[7]~Tragedi~

1111 Words
Haruskah bertahan dengan tetap memakan harta riba untuk memberantas kemungkaran  ataukah  harus menjauh dari dosa tapi membiarkan kemungkaran itu terus terjadi? -Maira Zevani Yuasa- Happy Reading Maira's POV  "Apa yang kau lakukan di rumahku?" tanya pria itu dengan suara yang mengerikan. Demi apapun ketika mendengar suaranya, bulu kudukku meremang. Bukannya aku bangkit dan menjawabnya, aku malah semakin menunduk. Ya Allah, Maira takut. Apakah dia ini benar-benar manusia? Ataukah penunggu rumah ini? Pria itu semakin mendekati tempatku bersembunyi. Aku tidak bisa berlari menjauhinya, kakiku telah gemetar seperti ada yang memaku kakiku hingga aku tak sanggup bangkit. Tiba-tiba yang semula gelap gulita, kini menjadi terang benderang. Sedikit terkejut, aku pun mendongak melihat pria itu. Pria itu sama kagetnya denganku. Ia terkejut sampai sampai menatapku dengan tatapan bola mata yang hampir keluar. Dia manusia ... "Nevan... Apa yang kamu lakukan?" Teriak Seseorang yang tadi menyalakan lampu Pria tadi tersentak begitu mendengar namanya itu di panggil. Pria itupun menoleh kearah lorong dan menemukan Tante Mawar yang sedang memandang kearahnya. Sepertinya pria di depan ku ini adalah anak dari Tante Mawar. Tapi sejauh ini, aku tak mengetahui informasi bahwa Tante Mawar telah menikah dan memiliki seorang anak.Batinku "Maira, kenapa kamu di sini?" ucap Tante Mawar terdengar seperti geraman. Ah, sepertinya Tante Mawar memang sangat marah melihat kehadiranku. Aku menunduk takut, baru juga beberapa jam yang lalu aku pindah kesini. Tapi sudah menimbulkan keributan. Pria di depanku memandangiku sekilas lalu pergi begitu saja keluar dari dapur. "Nevan, mama ingin bicara sama kamu!" teriak Tante Mawar kepada pria bernama Nevan yang tak mengindahkan teriakan Tante Mawar. Apakah ada sesuatu yang terjadi antara mereka? "Kau, bereskan kekacauan ini. Dan jangan coba-coba membuat kegaduhan lagi," ancam Tante Mawar kepadaku. Aku hanya diam dan mengangguk patuh. Aku tak mau menambah tante marah lagi dan ujung-ujungnya aku akan diusir, aku tak mau itu terjadi. *** Keesokan harinya, aku bersiap untuk membantu Mbok Siwi di dapur. Setelah semua kupastikan siap, aku pun segera keluar kamar dan melangkah menuju dapur yang tadi malam terjadi tragedi. "Selamat pagi, Mbok," sapaku kepada Mbok Siwi yang sedang mencuci sesuatu. Mbok Siwi menoleh dan tersenyum kearahku. "Selamat pagi juga, Maira. Kayaknya semangat banget ini." Aku tertawa singkat. "Hehehe... Iya dong, Mbok. Ini kan hari pertamanya Maira.” Aku berjalan mendekati Mbok Siwi. “Itu lagi ngapain, Mbok?" kataku sembari mencuri pandang terhadap apa yang Mbok Siwi lakukan. "Ouh ini, Simbok lagi mau masak udang. Jadi ini lagi bersihin udangnya dulu, Mai," jawab Mbok Siwi. "Maira bantuin ya, Mbok." pintaku. "Boleh, kamu tumisin bumbu itu yah. Udah mbok siapin kok," perintah Mbok Siwi mengarahkanku. "Oke siap." Aku segera mencuci tanganku sebelum memulai menjalankan perintah. Aku sudah familier dengan bumbu dapur dan teman-temannya, yah karena aku sudah terbiasa sewaktu di rumah. Selama aku dan Mbok Siwi memasak, kami saling berbincang-bincang mengenai pekerjaan Mbok Siwi di sini. Mulai dari harus menyapu dan mengepel rumah sebesar ini sendirian sampai harus mengelap seluruh kaca yang hampir semua tembok ada kacanya. Masyaallah sekali kan. "Tenang aja, Mbok. Mulai hari ini ada Maira yang akan membantu, Simbok," ucapku kepada Mbok Siwi yang terlihat senang. "Ihhh kamu ini udah cantik, baik hati lagi," ujar Mbok Siwi memujiku. "Ah simbok bisa aja deh," balasku malu-malu kucing. (Hehe) "Eummm wanginya ... Mbok hari ini masak apa?" Saat aku dan Mbok Siwi asik bercengkrama, tiba-tiba terdengar suara bariton dari arah pintu belakang. Aku spontan menoleh dan manik mataku langsung bertubrukan dengan manik matanya yang berwarna kelabu. Masyaallah. Cukup lama aku terbenam dalam lautan teduh matanya, hingga deheman Mbok Siwi menyadarkan atas tindakanku. Aku segera beristigfar di dalam hati karena aku telah melampaui batas. Pria itu terlihat mengusap tengkuknya begitu menyadari Mbok Siwi sedang menertawakan salah tingkahnya. Dan aku hanya tersenyum sembari menatap ke arah lain. "Ini mau masak udang balado makanan kesukaan den Nevan. Oh iya ke sini, Den. Simbok kenalin sama cewek cantik ini," ucap Mbok Siwi menjawab pertanyaan Nevan tadi dan diakhiri dengan menggodanya. "Ah, mbok kayaknya Nevan ada perlu deh. Nevan pergi dulu yah," kata Pria itu langsung pergi begitu saja setelah berpamitan. "Hahaha dasar anak itu, perilakunya suka nggak terduga," gumam Mbok Siwi yang masih bisa aku dengar. Aku tersenyum kecil mencerna ucapan Mbok Siwi. "Mbok kayaknya ini udah mateng deh," ujarku menyadarkan Mbok Siwi yang masih menatap kepergian pria tadi. "Eh iya, segera taruh di piring ini, Mai." Aku pun segera melakukan apa yang Mbok Siwi perintah. Setelah semua masakan matang, aku segera menatanya di meja makan. "Maira, yang tadi itu adalah anaknya Nyonya namanya Nevan," ucap Mbok Siwi di sela-sela kami beristirahat. Aku hanya mengangguk-angguk saja menanggapinya. Karena aku takut salah respon nantinya. "Dia itu anaknya sangat tertutup, dia juga sebenernya cuek dan dingin. Tetapi kalau dengan orang yang sangat ia kenal pasti dia akan sangat ramah dan hangat," ceritanya yang sepertinya mengerti bahwa dari tadi aku menyimpan rasa penasaran. "Dia sangat jarang bertingkah seperti itu bahkan hampir tidak pernah. Entah mengapa dia tadi terlihat aneh. Hahaha... Mungkin karena melihat wanita secantik kamu Maira," tambah Mbok Siwi membuat pipiku bersemu lagi. "Ah simbok bisa aja deh. Semalam Maira sudah bertemu dengannya. Tapi--- " Ucapan Maira terputus karena suara gaduh yang berasal dari depan rumah. "Mbok ada apa?" tanyaku khawatir. Mbok Siwi hanya mengendikan bahunya dan berjalan menuju jendela yang terhubung dengan halaman depan. "Lagi-lagi terjadi," gumam Mbok Siwi. Aku mengeryitkan dahiku dan ikut melihat sesuatu yang terjadi. "Itu bukannya tante yah? Terus itu siapa?" tanyaku penasaran.  Pasalnya aku melihat Tante Mawar sedang diikuti oleh seorang bapak tua yang terlihat memohon-mohon. Tak lama kemudian bapak itu diseret oleh para bodyguard menjauh dari rumah ini. Melihat itu aku iba, ingin sekali aku menyelamatkan dan menolong bapak itu. "Maira tau kan profesi nonya?" tanya Mbok Siwi kepadaku. Aku mengernyit, sebenarnya aku belum mengetahui seluk beluk Tante Mawar. Yah karena aku sudah benci terlebih dahulu, aku jadi tidak suka mengenal tentangnya. Karena aku tak kunjung menjawab, akhirnya Mbok Siwi pun memberi tahuku. "Dia itu rentenir," jawabnya. Aku syok seketika, jadi aku sedang hidup dengan sosok lintah darat? Ya Allah bagaimana bisa aku hidup bersama orang seperti itu. Aku teringat oleh sabda Rasulullah. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam melaknat pemakan riba rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Kata Beliau, ‘ semuanya sama dalam dosa’.” (HR Muslim) Ya Allah bagaimana ini?  Tidak mungkin aku hidup di lingkungan seperti ini. Haruskah aku pergi dari sini? Tapi begitu banyak hal yang harus aku ketahui disini. Terutama penyebab kematian ayah. Dan sebagai seorang muslim bukannya tidak boleh membiarkan kemungkaran terjadi? Tapi apakah aku masih boleh bertahan di rumah ini dengan fasilitas yang dibiayai dari uang yang tidak berkah? Aku kalut dengan pemikiranku sendiri. Sungguh aku benar-benar terkejut. Ternyata aku baru saja memasuki 'gerbang neraka'. "Maira kamu tidak apa?" tanya Mbok Siwi khawatir denganku yang dari tadi terbengong. Aku menggeleng pelan. Aku pun mengamati kejadian itu lagi. Dan aku mengerti pasti  bapak itu sedang dalam masa kesulitan. Mataku melirik tajam begitu melihat sosok pria tidak asing yang baru tadi pagi sempat bertatapan denganku. Ia terlihat berdiam diri menyaksikan pemandangan itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada apa ini? Sepertinya ia juga tak menyukainya. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD