[10]~Pemaksaaan~

1538 Words
Setiap keindahan itu datangnya dari Allah. Maka sudah sepantasnya jika kita melihat suatu keindahan sebutlah nama-Nya Maira's POV Aku masih berjalan mengendap-endap begitu telah keluar rumah. Takut-takut nanti ketika aku telah di luar ternyata Tante Mawar telah mengetahui dan menunggunya di sana. Dari kejauhan aku melihat seorang pria paruh baya yang sedang bersandar di pagar. "Alhamdulillah, Pak Norman masih menungguku," gumamku bernapas lega. Aku pun langsung berlari dengan langkah terpincang-pincang tanpa menoleh ke belakang. Dengan khimarku yang berkibar-kibar, aku memegangi khimarku saat berlari. Aku terengah-engah begitu sampai di sebelah Pak Norman. "Maafkan saya, Pak, telat," ucapku masih mencoba mengatur napasku yang tak beraturan. "Iya nak, tak apa," balas Pak Norman tersenyum lembut. "Oh iya, Pak, bapak sudah menemukan kontrakannya kan?" tanyaku to the point atas niat awal yang ingin aku ketahui. "Alhamdulillah tadi malam saya sudah mendapatkan kontrakannya, Nak. Tidak jauh dari sini kok," ucap Pak Norman yang mampu membuatku bernafas lega. Jika tak jauh dari rumah tante, itu artinya ku tak perlu bersusah payah meributkan caraku untuk pergi mengunjungi Pak Norman. "Alhamdulillah Pak, boleh saya tau alamatnya? Saya ingin mengunjungi bapak dan bertanya sesuatu," pintaku berbinar. Pak Norman dengan senang hati memberikan alamat kontrakan barunya itu. Ia bahkan menawarkan jika butuh apa-apa bisa langsung ketumahnya. Sungguh aku seperti memiliki seorang ayah sekarang. “Boleh sekali, Nak. Justru bapak akan sangat malu jika dengan tak tahu dirinya melarang Nak Maira ke kontrakan saya. Kan ini saya bisa mengintrak di sana juga karena bantan unag dari Nak Maira. Saya ucapkan terimakasih sekali lagi, Nak.” Pak Norman tiba-tiba bersujud di kakiku. Dengan terkejut aku ikut berjongkok mencoba membangunkan Pak Norman. Aku menjadi tak enak jika seperti ini. “Ya Allah, Pak. Jangan seperti ini.” Aku mengangkat tubuh Pak Norman yang sudah bergetar akibat menahan tangisnya.  Melihat hal itu hatiku ikut terenyuh dan akhirnya aku pun ikut menangis. Perlu kalian tahu, aku memiliki hati yang kecil. Jika ada sesuatu yang menyedihkan, aku akan sangat mudah menangis. Tak heran jika sedari kecil ayah memintaku menjadi wanita yang kuat dan jangan mudah menangis. “Terimakasih sekali, Nak. Pak Norman tidak tahu harus membalas kebaikan Nak Maira.” "Sudah, Pak. Ini sudah menjadi kewajiban saya sebagai seorang muslim untuk saling membantu. Oh iya pak, mohon maaf pak saya nggak bisa lama-lama di sini. Saya harus kembali kerumah." "Eh iya, Nak. Silahkan, maaf malah merepotkan Nak Maira," kata Pak Norman. "Tidak pak. Ya sudah pak saya pamit. Assalamualaikum," pamitku tersenyum lalu bergegas kembali tentunya dengan mengendap-endap pula. “Kamu persis seperti ayahmu, Nak.” *** Aku membuka pintu belakang dengan perlahan. Setelah kupastikan tidak ada orang, aku pun melangkah masuk dan menutupnya kembali dengan perlahan tanpa menimbulkan suara. "Hemmm.." Suara dehaman dari belakang pintu menginstrupsiku bahwa aku telah tertangkap basah. Semoga bukan Tante Mawar. Batinku Dengan mengumpulkan keberanian, aku pun berbalik. Aku tak berani mendongakkan kepalaku. Menunduk dan memejamkan mata adalah pilihanku bersiap untuk mendapatkan penyiksaan lagi. Sekali lagi orang itu berdeham dan aku beranikan diri untuk mengintip melihat kakinya. Bukan kaki milik tante. "Lain kali kalau mau kabur, lihat sikon dulu. Nih obati luka lo sendiri," ucapnya sembari menyodorkan kotak P3K. Aku menerima benda itu dengan cepat. Eh, tapi ... tunggu-tunggu kenapa suaranya laki-laki? Aku mendongak dan yap benar sekali, dia adalah Nevan. Akhirnya aku bisa bernafas lega menyadari Nevan, pria yang menolongku lah yang ada di depanku. "Mama lagi keluar kota, dua hari lagi baru pulang. Jadi kau bisa bebas menemui pria tadi," tambahnya lalu berjalan menuju rak gelas untuk mengambil gelas guna untuk minum. "Terimakasih," cicitku kepada Nevan yang masih menegak air yang ia ambil tadi. Dia tampak menghentikan aktivitasnya dan mendekat kearahku. Aku beringsut mundur begitu ia berhenti di depanku yang jaraknya sangat dekat. Ya Allah jantungku. "Ini nggak gratis," ucapnya lalu melangkah menjauh entah pergi kemana. Aku menghembuskan nafas lega. Tanganku memegang dadaku yang masih berdegup cepat. Jantungku kenapa? Aku menatap kotak P3K yang ada di tanganku. Tanpa sadar senyum kecil terbit di bibirku. Aku menggelengkan kepalaku begitu pemikiran tak masuk akal memasuki kepalaku. "Eh, kenapa malah senyum nggak jelas sih. Tapi, mengapa Nevan bisa tahu? Apakah sedari tadi ia mengikutiku?" aku bergumam sendiri lalu aku beranjak pergi menuju kamar untuk bersih-bersih dan mengobati luka di kakiku. *** "Mbok, Maira mau ngepel lantai yah," pintaku kepada Mbok Siwi yang masih sibuk dengan pakaian cucian. Aku pun menuju kamar mandi untuk mempersiapkan pel dan air sabun untuk keperluan mengepel. Lalu aku membawanya menuju ruang tengah terlebih dahulu untuk membersihkannya. Namun, aku melihat Nevan sedang duduk di sofa sembari menyalakan televisi. Aku yang masih merasa malu dengan kejadian tadi pun berniat berjalan balik menuju ruang tamu saja dulu. Tapi belum sempat aku berjalan, sebuah suara mengintrupsiku. "Berbalik." Aku menghentikan langkahku. "Apa ia berucap denganku?" gumamku kepada diriku sendiri. "Iya, Elo," ucapnya lagi yang kini suaranya terdengar dekat. Aku yang memang merasa terpanggil pun membalikkan badanku kembali. Dan ... Aku terperanjat begitu tau kalau Nevan kini telah ada tepat di depanku. Akupun beringsut mundur selangkah untuk memberikannya jarak yang lumayan jauh. "Karena mama nggak ada dirumah, Lo harus temenin gue ke pesta," perintahnya terdengar seperti tak bisa dibantah. "Hah! Ta ... ta ... tapi--" "Gue nggak terima penolakan, jam 7 gue tunggu," tegasnya lalu pergi begitu saja. Hei, apa apaan ini! Seenaknya dia memerintahku begitu. Sebenarnya dia itu manusia atau bukan sih?! Aku menatap kepergiannya dengan kesal.  Bagaimana bisa ia memerintah orang seenaknya. "Huh ... Sabar Maira ... Sabar," kataku menyemangati diri sendiri. Selepas itu, akupun melanjutkan acara ngepelku yang sempat tertunda karena makhluk aneh tadi. *** "Mbok emang bener ya hari ini tante nggak ada dirumah?" tanyaku kepada Mbok Siwi. Aku ingin memastikan ucapan Nevan tadi memang benar. Mbok Siwi menengok ke arahku. "Iya, Nyonya pergi keluar kota 3 hari. Kenapa Mai?" "Nggak kok mbok cuma mau tanya aja hehe ... " jawabku yang akhirnya membuatku percaya apa yang Nevan ucapkan. "Oh iya mbok, Nevan pernah bawa cewek nggak sih ke rumah?" tanyaku lagi. Mbok Siwi menatapku dengan wajah serius lalu tertawa. Aku malah tersipu begitu menyadari Mbok Siwi mencoba menggodaku. "Selama 5 tahun mbok di sini, mbok belum pernah lihat sih. Kenapa Mai kok tanya gitu? Hayo ada apa nih?" goda Mbok Siwi yang semakin membuat pipiku memanas. Aku dibuat gugup karena pertanyaan Mbok Siwi. "Ah nggak ada kok mbok. " "Maira ayo jujur aja sama simbok," bujuk Mbok Siwi. Aku yang memang sudah sepenuhnya percaya kepada Mbok Siwi pun akhirnya bercerita. "Sebenernya Maira disuruh Nevan nemenin dia ke pesta, Mbok. Menurut mbok gimana?" "Ah... Gercep amat itu si aden. Menurut mbok sih Maira ikut nggak papa. Simbok yakin kok, Nevan orangnya bertanggung jawab. Tapi ingat, tetep jaga diri baik-baik." Aku pun tersenyum kecil karena mendapat masukan dari Mbok Siwi. "Oke siap, Mbok. Makasih." Aku pun langsung memeluk Mbok Siwi tanpa memperdulikan Mbok Siwi yang sedang mencuci piring. "Eh Maira ... Simbok lagi cuci piring. Kalau piringnya jatuh terus pecah gimana coba?" omelnya. "Hehe maaf mbok." Aku meringis sembari meminta maaf kepadanya. *** Aku membongkar tas dan koperku. Di sana tak banyak baju yang ada di dalam tas. Dan rata-rata bajuku adalah gamis panjang serta beberapa khimar di sana. aku frustasi memilih gamis mana yang akan aku pakai. Gamis milikku ini rata-rata sudah berumur panjang, jadi tak heran sudah banyak yang berwarna kusam. Masa iya aku menemani Nevan dengan gamis yang kusam. Bisa-bisa itu akan membuatnya malu membawaku. "Argh ... lagian  kenapa Nevan mendadak sih, jadi bingung harus pakai baju apa," gerutuku menggembungkan pipiku kesal. Akupun kembali memilah pakaianku siapa tahu ada yang terlewat. NAmun sama saja tak ada gamis yang masih terlihat baru di sini. Sepertinya gamis yang masih bagus malah aku tinggal di rumah deh.  Masa iya, aku harus pulang dulu. Mana keburu. Aku perang batin sendiri untuk memilik pakaian. Sampai ketukan pintu membuatku sejenak merilekskan pikiranku.  "Siapa yang datang disaat aku berantakan seperti ini?" ucapku terbawa suasana. Tok...tok...tok... Ceklek... Aku membuka pintu kamarku dengan kesal. "Eh Mbok Siwi, ada apa?" tanyaku ketika melihat Mbok Siwi ternyata yang mengetuk pintu tadi. Aku mencoba mempertahankan mimik wajah bersahabatku. "Simbok cuma mau ngasih tau kalau Den Nevan udah nungguin kamu tu. Eh bentar deh kok kamu belum ganti baju sih?" tanya Mbok Siwi heran. Iya, aku memang belum berganti pakaian, karena sedari tadi aku bingung harus memakai pakaian yang seperti apa. Maklumlah aku sebelumnya belum pernah pergi ke acara pesta seperti yang ia maksudkan. Aku hanya meringis menjawab pertanyaan Mbok Siwi. Mbok Siwi pun menerobos masuk kamarku. "Sini mbok bantu. Jangan salah, simbok dulu waktu muda pernah kerja di salon loh, jadi kali ini simbok akan menunjukkan kemampuan simbok. Hehe ..." ucap Mbok Siwi. Aku terkekeh melihat mbok Siwi yang antusias memilihkanku baju. Setelah kurang lebih sepuluh menit, akhirnya acara dandanku telah selesai. aku sedari tadi mewanti-wanti Mbok Siwi supaya mendandaniku senatural mungkin. padahal awalnya aku menolak keras akan di dandani, tapi begitu mendengar Mok siwi berkata ini supaya membuat Nevan lebih nyaman di antara teman-temannya. Aku mengenakan gamis berwarna peace dengen dipadukan khimar berwarna pink soft. "Uhh cantiknya... Nggak salah Nevan pilih kamu," puji Mbok Siwi membuat ku salah tingkah. "Ah apa sih mbok, nggak kok. Ya udah mbok, Maira mau keluar dulu ya. Takut Nevan ngomel. Oh iya makasih banyak ya mbok udah bantuin Maira hehehe..." "Oke. Simbok tunggu cerita bagusnya yah. Udah gih hati-hati, inget jaga diri baik-baik." Pesannya dan aku angguki dengan mantap. "Ya udah, Mbok. Maira pergi dulu ya, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Aku bergegas keluar dari kamarku dan berjalan cepat menuju halaman rumah. Ternyata Nevan telah menungguku di samping mobil mewahnya. Wajahnya di tekuk terlihat sangat kesal begitu mendapati aku baru saja keluar. "Lelet banget sih. Cepet!!" teriaknya yang semakin membuatku jengkel. Ingin aku mengatai dia sekarang, tapi tak mungkin juga. bisa-bisa aku akan diomelinya habis-habisan. "Dasar nggak sabaran... pemaksa... nyeselin..." gumamku geram tak peduli jika dia mendengarnya. Akhirnya karena aku tak mau semakin dibuat jengkel lagi, akupun  segera menyusul Nevan memasuki mobilnya. Tbc  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD