[1]~Sebuah Kesalahan~

1540 Words
Kebahagiaan itu telah pergi menguap entah kemana, Canda tawa itu lenyap  Tertelan oleh keheningan,  Senyum itu telah musnah Telah tergantikan kesedihan, Dulu, tak pernah terpikirkan sedetikpun Akan lenyap secepat itu Akan hilang se-tragis itu, Dan sekarang aku benci mengingat itu Tapi aku rindu... Rindu dengan canda tawa Rindu dengan senyuman bahagia itu Dan rindu ini tak mungkin tersampaikan Karena hanya aku yang bisa merasakan.   Maira’s POV Aku segera menutup diary-ku setelah menulis beberapa baris kata yang melukiskan perasaanku saat ini. Saking asiknya, sampai aku tak menyadari ternyata sedari tadi telah banyak tetesan air mata di kertas itu. Tapi, jujur aku sedang rindu, aku sedang tak baik-baik saja sekarang. "Maira!!!" Suara teriakan khas yang memekik telinga terdengar ke seluruh penjuru rumah. "Iya Ibu." Aku segera menjawab teriakan itu dan bergegas menuju sumber suara.   Ternyata suara itu berasal dari arah dapur yang berada tepat di sebelah kamarku. "Iya ibu, ada apa?" tanyaku kepada Ibuku yang sudah terlihat murka dan bercacak pinggang. "Maira, kamu gimana sih. Kemarin kan sudah ibu bilang, kamu harus belanja untuk menyetok persediaan makanan. Kamu lihat, tak ada sedikitpun makanan disini," ucap Ibu dengan penekanan di setiap katanya. "Maira, minta maaf, Bu. Tapi Maira belum memiliki uang untuk berbelanja." "Ibu nggak mau tau, nanti siang harus ada makanan yang enak. Karena nanti siang teman-teman ibu akan berkunjung. Oh iya satu lagi, hari ini kamu nggak perlu kuliah, kamu harus bersih-bersih rumah dan menyiapkan keperluannya."   Aku tak terkejut lagi dengan permintaan Ibu itu, aku sudah terbiasa menghadapi persoalan seperti ini. Aku hanya menghela nafas dan mengangguk pasrah. "Nah bagus, sekarang kamu kerja sana cari uang untuk belanja," perintah Ibu dan berlalu pergi. Jujur, aku lelah dengan semua ini. Aku merasa semuanya tidak ada yang mendukungku. Aku merasa sendirian benar-benar sendirian.   Pagi ini aku berjalan menyusuri pantai berpasir putih yang berada tak jauh dengan rumahku. Kutatap deburan ombak yang dengan keras membentur karang. Suara bising tapi menenangkan, di pulau kecil ini aku biasa merenungkan nasibku. Tenang. Itu membuatku bisa melepas penatku dan segala beban yang aku rasakan. Saat aku sedih, frustasi, dan butuh ketenangan aku selalu kesini. Kapan pun itu entah pagi, siang bahkan malam hari.   Aku berjongkok di bibir pantai dan mengamati ombak yang bergulung gulung mendekatiku. Ingin rasanya aku ikut bergulung bersama ombak itu. Air membasahi kakiku yang membuatku semakin riang tanpa beban. "Dasar anak kecil." Celetukan itu berasal dari arah belakangku. Aku mengenali suara itu amat mengenali. Semula yang hatiku rasanya tenang, kini kembali memanas begitu mendengar suara tadi.   Aku berbalik dan menatapnya garang. Namun, bukannya takut dia malah cengengesan melihatku yang sebentar lagi akan menyemprotkan kata-kata pedas. "Ish apaan sih!!!" Aku kesal, sangat kesal ketika waktu sendiriku diganggu. Terlebih dengan makhluk yang kini telah ada di sampingku ini. "Hahaha... Lo lucu tau kalau lagi marah kayak gitu," celetuknya lagi yang membuat rasa kesalku bertambah-tambah. Aku bangkit dan mendekat kearahnya. "Ish, Lo nyebelin tau nggak. Pantesan aja nggak ada cewek yang mau sama Lo," ejekku membalas perkataan menyebalkannya tadi. "Dih... kok malah Lo sih yang nyebelin. Awas aja ya kalau Lo sampai suka sama gue." "Dih pede amat sih. BIG NO!!" kataku menekankan suara ketika mengucap 'big no' setelah itu melenggang pergi. "Hahaha.... Kita lihat saja Maira..."   Sepanjang perjalanan menjauh dari bibir pantai, aku menggerutu kesal dengan pernyataan sahabatku tadi.  Bagaimana bisa dia berkata seperti itu.  Atau jangan-jangan malah dia yang suka sama aku. Ahhh... Ngaco banget sih kamu, Ra. "Sekarang mau berangkat ?" "Nggak Minggu depan berangkatnya,"jawabku kesal mendengar kalimat retoris itu. "Oh gitu, ya udah. Gue mau main di pantai dulu,"ucapnya enteng. Aku tertawa ringan sekaligus gemas sendiri mendengar jawabannya.  "Ya Allah Rian..." "Apa ? Gue salah?" "Ah tau ah gelap." Semakin aku menanggapi tingkah konyolnya itu, malah membuatku semakin kesal saja. "Padahal masih pagi. Masih terang Lo ini," balas Rian dengan muka sok polosnya yang minta ditimpuk sepatu itu. "Lo belum ngerasain nyium sepatu gue yah," ucapku sudah bersiap melepas sepatu yang melekat di kakiku. "Eh slow girl. Aduh baper amat sih Lo." Aku hanya menatap datar ke arah Rian. "Jhahaha ya elah. Emang bener yah cewek tu gampang banget baper. Padahal cuma di ajak bercanda sama cowok ganteng aja langsung terbang terus ujung-ujungnya nyalahin si cowok kalau dia kena PHP," ucapnya terbahak dengan ucapannya sendiri. "Riaaan ... Gue lempar nih," teriakku kepadanya yang masih berbicara gaje di samping depan mobil. "Toa banget sih. Aduh iya ampun ... ampun .... " katanya meminta ampun begitu sepatuku telah aku angkat dan siap mendatar di kepalanya.   "Lo mau langsung berangkat kerja?" tanya Rian kepadaku yang sedang sibuk sendiri di kursi penumpang. "Ya iya lah. Masa gua mau main sih. Lo lama lama makin ngaco deh." "Haha kan cuma basa basi, Ra," kata Rian tertawa renyah. "Basa basi Lo basi sama gue, Yan," ucapku menanggapinya dengan bercanda. "Ish ... ish ... omongan Lo pedes amat sih, Ra. Pantesan banyak cowok yang takut sama Lo." "Lah, apaan sih nggak ada hubungannya." Aku membalas Rian dengan tatapan jengah. Entah mengapa sedari tadi yang dia omongkan itu tentang cowok. "Eh, Ra. Nanti Lo ngampus kan?" Aku hanya mengendikan bahuku tanda tak tahu. "Lah? Karena ibu Lo ?" Aku hanya diam tak menjawab. Karena aku tahu pasti Rian sudah faham akan kondisi ku. Setelah perbincangan itu, kami sama-sama terdiam dan hanya keheningan yang tercipta di mobil itu. Kami telah sampai di depan sebuah toko bercat pink. Tempat itu adalah tempat dimana aku bekerja. Aku bekerja sebagai pelayan toko boneka. Pekerjaan yang menurutku ringan untuk dijadikan sambilan untuk kuliah. Perlu kalian tahu sebenarnya aku selama kuliah tak berani meminta sepersen uang pun kepada ibu. karena apa? itu semua karena ibuku sudah mewanti-wanti kalau ingin tinggal bersamanya, aku harus bisa memenuhi kebutuhan sehari-hariku dengan uangku sendiri. bahkan ketika makan pun aku harus menyetorkan sejumlah uang untuk biaya makan. Bukankah jika seperti itu sama saja aku seperti tinggal di kosan? Tapi ya sudahlah ini semua aku lakukan demi bisa tinggal bersama keluargaku. "Mau gue jemput ntar?" tanya Rian kepadaku yang akan membuka pintu mobil. "Kayaknya nggak deh. Umar katanya mau bicara sama gue waktu pulang nanti," jawabku sembari turun dari mobil. Rian terdiam sejenak, ada yang aneh dengannya kali ini. Padahal dari tadi ia menyebalkan tapi kenapa tiba-tiba terdiam dan berwajah datar? "Emm ya udah. Gue balik yah. Assalamualaikum." "Wa’alaikumussalam." Pernyataannya besar muncul di kepalaku. Sebenarnya kenapa Rian selalu bersikap demikian ketika aku membahas tentang Umar? Apakah ia sedang ada masalah dengan Umar? Ah, sepertinya perlu aku tanyakan kepada Umar nanti. Akupun melangkahkan kakiku memasuki toko itu untuk bekerja. Kemungkinan di dalam belum banyak karyawan yang datang, mungkin hanya Mbak Hira sebagai pemilik toko yang juga tinggal di sana.  "Assalamu'alaikum." Aku memasuki toko yang masih sepi itu dengan riang. Saat di toko ini aku bisa merasakan ketenangan dan kedamaian, berbeda dengan saat diriku di rumah. Srek ... srek ... srek ... Bunyi sebuah benda yang bersenggolan dengan lantai terdengar begitu nyaring. dengan penasaran aku melangkahkan kakiku mendekat ke sumber suara. "Mbak Hira sedang apa?" tanyaku begitu menyadari seseorang yang aku panggil Mbak Hira itu sedang menyapu sesuatu di lantai. "Huaaa ... alhamdulillah kamu sudah datang, Mai. Bisa tolong usir katak ini enggak?" pinta Mbak Hira yang terlihat pucat pasih dengan sapu yang ia genggam erat. Ingin rasanya tertawa melihat ekspresi Mbak Hira, namun tidak sopan bukan menertawakan seseorang yang sedang kesusahan. "Coba sini mbak." Aku mengambil alih sapu yang Mbak Hira pegang.  Memang benar ternyata ada seekor katak yang lumayan besar di bawah sapu ini. Aku berinisiatif mengambil sebuah serok sampah. Kemudian membawa kodok itu ke serok sampah itu dan membuangnya ke sungai yang terdapat di belakang toko. "Sudah, Mbak." "Alhamdulillah, terimakasih banyak Maira. Untung saja kamu berangkat pagi, kalau enggak aku bisa satu jam berdiri dengan mencengkeram erat sapu itu," tungkas Mbak Hira bergidik membayangkannya. "Hehehe iya mbak, sama-sama. Memangnya nggak ada Mas Hafiz di rumah, Mbak?" Mas Hafiz adalah suami dari Mbak Hira. Mereka sebenarnya menikah muda, baru tiga bulan yang lalu menikah. "Mas Hafiz tadi ke kantor lebih awal, jadi ya cuma Mbak Hira sendiri," balas Mbak Hira yang kutanggapi dengan ber-Oh ria. “Ya udah kalau begitu mbak saya mau beres-beres toko dulu ya,” pamitku setelah melihat arlojiku telah menujukkan angka 07.54. “Eh iya jadi keasikan ngobrol. Silahkan, aku mau mandi dulu terus nyusul ke toko yah.” Aku mengangguk paham dan segera menuju ke dalam toko lagi untuk mempersiapkan pembukaan toko. Jika kalian heran mengapa aku sangat akrab dengan pemilik toko ini, sebenarnya Mbak Hira ini adalah salah satu orang yang membantuku menemukan keberadaan keluargaku. Mbak Hira sangat baik, dia paham dengan apa yang terjadi di dalam keluargaku. Mbak Hira menawariku pekerjaan saat aku hampir putus asa mencari pekerjaan di kota yang keras ini.  Saat itu aku sedang termenung di pinggir jalan. Kala itu aku sudah pergi kebanyak tempat untuk melamar kerja, namun tak ada satupun yang mau menerimaku. Hampir putus asa waktu itu, sampai Mbak Hira tiba-tiba menghampiriku.  Dia bertanya tentang apa yang aku lakukan di sini dan akupun menjawabnya apabila aku memang sedang mencari pekerjaan. Allah memang Maha Pemurah, mungkin karena ada rasa iba terhadapku, tanpa aku sangka-sangka Mbak Hira dengan cuma-cuma mau merekrutku menjadi karyawannya. Aku awalnya menolak karena takut apabila nanti akan membebaninya, tetapi akhirnya aku menerima pekerjaan itu dengan senang hati saat Mbak Hira mengatakan bahwa sebenarnya di tokonya memang sedang kekurangan karyawan. Sungguh aku sangat bahagia bisa berkenalan dengan Mbak Hira, selain ia wanita yang cantik ia juga memiliki jiwa sosial yang tinggi. Tak jarang aku melihatnya memberikan boneka secara cuma-cuma kepada anak-anak jalanan yang mangkal di dekat tokonya. Karena sifat dermawannya itu, rezeki yang ia terima terus mengalir. Bahkan sewaktu tokonya hampir saja merugi, ada saja orang yang senang hati mengulurkan bantuan dengan membeli boneka dengan jumlah banyak. Satu kebaikan yang kita buat pasti akan memeroleh balasannya entah dari siapapun dan kapanpun itu. Suatu saat aku ingin mencontoh kedermawanan dan baik hatinya Mbak Hira. Yang selalu menolong sesama tanpa pandang bulu. Yah meskipun aku belum memiliki sesuatu untuk dibagi, tak ada salahnya bukan berniat terlebih dahulu. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD