Ada yang berubah

1286 Words
Damai di mulut,bertengkar di dalam kepala. Semenjak kejadian itu, bukannya menjadi pelajaran kedepannya agar bisa menjadi orang yang baik justru Lana melanjutkan eksistensinya sebagai pembully handal di kelas. Bagaimana tidak, pembelaan Bu Stefani membuatnya semakin ingin menginjak teman yang lain. Bukan sulap bukan sihir. "Woy pendek, yuk join basket biar tinggi." Celetuknya sambil mengunyah permen karet pada Ivan yang hendak ke kantor mengumpulkan tugas teman-temannya. Ivan- Dia ketua kelas yang super cuek. Tubuhnya memang tidak terlalu tinggi diantara cowok di kelas tapi dia paling pintar dan rajin. Oleh karena itu, Bu Stefani memilih Ivan menjadi ketua kelas 3x berturut-turut. Dia tidak terlalu suka basa-basi dengan temannya, menurutnya hal itu membuang waktu emasnya. Ivan selalu membawa buku, Yap karna hobinya adalah membaca buku. Orang memandang buku hanyalah kertas berisi tulisan saja. Tapi tidak dengan Ivan, ia berpikir bahwa buku membuat pembacanya berpergian jauh tanpa menggerakkan kaki. Lana terus mengganggu Ivan dengan kalimat yang menyakitkan. Namun, Ivan tidak terlihat tertarik dengan apa yang diucapkan Lana. Hingga akhirnya.. "Bisakah kau diam,bodoh" Ucap Ivan sambil meletakkan novel karya Tere Liye di meja dengan mata sinis. Kelas tampak hening, karena mendengar Ivan yang terlihat selalu diam tiba-tiba mengucapkan kalimat itu kepada Lana. "Bodoh? Apa aku terlihat bodoh di matamu wahai ketua kelas paling pintar sedunia? Bisa-bisanya kamu menyebutku bodoh, apa hanya karna aku tidak pernah membaca buku seperti kamu ini?" Lana emosi dan menepis novel yang ada di meja Ivan. Ivan terdiam, ia melihat novelnya terbuang jauh dari mejanya dalam keadaan tak beraturan. Ivan menghela nafas sejenak sambil menatap tajam mata Lana. "Jika kamu seperti ini terus, itu tidak membuatmu keren. Justru menunjukkan secara jelas betapa bodohnya dirimu" Ivan tersenyum sengit dengan nada yang lembut. "Waaaa hebat sekali, hebattt sangat hebat. Berantem ajaaa kita van" sautnya sambil mengepalkan tangan ke arah pipi Ivan. (Bel berbunyi) Jam pelajaran ke 4 segera dimulai, Bu Stefani berjalan menuju kelas dan membawa buku tugas matematika muridnya. Saat tiba di kelas, tampak Dinda terlihat murung tidak seperti biasanya yang selalu antusias dengan pelajaran matematika. ia masih terngiang-ngiang dengan kejadian kemarin. (Pelajaran selesai) "Terimakasih atas kerjasamanya anak-anakku, tugasnya jangan lupa dikumpulkan besok di ketua kelas ya. Dan pesan ibu adalah tetap semangat belajar ya, ciptakan suasana kelas se ceria mungkin. Karna ketika kita senang menuntut ilmu,ilmu itu juga akan senang dengan kalian semua. Paham anak-anakku? Bereskan meja kalian dan segera pulang ke rumah ya" "Paham Bu Stefani" jawab murid kelas dengan senangnya. Saat perjalanan pulang, entah mengapa Dinda sangat tidak bersemangat lagi, kalimat yang kemarin dia dapatkan tampaknya tidak hilang dari pikirannya. Ya kalimat itu sangat membuatnya sakit hati ditambah tidak ada pembelaan dari wali kelasnya. Ia hanya diam tanpa kata sedikitpun, tidak ada kesempatan untuk membela dirinya sendiri. Wajah murungnya membuat ia tanpa sadar menginjak sepatu sisi belakang Lana yang sedang berjalan di jalan yang sama. "Aduh, sepatuku diinjak gajah. Penyok deh sepatuku" ucapnya sambil mengusap sepatunya dengan nada meringik "Eee maaa maaaaf lan,aku gak fokus" jawab Dinda ketakutan "Gapapa, gajah kan matanya disamping gak di depan jadi wajar kalo jalan gak punya aturan" Lana langsung meninggalkan Dinda Dinda membatu, tubuhnya sangat ketakutan. Ingin menangis tapi air mata sudah terlanjur mengering. Pikirannya semakin rancu, kalimat yang ia pikir akan sembuh sendiri justru semakin menambah parah. Ia tidak bisa marah, bibirnya membeku. Sesampainya dirumah, Dinda langsung pergi ke kamar dan menangis terisak-isak menahan sakitnya kalimat yang diucapkan Lana. Ia sadar bahwa kalimat itu akan membunuh kepercayaan dirinya, karna merasa dirinya sudah tidak tampil pede di depan banyak orang mengingat bentuk tubuhnya yang gempal. Pada akhirnya, Dinda tertidur pulas. (Keesokan harinya) Pagi hari saat sarapan, terlihat Dinda masih tampak murung. Ibunya melihat ia tidak baik-baik saja akhir-akhir ini. "Nak, ibu lihat kamu tidak baik-baik saja? Ada kejadian apa di sekolah?" Tanya ibunya sambil menyiapkan sarapan nasi pecel untuk Dinda di ruang keluarga. "Dinda juga tidak tau,Bu. Mungkin Dinda gejala demam lagi" jawab Dinda sambil menatap ibunya dengan mata sembab "Yakin? Gak karna teman disekolah? Atau apapun itu?" Tanya ibunya dan memberikan sebungkus nasi pecel bersama air minum kepada Dinda "Tidak Bu" suaranya merendah kemudian mengambil sebungkus nasi dari ibunya Pukul 06.45, Dinda berangkat ke sekolah bersama Nisa. Rumah mereka berdekatan sehingga setiap pagi selalu berangkat bersama dan biasanya pulang sekolah juga bersama. Tampak di ujung jalan, Dinda melihat Lana berjalan dengan ketiga sahabat nakalnya. Ia merangkul tangan Nisa sambil melambatkan jalannya. Nisa merasakan tangan Dinda penuh dengan keringat. "Kenapa din? Tanganmu keringatan" ucapnya sambil melihat telapak tangan Dinda "Gapapa, aku kalo lagi gandeng orang sering kepanasan hehe" sahut Dinda sambil mengelap telapak tangan ke roknya "Oh gitu ya, lanjut yuk" mereka melanjutkan perjalanannya menuju sekolah Sesampainya di kelas, Nisa dan Dinda menempati bangku yang biasanya ia duduki. Namun, terlihat disebelah bangkunya,Lana sudah asyik duduk bersama teman-teman se komplotannya. Mungkin ia berhasil merampok bangku sandrina, cewek pendiam yang selalu jadi korban si Lana. "Loh, kok jadi Lana yang nempatin? Pasti nanti gangguin aku terus!" Gumam Dinda melihat posisi bangku kelasnya. Tidak lama dalam pikirannya, Dinda menempati bangkunya. Dan pikiran negatifnya langsung terealisasikan saat itu juga. Ketakutan akan dihina kesekian kali kerap sering muncul belakangan ini, jadi setiap melihat Lana,ia terus memalingkan wajahnya supaya tidak menjadi bahan untuk bully an Lana. "Aduh kaget, kamu sebelahku ya jah? Lain kali nyapa dong jangan asal jluntrung duduk aja, kan aku bisa siap-siap megang meja biar gak oleng" ucapnya sambil terbahak-bahak bersama temannya "Heh, maksudmu apa? Gak sopan banget. Jagoan banget jadi orang" Nisa murka dengan posisi berdiri dan menunjuk Lana. "Udah mbak n***o diem aja, tar di bully nangis" jawab si lana sinis "Jangan dilanjutin nis,udah biarin. Susah emang kalo udah karakter" gumam Dinda sambil memegang tangan Nisa untuk kembali duduk dan tidak melanjutkan debatnya dengan Lana. Nisa- sahabat terbaik Dinda dari kecil, badannya ideal lebih tinggi dari Dinda. Kulitnya sawo gelap dan punya rambut lurus bak artis Korea. Ia partner Dinda di kesenian, bisa dibilang kalau lagi nari tanpa dia rasanya kurang komplit. Kemanapun ia pergi pasti disitu ada Dinda. Beberapa barangnya juga mirip dengan Dinda. Bener-bener pinang bak dibelah dua. Tiada angin tiada hujan, Ivan pun ikut menenangkan Nisa yang sedang emosi karena perkataan Lana. Dengan nada coolnya sambil melirik Nisa dan memintanya untuk selalu sabar. "Orang seperti itu hanya buat kita masuk ke dalam permainannya aja. Hidupnya sejak kecil sudah di kelilingi kalimat buruk, dia tidak punya pelindung yang kuat sehingga dia mencoba untuk melindungi dirinya sendiri dengan kelemahan seseorang." Ujar Ivan berbisik kepada Nisa dan Dinda. "Tapi Van, itu udah kelewatan kalo kita diam saja dia pasti bakal seperti itu terus" jawab Nisa berbisik namun dengan penuh amarah "Itu hanya permainannya saja, jangan sampai kita kepancing omongannya apalagi sampe memikirkan terlalu dalam" ivan berbisik lagi Berhati-hatilah dalam berucap, memang ucapanmu bisa dimaafkan tapi tidak untuk dilupakan. Tidak ada yang salah dengan tubuhmu, tetapi ada banyak cara yang salah dalam meyakinkanmu "Bener juga yang dikatakan Ivan. Kenapa aku menjadi berbeda belakangan ini, kenapa aku harus memikirkan apa yang tidak perlu aku pikirkan? Kenapa aku tidak memikirkan bagaimana caranya mengembangkan bakat yang sebelumnya udah ada? Kenapa aku malah memikirkan perkataan yang membuat aku semakin insecure? Tapi apakah benar orang-orang tepuk tangan hanya karena kasihan denganku? Apakah orang gemuk tidak menarik perhatian orang lain? Sebenernya orang-orang menyuruhku untuk tampil di depan hanya untuk bahan lelucon atau memang 100% suka dengan apa yang aku bawakan? Lalu, aku harus mendengarkan sisi yang mana? Sisi positif untuk melanjutkan bakatku atau sisi negatif untuk bahan evaluasi ku? Tuhan... Berikan aku jawaban ini" Dinda terdiam memikirkan hal ini. Dinda memang belakangan ini tidak banyak berbicara, namun ia menghabiskan waktu untuk berbicara dengan dirinya sendiri. Diam di mulut, tapi bertengkar di dalam kepala. Overthingkingnya muncul sejak saat itu. Tapi ia mencoba untuk keluar dari situasi yang dia sendiri tidak sukai. Keluar dari zona ini memang tidak mudah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD