1. Twinkle-twinkle

2034 Words
“Meski kematian adalah hal yang sering dokter hadapi, tapi tetap saja menyakitkan saat melihat pasien kami mengembuskan napas terakhir. Itu seperti mimpi buruk yang terus menghantui sepanjang hidup...” Mahiro   ♫♫♫   "Andai saja, aku nggak bisa merasakan sakit." "Rasa sakit adalah cara tubuh untuk melindungi diri dari cedera lebih lanjut atau kerusakan. Itu adalah tanda peringatan bahwa kamu dekat dengan sesuatu yang berbahaya atau kamu membutuhkan perhatian medis." "Tapi sakit itu enggak enak, Dok. Aku capek muntah-muntah terus, kepala rasanya kayak dihantam batu. Aku capek. Biarin aku mati saja. Aku nggak mau perawatan lagi." Sang dokter dengan name tag Mahiro di jas putihnya itu tersenyum, mengusap air mata di  pipi remaja perempuan yang duduk di kursi roda. "Dokter mengenal seseorang yang tidak bisa merasakan sakit, dan dia tidak akan bisa merasa mual atau sakit kepala seperti kamu." Pasien remaja mendongak, buliran bening dari matanya kembali membasahi pipi "Pasti dia sangat bahagia. Dia bisa ke mana saja yang dia mau, melakukan apa saja sesukanya, nggak perlu dilarang-larang kayak aku." Mahiro berdiri dari jongkok, mengusap kepala pasien remaja, memandang lurus ke halaman rumah sakit. Wajahnya muram. "Dokter dengar, kamu murid yang pintar di sekolah, apakah kamu pernah mendengar penyakit CIPA?" Pasien remaja terbelalak, kemudian ikut memandang jingga di cakrawala seperti Mahiro. "Aku pernah membaca artikel tentang penyakit itu. CIPA atau Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis, juga dikenal dengan istilah Hereditary Sensory Neuropathies (HSN), adalah penyakit gangguan dan kemunduran sistem saraf yang membuat penderitanya kehilangan rasa atau sensasi dari luar. Itu membuat seseorang kehilangan fungsi saraf sensori dan respons kontrol terhadap suhu dan rasa sakit." Mahiro tersenyum kecil. "Benar. Penderita CIPA tidak bisa merespons dengan cepat ketika tubuhnya terkena rangsangan dari luar. Penderita bukan hanya tidak bisa merasakan sakit dan suhu, tetapi juga tidak bisa berkeringat, mengantuk, lelah, lapar, kenyang, gatal, geli, bahkan perasaan ingin buang air sekalipun." Remaja melirik Mahiro sekilas, lalu menunduk. "Bukannya cuma sedikit orang yang pernah terkena CIPA? Itu penyakit turunan, kan?" "Ya, itu penyakit keturunan, bawaan sejak lahir. CIPA terjadi akibat mutasi gen yang mencegah pembentukan sel-sel saraf pengatur transmisi sinyal rasa sakit, panas, dan dingin ke otak. Kamu tahu apa yang mengkhawatirkan dari penyakit itu?" Remaja mendongak, matanya bertemu dengan iris gelap Mahiro. "Aku dengar usia penderita CIPA sangat singkat, beberapa bahkan nggak mencapai umur lima tahun, sebagian yang bertahan hanya sampai usia dua puluh tahun." Mahiro mengusap-usap kepala pasien remaja itu sembari tersenyum lebar. "Kamu sangat pintar ternyata. Yah, itu benar. Faktor yang menyebabkan kematian pada penderita CIPA karena penanganan penyakit menjadi terlambat. Misalnya pada anak kecil khususnya yang dalam tahap aktif bergerak, ketika penderita bermain, kemudian terjatuh atau kepala terbentur, tanpa diawasi orangtua, mereka akan terus bermain tanpa menyadari ada organ yang rusak dalam tubuhnya. Saat orangtua melihat memar, atau saat kaki dan tangan si anak tidak lagi bisa digerakkan, barulah mereka sadar ada yang salah dengan tubuh si anak." "Dan saat membawa ke rumah sakit, itu sudah sangat terlambat," sambung pasien remaja. "Benar. Ada pula kasus anak-anak penderita CIPA yang menggigit lidah atau menggigit jari tangan sampai putus. Saat orangtuanya melihat banyak darah, barulah menyadari yang terjadi." "Dokter seperti sedang menceritakan pasien CIPA yang Dokter tangani." Mahiro tersenyum samar. "Memang. Dokter menangani pasien penderita CIPA ini." Remaja menganga. "Beneran, Dok? Ada pasien CIPA di Indonesia? Kupikir itu cuma di luar negeri." Mahiro meletakkan telunjuk di depan mulut. "Sst! Rahasiakan ini dari yang lain, ya?" Pasien remaja tertawa sembari menutup mulutnya. "Kita punya rahasia. Oh, ya, Dok, tentang pasien CIPA itu, apa dia bisa sembuh?" "Tidak. Tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit CIPA." "Terus, bagaimana dengan pasien Dokter? Apa dia meninggal saat umur lima tahun?" Mahiro menggeleng. "Tidak. Dia masih hidup sampai sekarang. Sampai usia lima belas tahun ini." "Beneran? Dia nggak menggigiti jari, atau apa kepalanya nggak pernah terbentur saat kecil?" "Pernah. Dia bahkan pernah mematahkan tangan kanannya, sekarang dia hanya memakai tangan kanan palsu. Dia juga pernah meminum air baru mendidih beberapa kali, hingga indera perasanya tidak berfungsi dengan baik." Pasien remaja mengernyitkan dahi. "Bagaimana dia bisa bertahan hidup? Dokter bilang dia nggak bisa merasakan sakit, kan, terus, kalau dia terkena kanker atau penyakit kronis, bukannya diagnosanya akan sangat terlambat?" Mahiro tertawa pelan. "Astaga, kamu sangat tertarik dengannya, ya?" Pasien remaja menarik-narik ujung lengan jas putih Mahiro. "Ceritakan tentangnya." "Dia bisa bertahan hidup karena keluarganya mengawasinya selama dua puluh empat jam penuh. Di kamarnya ada CCTV dan pendingin ruangan. Dia memiliki jam tangan pengingat yang akan berbunyi di waktu-waktu tertentu seperti saat dia harus makan, ke kamar mandi atau waktu tidur. Dia juga punya gantungan tas yang berfungsi sebagai tombol alarm. Jika menekan tombol itu, alarm di kamarku, di ruanganku dalam rumah sakit ini, dan ponselku akan berbunyi, kemudian ponselku akan menunjukkan lokasinya. Dia melakukan cek tensi dan suhu setiap hari agar kondisinya selalu dalam keadaan baik. Dia juga menjaga pola makannya agar tidak makan yang panas atau pedas." Pasien remaja terperangah. "Hidupnya pasti sangat teratur. Bagaimana kalau di sekolah? Guru-guru nggak mungkin mengawasinya terus, kan? Ada banyak murid di sekolah." "Dia punya seseorang yang akan selalu bersamanya ke mana pun dia pergi. Seseorang yang akan menjadi kotak P3K untuknya." Pasien remaja menunduk, memandang keramik corak bunga warna biru gelap di dekat kaki. "Dokter mau bilang, kalau aku harusnya bersyukur bisa merasakan sakit, jadi, bisa melakukan penanganan medis dan terbebas dari penyakit ini, kan? Dokter mau bilang, kalau pasien CIPA itu saja mau bertahan hidup, masa aku yang sudah jelas bisa sembuh ini malah menyerah untuk hidup. Begitu, kan?" "Hahaha... Tidak, tidak, bukan begitu. Dokter mau bilang, kalau pasien CIPA sekalipun selalu memiliki harapan jika mereka ingin dan memilih bertahan. Tidak masalah kalau kamu mau berhenti kemoterapi, selama itu benar-benar yang kamu inginkan. Dokter akan mendukungmu." Pasien remaja mengerutkan keningnya. "Dokter nggak mau membujukku agar berjuang untuk hidup seperti pasien CIPA itu?" Mahiro jongkok kemudian menepuk pelan punggung tangan si pasien. "Tidak. Dokter akan mendukung kamu untuk berhenti kemoterapi jika itu yang kamu inginkan." "Enggak mau membujukku seperti dokter Ren?" "Tidak." "Dokter nggak sedih kalau kehilangan aku?" Mahiro tersenyum kecil. "Meski kematian adalah hal yang sering dokter hadapi, tapi tetap saja menyakitkan saat melihat pasien kami mengembuskan napas terakhir. Itu seperti mimpi buruk yang terus menghantui sepanjang hidup, karenanya, dokter Ren selalu membujukmu untuk terus bertahan. Kamu harusnya tahu, kalau ada yang paling sedih daripada Dokter saat kamu memutuskan berhenti bertahan." Mahiro kemudian memutar kepala ke belakang, ke tempat sepasang orang tua yang menatap mereka sejak tadi. Remaja menitikkan air mata saat melihat kedua orangtuanya bergandengan tangan sambil tersenyum ke arahnya. Dia kemudian menggigit bibir ketika sang ibu mengangguk, kemudian mencubit pelan pipinya agar terbentuk senyuman lebar. Pasien remaja tahu, sang ibu memintanya untuk tersenyum. Sementara sang ayah kemudian menunjukkan jempol dan telunjuknya yang membentuk love. Pasien remaja tahu, ayahnya bermaksud mengatakan sayang kepadanya, dan mendukung apa pun keputusannya. "Mama... Papa..." Pasien remaja terisak. "Ya. Keluarga." "Aku akan berjuang, Dok. Aku akan melakukan kemo lagi, tapi kalau aku mengeluh sakit lagi, Dokter akan mendengarkan keluhanku lagi, kan?" Mahiro memeluk pasien remaja yang mulai menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. "Hemm... Dokter akan selalu mendukung apapun keputusan kamu." "Dokter akan cerita lagi tentang pasien CIPA itu, kan?" Memejamkan mata, Mahiro mengangguk sambil tersenyum kecil. Dia tahu pasien remaja dalam pelukannya ini sangat ingin bertahan hidup meski selalu mengeluhkan ingin mati, sementara di luar sana, ada seorang penderita CIPA yang begitu cerianya mengatakan ingin terus hidup tapi sebenarnya mengharapkan kematian. ♫♫♫ "Gita Karmila!" Seorang gadis tengah duduk dengan bertopang dagu di tepi jendela tepat di sebelah kirinya. Rambut lurus hitam sedada itu dia biarkan tergerai, sesekali bergerak ketika tertiup angin. Iris cokelat terangnya kini memandang ke arah datangnya suara. Berdiri di depan sana adalah siswi seragam putih-abu dengan napas terengah-engah. "Gita Karmila! Apakah ada yang namanya Gita Karmila di sini?" tanya siswa yang menyita perhatian penghuni kelas X IPA 1. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak pukul sepuluh dikarenakan masih hari pertama sekolah pada tahun ajaran baru, dan guru-guru sedang melakukan kunjungan pasca lebaran di rumah kepala sekolah. Khusus X IPA 1 masih belum diizinkan pulang sebab wali kelas mereka ingin membahas tentang perangkat kelas. Kata ibu berjilbab kuning tadi, rapat kelas ini hanya sebentar, tapi sudah dua puluh menit berlalu, kelas itu masih juga menunggu si ibu datang. Beberapa siswa yang tidak sabaran tentu saja sudah memilih pulang lebih dulu sejak tadi. Gadis di dekat jendela berdiri setelah menyisipkan sedikit rambutnya ke sela telinga, dan merapikan kep bentuk bintang di sisi kiri rambut. Dia mengacungkan tangan. "Aku! Aku Mila. Gita Karmila. Kenapa?" Siswi di depan pintu langsung mendatangi meja Mila, menarik gadis itu ke luar kelas. "Arata berantem sama Noval di kebun mini area gedung IPS. Tadi aku ketemu sama Rina, teman sekelasmu dan Arata, dia menyuruhku memanggilmu, sementara dia akan mencari pak satpam." Mila menepis tangan si siswa. "Sudah dilaporkan ke guru?" "Semua guru sudah pulang. Rina mencari satpam, tapi kayaknya pak satpam juga sibuk mengatur siswa yang bawa kendaraan di parkiran." Mila segera berlari keluar koridor jejeran kelas X IPA, menapaki lapangan utama sekolah, meninggalkan si siswi. Embusan angin menerbangkan lembut rambut sedadanya, sesekali dia menatap ke lantai dua dan tiga gedung IPS yang bersisian dengan gedung IPA.Jejeran pohon akasia di pinggiran lapangan sesekali menggugurkan daunnya kala angin musim gugur datang. Pelita High School (PHS) adalah salah satu sekolah swasta di kota Binjai yang memiliki posisi strategis. Di bagian depannya adalah rumah sakit pemerintah, di sebelah kanan adalah tempat percetakan terbesar, dan jika berjalan beberapa meter ke kiri akan di dapati Tanah Lapang Merdeka Binjai. Di kanan-kiri rumah sakit berjejer beberapa restoran dan apotek. Di sekitar tanah lapang berdiri kantor walikota, kantor kebudayaan, dan perpustakaan umum. Di lurusan Tanah Lapang terdapat banyak kafe, rumah makan, pertokoan dan yang lebih jauh sedikit adalah pasar. PHS merupakan bangunan dengan tiga gedung yang masing-masing memiliki tiga lantai. Semua gedung itu membentuk huruf U terbalik jika dilihat dari area gerbang masuk sekolah. Gedung yang berhadapan dengan pintu masuk utama adalah gedung IPA yang merupakan gedung terpanjang, sementara yang saling berhadapan adalah gedung IPS (sebelah kanan jika dilihat dari gerbang) dan gedung Bahasa. Lantai dasar dihuni oleh siswa kelas X, lantai dua oleh kelas XI dan lantai tiga dihuni oleh kelas XII. Laboratorium IPA yakni kimia, Fisika dan Biologi ada di lantai satu gedung IPA. Perpustakaan, ruang kesenian/musik dan aula ada di lantai satu gedung Bahasa—diletakkan di area sana karena jumlah kelas bahasa paling sedikit di antara jurusan lain. Untuk kantor guru terdapat di setiap ujung lorong lantai, kantin juga ada di setiap lantai. Toilet ada di dalam kantin. Kantor kepala sekolah berada di sisi kanan setelah memasuki gerbang, dekat kantor tata usaha dan mushollah. Sementara sisi kiri setelah gerbang adalah lahan parkir. Halaman sekolah sangat luas, yang terdiri atas lapangan sepak bola, basket, voli dan tenis lapangan. Di dekat lapangan basket ada area panjat tebing, dengan bagian kanannya adalah air mancur mini dan taman-taman kecil. Area tersebut yang paling dekat dengan gerbang. Halaman sekolah juga ditanami beberapa pohon yang membuat asri wilayah itu seperti pohon akasia, mangga dan kersen. Mila terus menuju gedung IPS, menelusuri rerumputan bagian belakang jejeran kelas jurusan IPS, melewati pepohonan kersen di kirinya, sampai tiba di dekat tong sampah besar di antara dua pohon kersen tepat di depan tembok tinggi yang menjadi pembatas sekolah dengan jalan kecil area rumah warga. Iris cokelat terangnya membulat ketika melihat dua sosok tengah baku hantam beberapa meter di depannya, tepat di area perkebunan tempat anak IPS biasa praktek berkebun, di dekat bebatuan yang terususun rapi membentuk tulisan IPS is the best. Anak lelaki kulit kecokelatan melayangkan tinju ke wajah anak lelaki berkacamata. Seketika kacamata si anak terjatuh. Si kacamata bernama Arata Fahmi Daisuke, abang tiri Mila. Lawannya bernama Noval Adyaksa. "Berhenti!" teriak Mila, langsung mengambil posisi di antara Noval dan Arata. Noval yang sudah kembali menarik tangan hampir saja meninju wajah Mila. Dia kemudian mendengkus ketika gadis dengan tinggi sebatas bahunya itu merentangkan tangan seperti melindungi Arata yang terduduk meringis di belakang sana. "Minggir! Aku nggak ada urusan sama kamu," kata Noval, dengan berkacak pinggang dan memasang wajah sangar. Mila tersenyum kecil. "Berurusan dengan Arata berarti berurusan denganku juga." Noval meludah sembarangan ke rerumputan, dia lantas menarik dasi Mila. "Ada beberapa hal yang anak cewek nggak perlu tahu masalah cowok, sekalipun kamu adik kembarnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD