2. Little Star

908 Words
“Aku ingin berdiri dengan kedua kakiku...” Arata   ♫♫♫   "Ada beberapa hal yang anak cewek nggak perlu tahu masalah cowok, sekalipun kamu adik kembarnya." Adik kembar, begitulah yang orang lain tahu tentang hubungan Arata dan Mila. Sebenarnya keduanya menjadi abang-adik saat sepuluh tahun lalu ibu Mila menikah dengan ayah Arata. Dikarenakan mereka juga baru pindah ke Binjai, maka yang orang-orang tahu, Mila dan Arata adalah saudara kembar non identik. Mila kembali tersenyum. "Botak nggak ganteng kalau lagi marah." Noval mengeraskan rahang. "Jangan memanggilku botak. Aku sudah nggak botak seperti di SD." Dia kemudian mendorong Mila sampai gadis itu terjatuh. Tanpa terlihat sakit sedikit pun, Mila kembali berdiri, tapi sebelum dia bisa mencegah pertengakaran dua lelaki, Noval sudah lebih dulu menduduki perut Arata dan berulang kali melayangkan tinju ke wajah putih pucat khas orang Jepang itu. "Jauhi Arata!" Mila berusaha memukuli Noval agar menjauhi Arata, tapi dia malah kembali didorong sampai kepalanya terbentur batu besar. Rasanya dunia Mila jadi sedikit berputar, tapi dia masih bisa berdiri dan memukuli Noval dengan tangan mungilnya. Noval mendorong Mila. Kali ini telapak tangan gadis itu tergores dan mengeluarkan darah, tapi darah segar dari pelipis Arata yang justru membuatnya teriak. "Arata!" teriak Mila. Noval menoleh, terbelalak karena melihat kepala Mila mengeluarkan darah sampai mewarnai wajah gadis itu. "Kekepalamu..." Dia pun berdiri, ekspresinya jelas menunjukkan ketakutan, tapi dengan gaya santainya dia malah ke luar area perkebunan IPS, mengabaikan Mila. Mila segera mendekati Arata dan memegangi pelipis lelaki tersebut. "Bertahanlah, Arata. Aku akan menelepon Ibu." Dia coba mengambil ponsel di saku rok, tapi tangannya dihentikan oleh abangnya. "Mila, kamu berdarah!" teriak Arata. "Ehh? Tapi Arata juga berdarah." "Lukaku cuma kecil." Arata membuka bajunya, menyisakan kaus putih polos sesiku di badan. Dia kemudian sedemikian rupa melilitkan bajunya di kepala Mila, lantas berjongkok. "Cepat, naik ke punggungku, La. Kita harus ke rumah sakit." "Aku nggak sakit." Tiba-tiba Mila tak mampu menopang tubuh dengan kedua kakinya. "Arata, semuanya terlihat berkabut." Arata berdecak kesal, kemudian menarik tangan Mila dan melingkarkan di lehernya. Dia menggendong gadis itu, mulai berlari menuju rumah sakit di depan sekolah mereka.   ♫♫♫   Mila tersadar di kamar rawat dalam sebuah rumah sakit. Kepalanya sudah dibalut perban. Dia memerhatikan sekitar, lalu mendapati Arata menangis seperti anak kecil di sisi kanan brankar. Mila pun tertawa melihat lelaki bermata sipit itu. "Kamu akhirnya sadar." Arata memeluk Mila, memindahkan ingus di hidungnya ke baju rumah sakit sang adik. "Selalu saja membuatku takut," keluhnya, di tengah isakan. Mila tersenyum lebar, nyaris tertawa. Dia menepuk-nepuk punggung Arata. "Arata, aku baik-baik saja, nggak sakit sama sekali." Arata berhenti menangis, lalu melepas pelukan. Dia menatap iris cokelat terang Mila, meyakinkan diri kalau tak ada kebohongan di wajah sang adik. "Percayalah, Arata. Aku nggak sedikit pun merasa sakit." Mila tersenyum, yang justru membuat lawan bicaranya sedih. Arata merapikan rambut hitam Mila, juga poni menyamping gadis itu, lalu tersenyum. "Kamu seperti wonder woman." "Hemm?" Mila berkedip-kedip. "Wonder woman-nya Arata." Mila mengalihkan pandangan, menutupi senyum lebarnya dengan tangan terbalut perban. "Mau jalan-jalan sebentar? Aku dengar, ada ayunan di samping rumah sakit." Arata mengulurkan tangan, Mila menyambutnya. "Benarkah?" "Ya. Kamu tahu, tadi Noval ke sini sama ibunya. Dia sangat ketakutan pas Ayah kita mengomelinya, tapi Ibu malah membela Noval. Ibu bilangnya gini," —Arata berdeham, dengan suara khas ibu-ibu sunda tulen, dia lanjut bicara—"teu kunanaon, Bu. Biasa lah, namanya juga remaja. Mila teh memang suka ikut campur masalah Arata."  (Teu kunanaon : nggak apa-apa) Mila seketika tertawa mendengar suara Arata. "Astaga, mirip banget sama Ibu. Hahaha..." Arata menaikkan bingkai kacamatanya, tersenyum bangga. "Terus, ayah malah belain kamu, banggain sifat heroik kamu yang katanya mirip banget sama dia. Yah, ayah sama ibu malah adu mulut gitu di depan Noval sama ibunya. Ibu belain aku, sementara ayah belain kamu." "Hahahha... Selalu begitu dari dulu. Akhirnya masalahnya selesai, atau enggak?" Arata mengangguk antusias, masih menggenggam tangan Mila dan menyamakan ritme jalannya di sebelah gadis itu. "Selesai. Mahiro datang dan membuat ayah sama ibu diam sebentar, terus nasehatin aku dan Noval biar nggak berantem lagi." "Anak itu sejak SD selalu cari gara-gara sama Arata. Aku heran apa salah Arata sama dia." Senyum Arata menghilang, wajahnya datar. "Entahlah." Tanpa sadar, keduanya sudah sampai di halaman samping rumah sakit, tempat ayunan itu berada. Mila duduk di ayunan, terlihat menikmati angin malam yang menerbangkan rambut kelamnya. Arata di belakang mendorong ayunan dengan hati-hati. “Arata, lihat! Bintangnya banyak, ya?” Arata mendongak, menatap taburan bintang di langit malam. Tersenyum kecil, lantas berkata, “Hemm... Sangat banyak.” "Eh, iya, tadi Botak bilang kita ini saudara kembar," kata Mila. "Begitulah yang orang-orang tahu," balas Arata. "Biarkan tetap seperti itu untuk selamanya." Mila tersenyum kecil, kemudian memejamkan mata. "Hemm... Selamanya. Oh, ya, Arata ambil ekskul apa?" "Mungkin ekskul Sains. Aku dengar PHS melakukan studi lapangan ke rumah sakit setiap akhir bulan melalui ekskul sains, itu akan mendekatkanku dengan cita-cita." "PHS?" "Pelita High School, La. Anak-anak menyebutnya begitu." Mila membulatkan mulut tanpa suara. "Kalau cuma untuk mempelajari sesuatu di rumah sakit, Arata bisa minta tolong ayah atau Mario, kan?" Arata terkikik pelan. "Mahiro, La, bukan Mario. Hemm... Bisa, sih kalau aku mau mengandalkan ayah, tapi aku nggak suka mengandalkan koneksi orangtua, La. Kamu tahu itu. Aku ingin—" "Aku ingin berdiri dengan kedua kakiku," sambung Mila, lalu keduanya tertawa kecil. "Benar. Itu prinsipku." "Hemm... Prinsip yang bagus." Mila kemudian mengembuskan napas panjang. "Aku bingung mau masuk ekskul apa. Mungkin akan sama juga dengan Arata." "Kamu mau masuk ekskul? Dulu di SMP nggak tertarik, kan?" Mila membuka mata, memandang jalanan kota di depan sana yang dipenuhi kendaraan bermotor. Ada juga pejalan kaki dan pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan. "Arata akan masuk ekskul, aku juga harus masuk ekskul. Dulu aku nggak tertarik ekskul, dan Arata jadi nggak ikutan ekskul agar bisa bersamaku. Kali ini biar aku yang ikutin Arata, ya?" Mila menoleh, tersenyum kala menatap Arata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD