka. "Allea menangis"ucap Hera yang tak digubris Adrian. "Adrian!"ucap Hera lagi lebih kencang pada sela-sela ciuman mereka. Hera mencoba mendorong Adrian sekuat tenaga, tapi pria itu tampak tak bergeming sedikitpun. PLETAK! "Akh...sakit"ringis Adrian saat mendapat jitakan mulus dari remote TV plasma miliknya, yang Hera ambil dari atas meja nakas yang berada tepat di sisi tempat tidur mereka. "Rasakan itu,... kau tidak dengar putrimu menangis" Hera melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Adrian yang masih sibuk memijit kepalanya yang berdenyut. "HERA"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD