[2]~Yang Akan Terulang~

1505 Words
Masa lalu bukan alasan kita meragu untuk melaju. Justru masa lalu harus bisa mendorong kita untuk maju. -FitriYulita- Author’s POV Sinar mentari menyinari bumi dengan semangatnya, sehingga tak heran jika suasana siang ini sangatlah terik. Sudah satu minggu lamanya air tak turun dari langit dan bahkan banyak pula tumbuhan yang nampak mengering saat musim kemarau seperti ini. Namun di balik kemarau panjang ini tentu akan ada hikmah dibaliknya. Tetapi masih banyak orang yang kurang bersyukur dengan keadaan alam yang masih bersahabat ini. Yah, mungkin mereka belum pernah merasakan nikmatnya bersyukur. "Maira!!!!" Suara melengking bak sambaran petir menggelegar di rumah berlantai dua itu. Burung burung di depan rumah itu pun ikut berterbangan ketika suara itu mengudara. Orang-orang yang kebetulan lewat di depan rumah itu pun hanya menengok sekilas dan melanjutkan langkah mereka. Sepertinya mereka terbiasa dengan suara itu, sehingga hal seperti itu tak membuat mereka kaget. Di dalam rumah tersebut telah berserakan perkakas dapur yang sangat kotor. Si empu dari suara tadi memandang tajam ke arah seorang gadis berjilbab maroon yang berdiri tak jauh darinya. "Cepat bereskan ini! Gue capek!!!" perintah wanita bersuara cempreng tadi. Gadis berjilbab maroon tadi hanya terpaku melihat betapa berantakan nya dapur itu. "Woyyy Mai! Lo denger gue ngomong kan?!" teriak wanita tadi memarahi gadis bernama Maira itu.   Maira's POV Aku terpaku begitu melihat perkakas dapur yang berserakan itu. Ingatanku kembali kepada peristiwa 5 tahun lalu. Memutar kejadian demi kejadian dikala itu. Yang penampakannya seperti kaset rusak yang dipaksa menampilkan memori usang. Pyar ...   “Ayah ada apa?” aku yang kala itu masih berusia 7 tahun merasa kebingungan dengan ibu yang membanting-banting perkakas dapur. Aku sangat takut waktu itu dan hanya bersama ayahlah aku bisa tenang dengan situasi seperti ini. Sebenarnya sudah berulang kali kejadian ini terjadi dan sudah berulang kali pula ayah menjawabnya dengankalimat ‘Tidak ada apa-apa’. Anak seumuranku itu sedang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi-tingginya. “Tidak apa, Sayang. Yuk ikut ayah main,” ajak ayah yang baru saja pulang dari bekerja. Aku yang mendengar iming-iming untuk bermain pun segera mengiyakan dan melupakan pertanyaan dan rasa penasaranku tadi.   Dan akhirnya bebrapa tahun kemudian aku baru mengerti apa yang sebenarnya ibu lakukan. Ibu akan membiarkan semuanya berserakan apabila tidak ada uang yang cukup untuk memaskan. Ini merupakan kode saat ibu marah. Aku terkagum saat ayah tak membalas sedikit pun saat ibu memarahinya. Ayah akan mengalah saat sedang berdebat dengan ibu. Bukannya ayah takut, tapi ayah tak ingin memperkeruh suasana jika ikut melawannya. Ayah sangat sabar menghadapi ibu yang tempramen. Saat ibu berulangkali meminta diceraikan pun ayah masih sanggup mempertahankan rumah tangganya sendiri. Sungguh aku sangat menginginkan suami yang seperti ayah.   "Woyyy Mai! Lo denger gue ngomong kan?!" teriakan kakakku membuatku kembali tersadar. Aku hanya menatap Kaira sendu. Perlakuannya persis seperti Ibu. Selepas Kaira berteriak-teriak memarahiku. Ia langsung melenggang pergi entah kemana. “Kenapa bisa seberantakan ini? Sebenarnya apa yang ia lakukan tadi? Apa iya Kak Kaira masak?” gumamku disela-sela aktivitas membersihkan perkakas dapur yang berserakan tadi.   "Maira!!!" Sekali lagi, aku mendengar sebuah teriakan memanggil namaku.  Aku yang awalnya memang sudah pusing, kini semakin pusing oleh teriakan-teriakan kakakku dan ibuku. “Kenapa orang-orang di sini tak bisa memanggil diriku dengan tanpa berteriak,” gerutuku. Untuk menghindari terjadinya kemarahan, aku segera bangkit dari tempatku berbaring dan menuju kearah ibu yang memanggilku tadi.   Ternyata ibu sedang berada di ruang tamu dengan beberapa orang asing di sana. Aku mengernyit heran melihat ibu berwajah sumringah ketika melihatku. Tak seperti biasanya yang memandangku dengan wajah masam. "Tolong kamu buatkan minum untuk tamu kita ini," pinta ibu dengan suara lembut. Aku hampir tersedak air liurku sendiri ketika mendengar suara lembut ibuku. Baru kali ini aku mendengar suara ibuku yang seperti itu. Hatiku terasa menghangat mendengar suara lembut bak sutara itu. "Baik Bu."   Aku pun segera pergi ke dapur untuk membawakan minum seperti yang diperintahkan ibu tadi. Tamu yang datang tadi terdapat 3 orang. Seorang wanita paruh baya dan dua orang laki laki yang aku yakin bahwa mereka adalah bapak dan anak. Wajah itu nampak asing mungkin mereka rekan ibu. Setelah selesai membuat minum, aku segera mengeluarkan minuman itu dan memberikannya kepada tiga orang tamu tadi. "Owalah, Jeng, ini anak kamu tho?" tanya wanita paruh baya itu. "Iya sih, ini anak bungsu saya," jawab ibu dengan nada lirih sembari mengodeku untuk cepat berdiri dan segera pergi. Sebelum aku pergi, aku terlebih dahulu mempersilakan mereka untuk minum kemudian berpamitan pergi. “Sopan sekali jeng anakmu itu.” Samar-samar aku mendengar tamu tadi memujiku, namun ibu segera mengalihkan topik itu dengan pembicaraan yang lain.   Malam ini terasa sangat dingin, akan sangat nikmat jika tidur sembari  bergulat dengan selimut. Tapi, entah mengapa aku belum bisa tidur. Ada perasaan tak enak yang menyerang diriku. "Ya Allah, apakah akan ada sesuatu buruk yang akan terjadi?" gumamku menerka-nerka. Astagfirullah hal aldzim Jangan berfikir yang tidak-tidak, Ra... Jika memang akan terjadi sesuatu yang buruk, semua itu memang sudah kehendak Allah.   فَعَّالٌلِّمَايُرِيدُ Artinya: Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya (Q.S. Al Buruj ayat 16)   Allah Maha melakukan apa yang dia inginkan,tidak ada sesuatupun yang dapat menolak saat Allah menghendakinya.   Tok...tok...tok... Suara ketukan pintu membuatku tergugah dari kegelisahanku. Akupun bergegas membuka pintu itu tanpa memikirkan siapa yang tumben sekali bertamu ke kamarku. Saat aku membukakan pintu, sempat tak percaya begitu aku melihat sosok wanita paruh baya yang tak lain adalah ibuku yang telah berdiri tegak di depan pintu. "Loh ibu? Kenapa kemari? Apakah ada yang perlu Mai lakukan?" tanyaku dengan terheran-heran melihat ibu yang datang ke kamarku. Tak biasanya ibu mau bekunjung ke kamarku. "Boleh ibu masuk?" tanya ibu meminta izin untuk memasuki kamarku. Akupun mengangguk cepat saking senangnya menerima tamu ibuku sendiri. Ibu memasuki kamarku dengan pandangan yang menyapu seluruh ruangan. "Kamarmu bagus, sangat tertata. Beda jauh dengan kamar kakakmu," ucap Ibu menilai seluruh tatanan ruangan di kamarku.   Iya, memang benar kamarku tergolong minimalis dan tertata. Dengan barang-barang yang tak banyak. Hanya ada satu almari, satu meja belajar, satu rak buku yang sekarang telah penuh oleh buku-buku dan satu spring bed ukuran kecil. Tak lupa juga kamarku didominasi oleh warna abu-abu kesukaanku. "Terimakasih, Ibu. Tapi ada apa ibu kemari? sepertinya ada hal penting yang akan ibu sampaikan," tanyaku yang malah merasa canggung berbicara empat mata dengan ibuku sendiri. "Emmm bolehkah ibu minta satu permintaan?" pinta Ibu. "Tentu ibu, jika itu memang bisa Mai lakukan," jawabku mantap. "Kamu sangat ingin bukan membantu keperluan kita sehari-hari?" Aku mengernyit mendengar permintaan ibu yang sangat tak biasa itu. Aku menganggukkan kepala. "Bekerjalah dengan Tante Mawar."   Deg... Tante Mawar... Bagai dipukul godam, hatiku sangat sakit saat nama itu terucap. Nama itu amatlah aku benci. Sangat aku benci. Aku tak ingin mendengar nama itu lagi setelah kematian ayahku. Tapi, kini aku mendengarnya lagi dan lebih parahnya ibu menyuruhku berurusan dengan orang yang amat aku benci itu.   "Ibu?? Apakah ibu tidak salah?" tanyaku masih syok. "Tidak, Mai, ibu ingin kamu bekerja dengan Tante Mawar. Tante Mawar mau meminjamkan uang kepada kita asalkan kamu mau bekerja dengannya. Kamu tahu kan rumah ini hanya kontrakan dan sebentar lagi masa kontrak kita akan habis. Dan lagi biaya untuk memperpanjang kontrakan ini tidaklah sedikit. Kamu satu-satunya harapan keluarga ini," ujar Ibu memohon kepadaku.   Jujur aku tidak bisa berurusan dengannya lagi. Masa lalu membuatku seperti ini, aku tidak mau! Tapi, melihat raut memohon Ibu, aku tak kuasa untuk menolaknya. Aku harus melawan egoku. Jika terus seperti ini aku tak akan bisa maju bukan? lagian kan ini bisa saja aku  memanfaatkan kesempatan ini untuk mengyingkap pembunuh ayah. IYA! Aku harus bersahabat lagi dengan masa laluku.   "Ibu mohon Maira ... " Aku yang awalnya menunduk pun mengangkat kepalaku menatap Ibu lekat. Wajah ibu dipenuhi raut penuh harap saat menatapku. Kalau sudah seperti ini aku tak boleh membuatnya kecewa. Aku mengangguk tanda setuju dengan permintaan Ibu tersebut. "Benarkah?" Akupun mengangguk lagi dengan tersenyum simpul. Ibu terlihat sumringah mengetahui aku mau menuruti permintaannya. "Terimakasih Maira sayang, Ibu sangat menyayangimu," kata Ibu mencium pucuk kepalaku. Aku merasakan sensasi yang sudah lama sekali tak aku rasakan. Aku amat rindu moment seperti ini. "Tante Mawar akan menjemputmu besok siang. Segeralah berkemas dari sekarang. Ibu akan keluar dari kamarmu," perintah Ibu sebelum keluar dari kamarku. Aku membalasnya dengan senyuman.   Setelah Ibu keluar, badanku melemas. Aku tak kuat menahan tangisan yang sedari tadi aku pendam. Aku tak ingin melakukannya, aku benci melakukannya. Tapi aku sudah memutuskannya, aku telah menyanggupinya. Satu per satu tetesan air mata mengalir di pipiku. Tak bisa kupungkiri, aku sangat takut jika kejadian ini terjadi. Sangat berat untukku berkutat dengan masa lalu lagi. Sebenarnya apa lagi yang dia inginkan? Tak jera kah dia telah membuat ayah meninggal? Tak cukup kah?!!   Aku beristigfar pelan, mungkin ini adalah firasat tak enak yang tadi timbul. Aku tak menyangka ternyata memang sangat tak enak dirasakan. Aku pasti bisa menghadapinya. Untuk mengembalikkan mood-ku yang hancur, aku beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku percaya air wudhu itu bisa meredakan amarah. Setalah itu, aku menggelar sajadah dan mengenakan mukena untuk menjalankan sholat dhuha.   Disujud terakhirku entah mengapa air mata mengalir deras di pipiku. Tak ada yang sedang aku pikirkan hanya mengingat keagungan Allah saja yang tiba-tiba menelusup dalam benakku. Selepas melakukan salam, aku memejamkan mata. Hanya keheningan dan kegelapan yang aku rasakan. Yak memang aku senang melakukan ini selepas sholat, aku merasa tenang dan damai. Sungguh ini nikmat yang di berikan kepada hambanya yang mau mendekat kepadanya.   Ya Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang Sungguh hamba hanyalah orang lemah yang bergelimang dosa, yang hanya bisa mengangkat tangan dan berdoa kepadamu saat cobaan menimpa ... Ya Rabb, kuatkan lah hamba menghadapi permasalahan ini ... Kuatkan lah hamba untuk bisa menjalankan semua ini ... Insyaallah hamba ikhlas jika ini untuk Ibu dan Kak Kaira ... TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD