♫♫

1026 Words
"Aku hanya khawatir Mahiro akan melarangmu banyak beraktivitas. Apalagi ayah, overprotektif banget. Aku juga sebenarnya nggak suka kamu ikutan ekskul, La." Mila mendengkus pelan. "Kalau Arata ikut ekskul, sementara aku pulang ke rumah dan sendirian di sana, bukannya malah akan membuat yang lain khawatir? Ibu sibuk di restoran, kadang menemani Deden ke rumah Nenek. Ayah dan Mario juga ada di rumah sakit, kadang sampai malam bahkan pernah nggak pulang beberapa hari karena banyak pasien." "Yup, kamu benar. Ya sudah, aku akan bicara sama ayah. Btw, La, nama adik kita itu Dean, bukan Deden." Mila melirik Arata, tertawa kecil. Setelah diam beberapa detik, mulut gadis itu terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi terkesan ragu-ragu. Arata bisa menangkap gelagat itu. "Kamu mau bilang apa, La?" "Ehh? Ah, itu, aku dengar ada ekskul musik di sekolah. PMC, Pelita Music Club." Arata seketika memegang kuat tali ayunan, hampir saja Mila terbanting ke tanah. "Ayah nggak suka musik." Mila tertawa hambar. "Haha iya, ya. Aku juga nggak suka musik. Siapa juga yang suka sesuatu yang membuang waktu seperti bermusik." Gadis itu menunduk, memainkan ujung kakinya ke tanah. "Masa depan seorang musisi juga nggak jelas, ya, kan?" Arata menghela napas. Sebelum dia mengatakan sesuatu, Mila menoleh cepat ke dalam rumah sakit, Arata sampai terkejut dibuatnya. Arata bingung dengan sesuatu yang membuat binar di mata adik tirinya itu. Tanpa sadar, Mila malah sudah berjalan ke dalam rumah sakit, meninggalkan Arata yang masih terpaku memandang wajah bahagia gadis itu. Mila kembali ke rumah sakit, mencari asal suara biola dari satu lorong ke lorong lain, dari satu bangsal ke bangsal lain, sampai dia tiba di bangsal anak khusus penderita kanker. Di sana dia melihat seorang remaja lelaki dengan dua plester di pipi kanan dan kiri sedang berdiri di tengah kerumunan anak-anak yang seperti menari dengan berbagai gaya. Rambutnya yang agak panjang diikat pony tail itu bahkan berkibar lembut mengikuti irama. Kaki lelaki tersebut mengentak-entak, bibirnya bergerak menyanyikan lagu Twinkle-twinkle Little Star, sementara tangan menggesek biola. Iris gelapnya seolah berbinar ketika menatap kekaguman dari para penikmat musik. Suaranya juga merdu dan penuh semangat. Mila membeku dalam beberapa detik dengan mata membulat tanpa berkedip, lalu dia mulai sedikit berlari menuju si lelaki biola. Gadis itu tersenyum lebar. Jantung Arata berdebar cepat di atas normal ketika menyusul Mila ke bangsal anak. Dia semakin terkejut saat mendapati Mila berlari karena alunan biola. Ini kali pertama dia melihat gadis itu mengagumi seseorang selain dirinya. Yang Arata tahu, tatapan Mila yang seperti tadi hanya ketika melihat Arata menjadi juara, melihat Arata menerima banyak piala dari berbagai cabang lomba, atau melihat Arata memakai pakaian baru pemberian ibu. Tapi yang tadi itu, entah mengapa, membuat Arata sedikit tidak suka. Menurutnya, Mila tidak boleh melihat orang lain dengan tatapan kagum, karena tatapan itu seharusnya hanya ditujukan kepadanya. Arata kemudian menyadari sesuatu, ini bukan kali pertama dia melihat Mila seperti itu. Dulu juga Mila berlari dari ruang kelas ke halaman depan sekolah, dan semua anak bingung dengan tindakannya tersebut, tapi beberapa saat kemudian, pawai marching band melewati sekolah mereka. Jauh sebelum orang lain mendengar suara musik, Mila sudah lebih dulu mendengarnya. Pendengaran gadis itu sangat baik. Mila juga pernah terus memandang ke luar jendela mobil dengan tatapan kagum, setelah beberapa meter, barulah Arata tahu kalau Mila bisa mendengar permainan biola seorang pengamen meski bising kendaraan di luar sana begitu ribut. Kesukaan Mila akan musik tidak hanya sebatas itu, Arata juga sering memerhatikan Mila yang diam-diam bersenandung saat mendengar musik melalui earphone. Atau ketika ada suara musik di televisi, Mila akan berlari dari dapur ke ruang keluarga hanya untuk melihat siapa yang bermain musik. Benar, Arata sudah tahu kalau dari dulu Mila sangat menyukai musik, tapi dia menutup mata karena kehendak sang ayah. Dia jadi ikut-ikutan membatasi gerak Mila juga karena sang ayah. Apakah setelah melihat cahaya di mata Mila, Arata akan kembali memadamkan binar itu untuk mematuhi sang ayah? "Mainkan lagi!" teriak Mila ketika lelaki pemain biola mengakhiri konser singkatnya dan bocah-bocah penari dadakan dibawa kembali ke bangsal oleh para suster. Lelaki itu menatap Mila dengan kepala sedikit miring, alis kanannya terangkat. "Kamu akan membayarku?" tanyanya. "Hah? Eum..." Mila merogoh baju rumah sakitnya, seperti mencari sesuatu, tapi yang didapat hanya jepit rambut bentuk bintang. "Aku nggak punya uang," lirihnya. "Kalau begitu nggak ada musik," kata si lelaki, lalu melangkah pergi. Mila mengekori si lelaki, benar-benar lupa kalau Arata sedang mencarinya. Dia mengikuti ke mana pun pemain biola itu melangkah, bahkan sampai ke kamar mandi. Lelaki pemain biola menahan kesal karena gadis aneh terus mengikutinya hingga dia kembali ke ruang rawat. "Kamu mau apa, sih?" Mila tersenyum senang. "Biola. Biolamu." Lelaki itu berdecak kesal ketika duduk di depan ruang tunggu dengan satu kaki ditekuk. Dia meletakkan biola di kursi kosong sebelah kanannya dan menatap Mila dengan malas. "Nggak ada uang, berarti nggak ada musik." Mila menunduk, menipiskan bibir dengan wajah merengut. Kedua ujung telunjuknya dia sentuh-sentuhkan, lalu dia mendongak dengan mata berbinar. Setelah diam cukup lama, dia pun mengatakan, "Aku akan memberikan pertunjukan bagus setelah mendengar satu lagu darimu." "Aku nggak tertarik." "Pasti tertarik. Pertunjukan ini seperti sulap, seperti Master Limbad (pria tahan banting berambut gimbal yang biasanya membawa burung hantu setiap pertunjukan sulapnya). Aku kuat. Aku nggak akan merasakan sakit. Ini bonusnya." Mila menyodorkan jepit rambut bentuk bintang. Lelaki itu mendengus, dia menerima jepit bintang, kemudian digunakan untuk menjepit poninya. Ketika manik lelaki itu lebih terekspos, mata Mila semakin berbinar. Sebelumnya dia hanya suka melihat bentuk mata sipit Arata, tak pernah menyangka kalau yang bulat agak besar seperti milik lelaki itu juga bisa membuatnya terperangah. "Awas kalau kamu bohong. Aku akan memukulmu." Lelaki itu menunjukkan kepalan tangannya, lalu mulai memerhatikan Mila dari ujung kepala sampai kaki. Entah mengapa, dia mengubah ekspresi wajahnya menjadi seperti rasa bersalah. "Aku akan menemui orangtuamu saja untuk meminta bayarannya. Di tubuhmu sudah nggak ada lagi tempat untuk tinjuku," katanya. Mila menggeleng kuat. "Jangan minta sama ayah atau ibuku, nanti mereka marah sama aku. Pukul aku di mana saja. Di kepala atau tanganku juga boleh. Ini hanya perban yang dikasih obat merah, bukan karena darahku. Tanganmu nggak akan kotor kalaupun memukul di kepala atau tanganku. Oh atau kamu bisa memukul kakiku, kakiku belum ada perbannya, kok." Mila pun hendak menarik celana rumah sakitnya untuk menunjukkan betis atau lututnya, tapi aksinya dihentikan si pemain biola. "Ya, ampun, kamu ini cerewet banget, ya?" Lelaki itu tertawa. "Sebenarnya kamu sakit apa?" ♫♫♫
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD