Mulai bangkit

2791 Words
Keluar dari zona pelik yang dirasakan Dinda memang tidak mudah. Jika tetap dipikirkan akan menjadi Boomerang untuk dirinya sendiri. Mencoba untuk bangkit dari kritik menjatuhkan sungguh menguras energi. Memang tidak semua perkataan harus dipikirkan secara mendalam,namun kadang perkataan itu selalu terngiang di benak pikiran hingga membuatnya semakin jauh akan melaju keatas. Perkataan Ivan ada benarnya. Tidak perlu memikirkan perkataan Lana terlalu dalam, orang seperti itu hanya memancing amarah kita. Tong kosong nyaring bunyinya. Orang yang tidak berilmu akan terus berbicara tanpa ada nilainya. Esok paginya saat pelajaran kedua berakhir, Dinda menghampiri Ivan yang tengah sibuk membaca buku karya Jonathan Black berjudul 'Dunia yang disembunyikan'. Tampak Ivan sangat fokus dengan isi dari buku tersebut. "Van, boleh minta waktunya sebentar tidak?" Pinta Dinda sambil duduk di depan bangku Ivan "Oh boleh, ada apa?" Jawab Ivan menutup bukunya dan meletakkan di meja "Kamu pernah lihat aku menari kan? Gimana menurutmu? Apa aku pantas menari?" Tanya Dinda kepada Ivan "Emm.. pantas..lanjutkan bakatmu" jawabnya dengan nada dingin "Kamu suka dengan penampilanku diatas panggung?" Dinda berwajah cerah sembari menatap mata Ivan "Suka-suka aja dind" jawabnya menganggukkan lembut kepalanya "Ok makasih yaa" ucap Dinda dan langsung pergi dari hadapan Ivan sambil tersenyum lebar. Ivan bingung dengan pertanyaan Dinda. Tapi tidak terlalu dipedulikan karna terlihat tidak merubah suasana hati Dinda. Ia melanjutkan membaca bukunya. Saat di kantin, Dinda berpapasan dengan Lana yang lagi sibuk merangkai mainan leggo. Tak berpikir panjang, Dinda langsung memutarkan badannya agar tidak menjadi pusat perhatian Lana. Ia bergegas kembali ke kelas, namun lana lebih dulu melihat gerakan Dinda. "Jah, kok balik badan? Takut banget ngelihat aku?" Sahut Lana. Tidak ada jawaban dari Dinda. Ia lebih nyaman untuk melanjutkan langkahnya kembali ke kelas. (Jam pulang sekolah berdering) Dinda dan Nisa tidak bergegas pulang, melainkan mengerjakan 2 soal tugas rumah yang diberikan guru bahasa Jawa supaya tidak ada beban lagi dirumah. Sepulangnya, nampak di ujung gang melihat kegaduhan yang lumayan besar. Ya ayah Lana sedang memarahi Lana di depan rumah Bu RT. Tidak jelas alasannya mengapa, hanya saja Dinda lebih fokus dengan apa yang ayah Lana ucapkan. Segala bentuk kata gunjingan, kebun binatang, dan celaan lainnya kerap membuat orang disekitarnya panik. "Ih, bapaknya aja kayak gitu. Gak kaget sih kalo anaknya jadi berandal" ucap Nisa dengan sinis Dinda hanya terdiam, ia memperhatikan setiap kata yang diucapkan ayah Lana kepada anaknya. Sekitar 10 menit, akhirnya masalah itu mereda. Lana kabur dengan sepeda silvernya melewati Dinda dan Nisa. Tidak ada sapaan ataupun percakapan. "Apa ini alasan kenapa Lana selalu menyebutkan kalimat negatif kepada temen-temen kelas?apakah ia belajar dari orang tuanya? " Dinda mulai overthingking dengan kejadian itu. "Yuk Din pulang, laper banget" Nisa menggandeng tangan Dinda dan segera pergi dari tempat itu. (H-15 menuju ujian nasional) Kelas terasa damai, mungkin karena mendekati ujian nasional. Jadwal bimbingan yang diprogram sekolah untuk siswa mulai ditempel pada jendela kelas. Tak terasa kini akan menginjak studi SMA. "Van, yuk belajar bareng. Ajarin kita dong" ucap Nisa kepada Ivan yang tetap sibuk dengan bukunya "Heem boleh" jawabnya nada dingin "Makasih yaaa" senyum centil Nisa sembari melihat ke arah Lana "Dih, tumben anak itu pendiem banget. Sok galau aja" nisaa bergumam sengit "Heh gak boleh gitu,mungkin dia tobat kali kan kita juga udah mau lulus" jawab Dinda sambil melirik Lana "Mungkin kali ya, daripada ngurusin tu orang gila mending belajar biar hasil UN ku bagus, aku bisa masuk ke sekolah favorit hihi" ucap Nisa sembari membuka buku UN yang tebal. Entah kenapa Lana di hari itu seperti merenung dalam seolah dia sedang terpuruk. Ada apa dengannya? Tak terlihat sahabatnya yang selalu menemaninya, apakah mereka sedang bertengkar? Tidak ada yang tau dengan kondisi hatinya sekarang. Saat jam sekolah sudah berakhir, Dinda melirik Lana yang sedang tidak bersemangat, ia sangat terpukul dengan kondisi lana yang loyo itu. Ia tidak cepat pulang, bahkan Nisa disuruh untuk pulang terlebih dahulu. Ia ingin berbicara lebih jauh dengan Lana berharap beban pikiran Lana terasa ringan walaupun kejadian itu masih belum bisa ia lupakan. "Lan, kenapa gak pulang?biasanya paling cepet pulangnya?" Tanya Dinda dengan nada sedikit takut Lana tidak merespon... "Oh sorry, aku cuma nanya doang kok, kali aja mau cerita" ucapnya sambil menjauh pelan langkahnya dari meja Lana "Kepo banget sih jah! Sok perhatian! Kepo buat ngetawain hidupku kah? Ketawain aja jah gajah bengkak gak sadar diri!" Jawabnya dengan kesal dan meninggalkan Dinda di kelas sendiri "Haa? Ngetawain? Sok perhatian?" Pintanya di dalam hati Tidak semua manusia bisa menghargai manusia. Jika tidak ada manusia yang baik, jadilah satu-satunya manusia yang baik di dunia ini. Dunia ini tempat bersendau gurau, jika tidak dihargai,gapapa. Tidak ada yang salah dalam berbuat baik dengan manusia. Dinda sangat kecewa dengan Lana, bagaimana tidak? Ia menjadi satu-satunya orang yang menanyakan dan memperhatikan kondisi Lana. Ia murka. Niat baiknya tak pernah di anggap,justru cacian hinaaan yang ia dapatkan. Setelah kejadian itu, Lana nampak murung sekali di kelas. Teman-temannya heran dengan sikap Lana yang semakin kalem. Ivan pun merasakan hal seperti itu, namun selagi dia tidak berulah, Ivan pun juga tetap tidak peduli dengan hidupnya. Tak ada yang memperhatikan Lana lagi, termasuk Dinda juga enggan menanyakan kondisinya dan tidak ingin tau apapun itu tentang Lana. "Jah, beliin es dong, ni uangnya" ucap Lana sambil menodongkan uang kepada Dinda yang sedang makan. Dinda tidak merespon. "Gajah bengkak, setidaknya berguna dong jangan males-malesan" ucap lagi Lana sambil mengibaskan kecil uangnya ke muka Dinda. "Eh kamu punya sopan santun gak sih?" Nisa murka. Dinda tidak membalas perkataan Lana, dan menyuruh Nisa untuk duduk melanjutkan makannya kembali. Dinda hanya fokus dengan makanannya seolah tidak mendengar Lana bicara. "Gajah bengkak...gajah bengkak...gajah bengkak makan terus mau jadi apa?" Ledek Lana sambil menirukan gerakan gajah kemudian pergi dari hadapan mereka. Saat pergi meninggalkan kelas, Lana menabrak Ivan yang sedang makan sate tahu. Baju Lana terkena saus dari makanan Ivan. "An**ng kau van" Lana emosi sambil mendorong bahu Ivan. "Lebay banget, itu dicuci pake air juga udah hilang" sahut Ivan dengan nada santai nya "Semudah itu?to*ol ya kau van. Pake otak dikit lah van, susah ngilangin nodanya ini" jawab Lana sambil melotot "Susah ngilangin noda? Apa kabar orang-orang yang udah kamu injek harga dirinya? Semudah itukah lukanya sembuh? Pikir juga dong pake otak. Badan doang kuat, otak lemah" jawab Ivan sembari melotot balik mata Lana. "An**nggggggggg kau" Lana murka dan memukul Ivan sekeras-kerasnya. Semua panik, terutama Dinda yang langsung menyelamatkan Ivan dari hadapan Lana. Hidungnya mimisan dan gigi samping Ivan copot. Lana murka, kemudian mengejar Ivan yang sedang di gandeng oleh Dinda. Lana menarik tangan Ivan dan menonjok sekeras-kerasnya. Ivan pingsan tak berdaya. Temannya menarik bahu Lana bersama-sama. Sebagian temannya, menggotong badan Ivan yang tidak sadarkan diri ke UKS. Dinda menangis, seumur hidupnya ia tidak pernah melihat situasi se menakutkan ini. Petugas UKS memberikan tabung oksigen untuk Ivan dan membersihkan bagian luka di wajah Ivan. Dinda membantu untuk mengoleskan minyak hangat pada tubuh Ivan. Kepala sekolah sigap melihat situasi kegaduhan. Ia melihat Lana dengan baju compang-camping dengan bercak darah bekas pukulannya ke wajah Ivan. Tidak segan-segan kepala sekolah menggeret Lana menuju kantor sekolah. Tak tampak wajah bersalah maupun berdosa dari Lana, justru ia santai menghadapi kepala sekolah yang sedang marah. Wajahnya tak peduli dengan apa yang dikatakan oleh kepala sekolah. Tak lama kemudian orang tua Ivan hadir di sekolah dan langsung menuju UKS untuk melihat anaknya yang terluka. "Berikan saya nomor telfon orang tuamu" ujar kepala sekolah sembari memberikan ponselnya ke Lana "Ibu saya sudah gak ada pak, ayah saya juga sudah tidak ada" jawab Lana dengan santai "Dasar bohong, kalo sudah tidak ada kenapa kamu bisa di daftarkan di sekolah ini? Cepat berikan nomor telfon nya, biar saya yang bicara dengan orang tua kamu" nada kepala sekolah meninggi "Biar saya sendiri saja yang memanggil ayah saya" jawab Lana cuek "Baiklah, saya print outkan surat cuti sekolah untuk kamu. Evaluasi diri kamu dan mintakan tanda tangan orang tua kamu sebagai bukti persetujuan , atau kalau tidak kamu dikeluarkan dari sekolah ini!" Ucap kepala sekolah dan mengetik surat pernyataan orang tua. Kegaduhan yang dibuat muridnya, sangat menggemparkan seluruh sekolah. Kali pertama ada siswa yang bertengkar dan berujung memakan korban. Tak bisa dibenarkan tindakan yang sudah mereka perbuat. Orang tua Ivan menuju ke kantor dan melihat Lana berada di meja kepala sekolah "Oh ini anak yang sudah memukul anak saya? Tengil banget lagaknya ya anak nakal" ucap ibunya sambil menahan emosi. "Cerewet ah" jawab Lana dengan santai kepada orang tua Ivan. "Lana!!" Kepala sekolah emosi "Mau jadi apa kamu nanti kalau seperti ini? Tidak punya tata Krama,sopan santun dan etika. Saya tidak mau tau saya harus bicara dengan orang tua dari ananda ini. Beri sanksi yang tegas untuk anak yang tidak berakhlak ini!" Ucap ayah Ivan sambil menahan emosinya "Kenapa orang tua selalu ribet. Toh anak anda tidak mati!" Jawab Lana kemudian meninggalkan kantor itu dan membawa surat yang sudah di berikan kepala sekolah untuk orang tuanya. "Saya tidak mau tau pak, saya selaku wali murid dari Ivan Sanjaya ingin mengajukan surat pindah dari sekolah ini. Saya tidak Sudi anak saya harus tumbuh di lingkungan kelas yang seperti penjara" ibunya memohon untuk kepala sekolah memberikan surat pindah untuk Ivan. "Apakah tidak ingin dibicarakan terlebih dahulu Bu/pak?" Pinta kepala sekolah menenangkan kedua orang tua Ivan yang memanas. "Saya tau anak saya seperti apa, jadi biarkan kami yang mengurus anak saya sendiri" jawab ibu Ivan dengan mata berkaca-kaca. Hari itu sangat menegangkan untuk anak pra remaja yang sedang bertumbuh menentukan jati diri. (UN TIBA) Ujian Nasional telah tiba, nampak pagi hari yang cerah dengan kicauan burung menghiasi suasana sekolah yang tegang. Siswa SMP Harapan 9 sedang melaksanakan ujian nasional kloter 1 yang dimulai pukul 07.30- selesai. Mata pelajaran yang sedang diuji adalah Bahasa Indonesia. Para siswa nampak serius dengan lembaran soal dan kertas jawaban. 20 menit sebelum jam berakhir, Dinda memikirkan kondisi terkini dari Ivan dan Lana. Sebab mereka hari ini tidak hadir untuk melaksanakan ujian nasional. Tidak ada kabar setelah kejadian yang terjadi 2 Minggu yang lalu. Wali kelasnya juga tidak pernah menjawab dan memberi informasi terkait dengan mereka berdua. Dimana ya mereka? (Bel berbunyi pertanda ujian nasional pada hari itu telah berakhir) Pengawas ruangan menghimbau untuk siswa berjajar dengan rapi saat keluar ruangan dan tetap tenang (tidak berisik) hingga mereka keluar dari gerbang sekolah. Murid-murid sibuk membahas soal saat perjalanan pulang. Nisa dan Dinda pulang bersama-sama namun tidak membahas tentang soal melainkan keadaan Ivan dan Lana. "Aku sih denger dari ibukku, Lana dan Ivan keluar dari sekolah. Kamu gak denger beritanya Din?" Ucap Nisa. "Ha? Keluar dari sekolah? Kok gak ngasih kabar ke temen-temen sih kalo udah gak di sini" jawab Dinda terkejut dan menghentikan langkahnya "Ya mau kabar-kabar juga malu lah, mereka keluar juga karna kejadian itu. Akupun kalau terlibat gak akan woro ke temen kelas" jawab Nisa mengangkat alisnya. "Aaa.. bisa jadi sih nis. Tapi jujur kelas jadi lebih damai karna gak ada Lana tapi sepi juga karna Ivan gak ada. Kadang panik kalo guru minta kita ngerjain soal tapi gaada yang angkat tangan hihi" jawab Dinda sembari melanjutkan perjalanan pulang. "Iya, kita kehilangan plus minus temen kelas ya. Gak bisa belajar bareng Ivan deh padahal dia yang paling cepet paham diantara kita ya" ujar Nisa. "Heem..." Ujian nasional terlampaui, waktunya untuk murid-murid berlibur sekolah. Ada yang sibuk menyiapkan diri untuk bertarung di bangku SMA, ada yang menghabiskan waktu untuk berlibur di tempat wisata dan ada juga yang sibuk bermain game sepuasnya. Dinda dan Nisa menghabiskan waktu untuk menyiapkan diri untuk mengejar sekolah impiannya kelak. Namun, kabar tak enak dari Nisa yang membuat Dinda semakin sedih. Orang tua Nisa akan dinas ke Kalimantan, sehingga Nisa dan kakaknya juga harus mengikuti orang tuanya bekerja. Tidak ada waktu yang banyak untuk mereka bermain lagi. Sedih rasanya sahabat sejati terpisahkan dengan jarak yang jauh dan waktu yang lama. Tapi untuk mengejar cita-cita,Dinda mau tidak mau harus mengikhlaskan sahabatnya untuk ikut pindah rumah ke Kalimantan. Mereka berjanji akan terus menghubungi satu sama lain, tak akan lost contact seperti cerita-cerita orang yang tukang ghosting. "Hm, janji ya nis kamu bakal sering kasih kabar ke aku?" Ucap Dinda kepada Nisa sembari menyodorkan jari kelingkingnya. "Iya Dinda. Semoga kita sukses ya. Aku bakal kangen banget sih sama kamu" jawab Nisa tersenyum haru. "Aku juga kangen kamu Nisa" Dinda meneteskan air mata. Salah satu keindahan persahabatan adalah kemampuan untuk saling memahami dan dipahami satu sama lain -Lucius Annaeus Seneca- (Hari kelulusan tiba) Informasi dari wali kelas untuk mengundang seluruh muridnya untuk diadakan acara merayakan kelulusan sementara. Wali kelas menyiapkan amplop kecil yang isinya adalah selembar kertas kecil bertuliskan total nilai UN masing-masing siswa. Namun, amplop ini nanti akan dibagikan secara acak. Hanya dituliskan nomor absen dari siswa di balik kertas kecil untuk menemukan siapa pemilik sesungguhnya nilai itu. Ide yang sangat menarik dari Bu Stefani. Ini yang menjadi siswa akan semakin tegang dengan hasilnya. Namun, setiap wali kelas memberikan informasi bahwa semua kelas di sekolah 100% lulus dengan tertib dan baik. Bu Stefani mulai membagikan kepada siswanya dan menghitung mundur saat membuka amplop tersebut. "3...2...1 silahkan dibuka ya anakku, ibu pamit dulu ke kantor. Rayakan kebahagian kalian ya!" Ucap Bu Stefani sembari menahan tertawa. Kelas menjadi gaduh karena ada beberapa anak yang nangis dengan hasilnya, ada yang tidak percaya dengan hasilnya, ada juga yang sangat girang. Salah satu anak menyadari tulisan dengan font kecil dibagian belakang kertas bertuliskan "untuk absen nomor 14". Mereka kembali gaduh untuk menukarkan lembaran kecil kertas kepada pemilik absensi tersebut. Deg deg an banget. Prank nya berjalan dengan lancar. Capek deh. Setelah pengumuman hasil ujian nasional, murid berharap ada pentas seni untuk merayakan perpisahan mereka bersama teman seperjuangan. Namun, sekolah mengkonfirmasi bahwa tidak ada acara perpisahan tahun ini sebab dana sekolah tidak cukup untuk membuat acaranya. Sangat disayangkan sekali dengan keputusan itu, bagaimana tidak? Apakah sekolah tidak menyiapkan itu jauh sebelum acara perpisahan dilaksanakan? Huft sangat mengecewakan. Murid-murid hanya tabah dengan keputusan itu dan akan merencanakan acara sendiri dengan semprot air bersamaan. Dan itu terpikirkan mendadak saat kepala sekolah mengkonfirmasi keputusan itu. Perang air dimulai. Kenangan indah tanpa jepretan foto sangat melekat di otak mereka. Tak ada handphone untuk mengabadikan momen itu, hanya tertawa ceria saat itu. Sorenya, Nisa pamitan dengan Dinda akan pergi ke Kalimantan. Setelah tertawa bersama, kini mereka berdua harus menangis bersama. Momen bahagia bercampur sedih menyelimuti keduanya. Mereka bahagia akan menginjak usia dewasa disamping itu mereka sedih harus berpisah dengan waktu yang mungkin sangat lama. (Nisa pergi bersama keluarganya) Hampa terasa, tidak ada sahabat seperjuangan yang menemani Dinda belajar. Sekarang waktunya untuk mandiri dan mulai bangkit dengan hal positif. Mulai fokus mengejar cita-cita. Setiap malam Dinda berdoa dan berusaha untuk mematangkan materi soal masuk SMA impiannya. SMA Negeri Sentosa 2 adalah SMA favorit di kotanya. Banyak fasilitas sekolah yang bisa dipergunakan untuk menambah skill siswanya. Namun banyak juga saingan yang akan dikalahkan Dinda nantinya karena kuota diterimanya hanya 350 siswa, sedangkan pendaftar mencapai 1000 lebih siswa dari berbagai penjuru. "Perjuangan dimulai!!!!!" Pinta Dinda dalam hati seraya ia memasuki Medan perang lagi. Ia berjanji, ketika SMA nanti akan memborong banyak prestasi dari skill yang ia miliki. Walaupun dia menyadari banyak kekurangan, namun prestasi bukan bagian dari kekurangan itu. Prestasi bagian dari kelebihan dari orang tersebut. Ia tidak peduli lagi dengan kalimat yang sering menghantuinya sehingga jiwa insecurenya selalu muncul. (Pendaftaran dibuka) Hari pertama dibuka, terlihat banyak sekali siswa yang antri untuk mengisi formulir di loker yang sudah disediakan oleh panitia OSIS. Tak disadari, ternyata Ivan juga akan bergabung di SMA tersebut. Ivan dan Dinda bertemu di kantin sekolah. "Van?heyyy apaa kabar kamu? Sudah lama aku gak ngobrol sama kamu? Kamu kenapa ga bilang sih kalo mau pindah sekolah?" Tanya Dinda seperti wartawan. "Dinda, hallo. Baik kok, emang sengaja gak bilang sih Din" jawab Ivan ramah. "Lana juga keluar dari sekolah, kamu pun juga. Sekarang Nisa pun udah pindah ke Kalimantan" ucap Dinda merendah. "Aw jangan sebut nama itu lagi ya, kupingku agak sakit kalo denger namanya. Nisa udah pindah ya?sejak kapan?" Sahut Ivan dan menggandeng tangan Dinda. Dinda terdiam.... "Em maa maa maaf ya Van, sejak pengumuman UN dia langsung pergi Van" jawab Dinda gemetaran. "Gapapa, sekarang ada aku kok" timpa Ivan sembari merangkul bahu Dinda. "Sehat kan van?hehe" Dinda heran. "Eh? Hehehe" Ivan hanya tertawa Lama tak berjumpa, sekali berjumpa tak lama. Itulah pikiran Dinda. Dinda kaget dengan perubahan Ivan yang semakin asik dan perhatian. Ivan mampu membuatnya dag dig dug dan pipinya memerah. Antara heran dengan perubahan Ivan yang semakin friendly dan senang bertemu teman lamanya yang sudah lama tidak ada kabar. Mereka menghabiskan waktu yang sebentar di kantin, Ivan menraktir makanan Dinda dan bergegas pergi untuk melanjutkan kegiatan yang lainnya. Degup jantung dinda semakin tidak karuan. Nafasnya terhenti sekejap sebab perhatian yang diberikan oleh Ivan murid tercuek di kelasnya saat itu. Namun, tak lama merasakan jantung yang berdegup kencang. Seorang cewek tiba-tiba memukul pelan bahu Dinda. Tak pernah ia lihat wajah wanita itu, dengan ekspresi judesnya melirik Dinda yang lagi falling in love. Dia adalah...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD