[8]~Sebuah Kisah~

1530 Words
Selain untuk melihat, Mata juga bisa bercerita disaat mulut tak sanggup bicara. Author's POV   "Bapak...." Seorang gadis berkhimar hitam berlari cepat begitu menyadari baru saja ada seorang pria paruh baya yang berjalan melewatinya dengan raut sendu. "Bapak..." panggilnya lagi kepada pria itu, namun tak ada respon apapun yang ditunjukkannya. Ia tetap berjalan gontai tanpa mendengar panggilan dari gadis itu.   Gadis itu tak menyerah, ia mempercepat laju larinya untuk bisa menjangkau orang tersebut. Dengan nafas terengah-engah, gadis itu berusaha mendahului langkah gesit bapak itu dan memberhentikannya. "Bapak," panggilnya lagi dan sekarang sukses membuat bapak itu berjengat kaget. Bapak itu pun menghentikan langkahnya dan dengan cepat pula mengusap sudut matanya yang berair.   "Iya, adik memanggil saya?" tanya bapak itu memastikan. Gadis itu mengangguk dengan tersenyum sendu.   Maira's POV Ketika melihat bapak itu, aku seketika teringat dengan Ayah. "Bapak yang tadi dari rumah itu kan?" terkaku menunjuk rumah Tante Mawar untuk memastikan agar aku tak salah orang. "Iya benar nak, ada apa ya?" balasnya dengan tanya. "Mohon maaf, Pak, sebelumnya saya sudah lancang. Apakah saya boleh bertanya beberapa hal?" tanyaku dengan penuh harap. Bapak tadi terlihat bingung, namun akhirnya mengangguk juga. Aku tersenyum dan sangat gembira dalam hatiku.   "Sebenarnya apa yang sedang terjadi tadi? Saya melihat bapak diseret-seret, saya tak habis pikir kenapa manusia memperlakukan manusia lainnya sedemikian. Sebenarnya ada apa, Pak?" tanyaku dengan penuh rasa hormat. Karena aku tak mau apabila aku malah dianggap tidak sopan karena mencampur urusan orang lain. Bapak tadi terlihat terkejut mengetahui aku yang menyaksikan kejadian yang terjadi tadi. Namun tak beberapa lama, raut wajah bapak itu sendu kembali.   "Sebenarnya bapak sedang kesulitan ekonomi, Nak. Anak bapak sedang di rawat di rumah sakit. Bapak pernah meminjam uang kepada Bu Mawar untuk mendirikan usaha. Dulunya bapak hanya meminjam uang 5 juta saja tetapi karena bapak tak kunjung membayar, hutang bapak sekarang sudah mencapai 50 juta, Nak. Dan tadi, Bu Mawar beserta bodyguard-nya mendatangi rumah bapak meminta untuk bapak segera membayar. Namun, bapak benar-benar sudah tidak memiliki uang karena untuk membiayai biaya rumah sakit anak saya. Tetapi ia memaksa dan karena semua perabotan rumah bapak telah bapak jual habis, akhirnya Bu Mawar meminta sertifikat rumah dan malam ini juga bapak harus pergi dari rumah itu." Bapak itu berhenti sejenak untuk mengusap air mata yang telah mengalir di pipi tirusnya itu. Dan tanpa aku sadari, aku pun juga ikut meneteskan air mata mendengar cerita bapak ini yang sama persis seperti yang ia alami dahulu bersama ayahnya. "Dan bapak tidak mau untuk memberikannya, tetapi mereka memaksa dan akhirnya sertifikat itu mampu dibawa oleh mereka. Rumah itu harta bapak satu-satunya, kalau rumah itu disita lantas di mana bapak dan anak bapak tinggal nantinya," tambah Bapak itu mengakhiri ceritanya yang terdengar sangat menyedihkan.   Aku menatap wajah bapak itu yang menyiratkan duka yang mendalam. Aku sangat sedih bagaimana bisa Tante Mawar melakukan sesuatu setega itu. "Sekarang anak bapak masih menginap di rumah sakit?"tanyaku lagi setelah sempat hening. "Sebenarnya hari ini anak bapak sudah di perbolehkan pulang. Tapi, jika rumah bapak sudah tidak boleh ditempati, dimana anak bapak bisa beristirahat? Bapak bingung saat ini harus bagaimana. Apakah bapak harus menjual ginjal bapak untuk melunasi hutang itu agar rumah bapak tidak di sita?"   Hatiku terenyuh mendengar suara keputusasaannya. Aku tidak menyangka perjuangan seorang ayah yang begitu besar. Bahkan sampai mau mengorbankan dirinya untuk putri kecilnya. "Nama bapak siapa? Saya Maira," ujarku memperkenalkan diri. "Nama bapak, Norman. Sepertinya namamu tidak asing ... " Pak Normal berhenti sejenak memikirkan. "Oh iya namamu seperti nama anak rekan kerja saya dulu yang sayangnya sekarang telah meninggal akibat orang itu juga," tambah Pak Norman.   Aku seketika tertarik dengan orang yang Pak Norman maksud. Tapi disisi lain, hatiku berdebar karena ayah pun juga meninggal disebabkan oleh Tante Mawar itu. Apakah orang yang ada di foto dengan Pak Norman itu adalah orang yang sama? "Namanya itu Herman, tragisnya ia meninggal karena tertabrak oleh mobil sang bodyguard-nya yang memaksa untuk membayar hutangnya kala itu." "Bahkan kecelakaan itu terlihat seperti disengaja. Bapak yang jelas-jelas ada di depan mobil itu tak tertabrak sedangkan Herman yang berada jauh di sampingku lah yang dituju," lanjut Pak Norman.   Mataku membulat dan aku hanya bisa membeku begitu mendengar apa yang ia sampaikan. Ap ... apa tadi dia menyebutkan nama ayah? Apakah benar?? Dan tadi, kecelakaan janggal seperti disengaja?? Detak jantungku semakin berpacu keras. Ada rasa gembira yang menyelinap masuk ke relung hatiku, namun ada juga rasa sakit yang sudah lama terkubur kini terkuak kembali. Aku ingin mencari tahu lebih lanjut tapi aku belum sempat bertanya karena raut wajah Pak Norman yang mendadak dingin kembali.   "MAIRAAAA!!!" teriak seseorang dari depan gerbang rumah Tante Mawar. Yap siapa lagi kalau bukan Tante Mawar yang berteriak.   Pak Norman segera bergegas pergi karena melihat kehadiran Tante Mawar. Aku yang melihatnya segera menyusul bapak itu dan menahannya untuk berhenti. Tapi ternyata, Tante Mawar juga sedang menuju ke sini. Aku mengeluarkan sesuatu dari kantungku, "Bapak tolong pakai uang ini pak setidaknya untuk mencari kontrakan terlebih dahulu. Kalau bapak sudah mendapatkan kontrakan tolong beri tahu saya. Besok saya akan menunggu kedatangan bapak di sini. Tolong segera cari tempat tinggal ya, Pak." "Tapi nak... Jangan repot seperti ini. Bapak bisa cari---" "Sudahlah pak tolong diterima. Ini juga demi kelangsungan hidup saya. Tolong cepat pergi, Pak," pintaku begitu Tante Maira telah berada kurang lebih 2 meter di belakangku.   Bukannya cepat melangkah, Pak Norman masih saja berdiam diri. Sepertinya ia masih ragu untuk menerima uang itu. "Pak, tolong. Saya adalah anak dari Bapak Herman. Tolong bantu saya juga, Pak. Saya ingin tahu yang sebenarnya terjadi." Kurasa ia sempat terkejut menyadari aku adalah anak seseorang yang sempat ia ceritakan tadi. Ia menatap uang yang ada di depannya. Begitu aku selesai mengatakan itu, Tante Mawar telah mencengkeram tanganku. "Kamu mau kabur ya!! jangan harap kamu bisa kabur dariku Maira!!" bentak Tante Mawar geram sembari menyeretku dengan paksa dan sungguh cengkeramannya terasa sangat menyakitkan. "BAPAK PERGI SEKARANG!!!" teriakku yang akhirnya membuatnya terkejut dan Ia pun segera mengambil amplop di tanganku laku berlari kencang menjauhiku.   Aku terus diseret paksa sampai-sampai aku beberapa kali terjatuh dan menimbulkan luka gores di beberapa bagian di kakiku. "Arg ... tante, saya bisa jalan sendiri. Tolong ini menyakiti Maira." Tangisan kesakitan mulai terdengar memilukan. Tapi ini tak ada apa-apanya dengan kesakitan yanh dahulu bapak alami.   ***   "DASAR TIDAK TAU DIUNTUNG!!! Berani beraninya kamu mau kabur hah!" Tante Mawar terus menerus membentakku. Aku hanya bisa terdiam sembari menahan rasa sakit di kakiku. Keadaan rumah lumayan sepi sehingga suara Tante Mawar menggema keseluruhan ruangan. Aku tak peduli dengan ocehannya. Aku hanya memikirkan nasib bapak tadi yang ternyata mengenal ayah dan bisa menjadi saksi kunci kematian ayah. Semoga ini menjadi titik terang dari semua yang terjadi.   "Hey kamu mendengarkan saya nggak sih!!" teriak Tante Mawar sembari menyentak kepalaku dengan tarikan hijabku Aku hanya meringis menahan perihnya kulit kepalaku akibat tarikannya yang juga membuat rambutku tertarik. Aku tidak melawan karena jikapun aku melawan, ia malah akan semakin menjadi-jadi. "Sebagai hukumannya, kamu akan saya kurung di gudang dan hari ini kamu tidak akan mendapat jatah makan!" ancamnya sembari menarik tanganku yang lebam akibat cengkeramannya tadi.   Ia berhenti di depan sebuah ruangan di belakang rumah. Iya lalu memutar knop pintu dan membukanya. Tanpa belas kasihan, aku didorong masuk olehnya dan pintu gudang itu segera dikunci. "TANTE BUKA!! TANTE!!" teriakku hampir menangis. Di sini sangatlah gelap, tak ada cahaya matahari sedikit pun. Aku sangat phobia gelap, jika seperti ini terus aku bisa sesak napas. Tidak ada jendela yang mengizinkan cahaya masuk, hanya ventilasi kecil yang sedikit memberikan gerak untuk bernapas. Walaupun masih ada gerak untuk bernapas, apabila aku sudah berada di tempat gelap, akan sangat sulit rasanya menghirup udara karena seketika aku terlupa cara menghirup udara yang benar. "Tante ... Tolong bukakan Maira pintu... Maira takut ... hiks ... hiks ... " Aku hanya bisa pasrah menghadapi ini semua. Aku harus terima semua risiko yang telah aku perbuat. *** Malam hari tiba dan aku masih terkurung di gudang gelap ini. Aku sangat lapar sekarang. Aku belum mengisi perutku sedari tadi pagi, terakhir aku makan adalah kemarin malam. Dan lagi tenagaku sekarang telah habis karena untuk berteriak teriak sejak tadi.   Ya Allah, tolong aku. Tiada daya dan upaya selain dari pertolonganmu, Ya Allah. "Tetaplah hidup walaupun kehidupan berusaha mematikanmu. Tegakkan kebenaran jangan kebencian. Jadilah wanita kuat bagaimana pun kondisinya. Ingat ujian yang berat akan membuatmu semakin kuat. Hilangkan dendammu nak, biarkan Allah yang akan membalas semuanya. Jalani semuanya dengan ikhlas, Allah selalu bersamamu sayang. Allah akan selalu menolong hamba-Nya yang kesulitan. Teruslah berbuat kebaikan jangan meninggalkan Allah. Ayah menunggumu di Syurga kelak. Dan satu lagi, ingat bahwa Allah selalu bersamamu, jangan pernah merasa sendiri.” Pesan ayah seketika terngiang-ngiang lagi di kepalaku. Aku harus kuat! Ayah menginginkanku menjadi wanita kuat.   Napasku semakin memendek,, pandanganku pun mulai memburam dan kepalaku menjadi amat berat belum lagi rasa perih yang ditimbulkan oleh luka akibat diseret oleh Tante Mawar tadi. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba berdiri dan menggedor-gedor pintu lagi walaupun suaranya tidak sekeras tadi.   Duk ... Duk ... Duk ...   "Tolong ... Tolong ..." Aku berusaha berteriak namun tetap saja hanya suara parau yang terdengar. Tak kunjung ada pertolongan yang datang dan lagi dan lagi hanya air mataku yang kembali mengalir. Iya aku hanya bisa menangis dalam diam untuk sekarang ini.   Ayah apakah hidup Maira harus sesulit ini? Apakah Maira masih bisa bertahan dengan semua ini, Yah?   Telah habis sudah tenagaku, aku sudah tidak sanggup lagi untuk berteriak. Jikapun aku memang ditakdirkan mati di sini, setidaknya semoga saja ada seseorang yang menemukanku dan mau menguburkan jasadku dengan layak. Perlahan pandanganku semakin kabur lalu lama-kelamaan kegelapan menelanku dan akhirnya mataku pun tertutup rapat. Namun aku sempat mendengar bunyi yang ditimbulkan oleh pintu gudang. Semoga itu pertolongan.   TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD