Suara burung-burung yang berkicau merdu di pagi itu saat enak didengar. Sejuk menyapa hari yang telah para Watchwizard nantikan. Pemandangan pagi di kastil membuat semua yang melihatnya terpana. Suara gemericik air yang mengalir juga tak luput dari indera pendengaran. Bunga-bunga cantik berwarna-warni bermekaran mengiringi jalan setapak menuju pintu utama Kastil Dynami. Semerbak harumnya pun membuat orang yang menghirupnya lupa diri.
Watchwizard telah berkumpul lengkap di halaman kastil. Ditambah Rallev yang juga akan membantu pelatihan mereka. Senyum semangat mengiringi pagi yang cerah. Hari ini mereka telah mempersiapkan diri dengan matang untuk mengikuti pelatihan yang akan diberikan oleh Peter dan Morry. Mereka penasaran, seperti apa pelatihan yang akan mereka hadapi?
Tak lama kemudian orang yang mereka tunggu-tunggu akhirnya tiba. Peter dan Morry tersenyum senang melihat semangat Watchwizard yang menggebu. Hal itu membuat mereka berdua jadi ikut semangat. Bagaimanapun caranya, anak-anak itu harus bisa mengalahkan Warlock, sang penguasa kegelapan.
“Selamat pagi anak-anak!” sapa Peter dengan senyum lebarnya.
Semuanya balas tersenyum dan berseru secara serempak, “Pagi!”
Melihat itu Morry secara tak sadar menggumamkan kata ‘wow’, terkesima melihat semangat muda anak-anak itu. “Aku suka semangat kalian!” puji Morry merasa bangga.
Peter memperhatikan keempatnya dengan senyum yang belum luntur, mencoba mencari keraguan dari sorot mata mereka. Tetapi untungnya dia tidak mendapati ‘keraguan’ yang dicarinya. Sebab semua sorot mata memancarkan semangat yang besar.
“Kalian sudah siap?” tanya Peter, hanya memastikan.
Tanpa ragu mereka mengangguk yakin, membuat senyum Peter dan Morry semakin mengembang layaknya kue. Kemudian mereka berdua saling melempar pandang dengan senyum penuh arti. Ada sesuatu yang mereka rencakan. Dan pasti, itu adalah hal yang baik untuk para Watchwizard.
“Oke, sebelumnya aku ingin memberitahu sesuatu kepada kalian. Khususnya untuk Watchwizard,” beritahu Peter dengan raut wajah yang berubah serius.
Sontak kelima remaja itu ikut memasang eskpresi serius, kemudian menyiapkan indera pendengaran mereka, bersiap mendengarkan apapun yang akan dijelaskan Peter dengan seksama.
“Di salah satu gulungan yang ditinggalkan Lord Hugeman, dia mengatakan kalau kalian para Watchwizard, tidak perlu menguasai sihir yang menggunakan mantra. Karena tanpa sihir tersebut pun, kekuatan kalian sudah luar biasa hebat.” Peter memberi tahu. Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, tapi tetap membuat mereka menahan napas selama beberapa detik.
Kalimat ‘luar biasa’ masih memberatkan mereka. Entah kenapa mereka merasa masih belum mampu untuk menggapai makna kalimat tersebut.
“Walaupun kalian tidak harus mempelajari ilmu sihir yang menggunakan mantra, kalian wajib bisa melakukan sihir dasar yang menggunakan mantra. Itu akan membantu kalian nanti,” Morry yang melanjutkan.
Sedangkan Watchwizard terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi di samping itu mereka tetap memasang telinga dengan baik agar tidak melewatkan satu kata pun dari ucapan Peter dan Morry.
“Jadi intinya, kalian hari ini akan mempelajari tiga mantra dasar,” lanjut Morry memberi kesimpulan.
Sebagian dari keempat Watchwizard mengangguk, merasa puas karena akhirnya tahu maksud dari pembicaraan kali ini. Dan entah apa alasannya, mereka menjadi lebih bersemangat. Rasanya sangat tidak sabar untuk belajar menggunakan sihir.
“Tiga mantra yang wajib kalian kuasai adalah menggerakkan benda, berteleportasi, dan mentransparankan diri.” Peter memberi penjelasan lagi seraya menatap anak didiknya dengan wajah super serius, seolah sedang mengingatkan bahwa ini adalah hal yang tidak mudah.
Setelah mendapat anggukkan paham dari keempat remaja tersebut, Peter menarik napas panjang selama beberapa saat. “Baik, mari kita mulai dengan mantra menggerakkan benda.”
Setelah itu Rallev membagikan boneka kepada para Watchwizard, menyuruh mereka untuk meletakkan boneka itu tepat di hadapan mereka. Menaruhnya di tanah dalam jarak dua meter dari posisi mereka berdiri.
“Mantranya adalah Kinisiva,” ujar Morry.
“Ini membutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Ucapkan mantranya dan fokuslah. Gunakan jari-jari kalian untuk menggerakannya!” Peter memberi instruksi. Diperhatikannya satu per satu dari mereka.
Sebagai contoh Rallev melakukannya lebih dulu, sekadar memberi gambaran agar para Watchwizard bisa mempraktekkannya secara langsung. Setelah itu satu per satu dari mereka mulai mencobanya. Melatih konsentrasi mereka dengan sungguh-sungguh.
Namun di posisinya Holly tampak gugup, menyadari bahwa dirinya bukanlah manusia dengan otak pintar membuat Holly menjadi pesimis. Dia tahu betul kalau dia tidak jenius, dia juga tidak berbakat. Jadi Holly hanya takut mengecewakan yang lain.
Holly menggumamkan mantra sambil berusaha fokus. Namun apa yang ia perkiraan ternyata benar, dia gagal. Boneka kelinci itu sama sekali tidak bergerak saat ia menggerakkan jarinya. Sangat berlainan dengan Rega dan Lavender, dua remaja itu langsung mahir mengendalikan dan menggerakan boneka dihadapannya. Sedangkan Tom, pemuda itu juga berhasil walaupun mengalami sedikit kesulitan ketika menggerakan bonekanya.
Holly menghela napas lelah, ia hanya merasa bahwa takdir ini sebenarnya tidak cocok untuknya. Hingga tepukan pelan di bahunya membuat Holly tersentak kaget. Ketika dia menolehkan kepalanya, manik aquamarine itu langsung menemukan sosok Rallev yang tersenyum lembut padanya.
“Tidak apa-apa, kau hanya gugup,” ucapnya singkat. Seolah tahu apa yang membuat Holly merasa gelisah.
“Coba lakukan sekali lagi, kau kurang percaya diri!” ujar Morry yang entah kapan sudah berada di belakangnya. Memberi aba-aba sebagaimana seorang mentor.
Holly mengangguk pelan seraya tersenyum tipis. Ia memejamkan matanya dan berkonsentrasi, memfokuskan pikirannya pada mantra dan benda yang akan digerakannya.
“Kau pasti bisa!” bisik Rallev yang tentunya membuat Holly tersenyum dan kembali bersemangat.
“Kinisiva!”
Secara perlahan Holly membuka mata sambil mengarahkan telunjuknya ke arah boneka kelinci yang berada dua meter di depannya. Dengan sangat amat perlahan boneka itu ikut bergerak seiring gerakan jari Holly.
Melihat itu Holly langsung berseru antusias, “Aku bisa! Aku bisa!” teriaknya senang.
Sebagai pelatih, Peter dan Morry tentu merasa sangat senang. Tidak menyangka para Watchwizard bisa berkembang sangat cepat seperti ini. Sebenarnya ini sungguh di luar dugaan. Karena waktu normal bagi seseorang agar bisa menguasai sihir dasar adalah sekitar tiga hari. Tapi para Watchwizard ini malah sudah menguasainya di hari pertama. Ini benar-benar mengejutkan.
“Silahkan bersenang-senang dengan benda yang ingin kalian gerakkan!” seru Peter, sengaja memberi waktu agar mereka lebih menguasainya lagi.
Ucapan Peter langsung mengundang senyum gembira dari lima remaja itu. Rasa semangat langsung menyerbu ke dalam jiwa mereka. Merasa antusias karena ternyata belajar ilmu sihir adalah sesuatu yang menyenangkan.
Dengan gembira mereka berlatih dengan mantra tersebut. Mencoba menggerakan benda lain selain boneka. Menggerakan benda-benda yang menarik perhatian mereka seperti ember kosong, alat penyiram tanaman, bahkan sampai bebatuan. Semuanya mereka coba.
“Sungguh di luar dugaan ya. Mereka berkembang sangat pesat,” celoteh Morry tanpa mengalihkan pandangannya dari lima remaja di halaman kastil.
Peter sontak mengangguk dramatis, “Oh, tentu saja! Orang pilihan Lord Hugeman tidak pernah bisa diragukan!” ucapnya yang entah kenapa terdengar seolah sedang membanggakan diri sendiri.
Morry lantas meliriknya sinis, merasa jijik pada keangkuhan Peter yang sejujurnya tidak diperlukan itu. Tetapi kemudian dia memilih mengabaikannya dan beralih memperhatikan pemuda berambut biru yang berada di antara Watchwizard.
“Dalam situasi seperti ini, Rallev benar-benar membantu,” gumam Morry tanpa sadar.
Dan karena hal itu Peter jadi semakin semangat memuji dirinya sendiri. Morry sungguh menyesal telah mengatakannya.
“Tentu saja! Aku gurunya! Dia menjadi hebat setelah mendapat bimbingan dariku!”
Seketika Morry mencibir, “Err… terserah. Tapi kau harus tahu satu hal,” katanya.
“Apa?”
Disaat itulah Morry menunjukkan seringai kejamnya, “Dia lebih hebat darimu.”
Detik itu juga Peter merasa menjadi butiran debu yang terhempas oleh hembusan angin. Meskipun sudah tahu pada tabiat Morry yang hobi berkata pedas, tapi tetap saja hal ini membuatnya merasa benar-benar terhina. Iya, Peter harus mengakui bahwa dirinya merasa terhina karena semua yang diucapkan Morry benar. Dirinya memang tidak sehebat itu dulu.
Dengan tatapan super sinis yang pernah ada, Peter menatap Morry jengkel. Kalau dia punya mata laser, Peter pasti sudah melenyapkan wanita tua licik ini sekarang juga.
“Silahkan hina aku sampai kau puas!” ujar Peter ketus yang langsung mengundang gelak tawa dari Morry.
Wanita berambut kuning tersebut tertawa terbahak-bahak seolah dirinya baru saja mendengar sebuah lelucon paling lucu sedunia. Benar-benar sebuah tawa puas yang membuat telinga Peter sakit mendengarnya.
Alhasil karena muak mendengar tawa puas Morry yang terdengar seperti penghinaa untuknya, Peter beranjak pergi meninggalkan wanita itu. Memilih untuk menghampiri anak-anak didiknya yang masih sibuk berlatih mantra sihir yang sama.
“Oke, itu sudah cukup. Ayo kita lanjutkan ke mantra sihir yang berikutnya.” Peter berseru cukup kencang, cukup untuk menghentikan aktivitas mereka dan fokus memperhatikan pria setengah baya tersebut.
“Apa kalian siap mempelajari mantra selanjutnya?” tanya Peter setelah berada tepat di hadapan mereka.
“Selalu siap!” seru mereka dengan kompak.
Untuk kekompakkan ini, mereka membuat Peter sangat terkesan. Ikatan yang dihubungkan takdir rupanya telah benar-benar mempersatukan mereka. Dan mendapat kesempatan untuk menjadi pembimbing mereka membuat Peter merasa beruntung.
“Selanjutnya kita akan mempelajari mantra teleportasi. Ini mantra yang lebih sulit dari sekedar menggerakkan benda,” beritahu Peter.
“Benar, mantra ini tidak bisa dianggap remeh karena perlu waktu cukup lama agar bisa menguasainya.” Entah kapan datangnya, tapi secara mengejutkan Morry sudah berdiri tepat di samping Peter, memberikan penjelasan tambahan.
Fakta bahwa mantra sihir yang akan mereka pelajari kali ini ternyata sulit, membuat Holly secara tanpa sadar menghela napas panjang. Lagi-lagi dia merasa pesimis. Tentu ini adalah hal yang lebih sulit bagi gadis cengeng dan manja sepertinya. Holly tidak akan mengelak pernyataan tersebut.
“Mantra ini membutuhkan konsentrasi yang lebih besar. Karena bukan suatu hal yang mudah dalam berpindah tempat, apalagi jika jaraknya sangat jauh. Mungkin dari ketiga mantra dasar yang sudah kusebutkan, mantra inilah yang paling sulit,” lanjut Peter masih menjelaskan.
Watchwizard tidak menanggapi apapun kali ini. Keantusiasan mereka menurun drastis setelah mendengar kata ‘sulit’. Mungkin mereka terlalu tegang sampai tidak tahu harus apa dalam menanggapi penjelasan Peter. Namun di samping itu, mereka mengerti kok apa yang pria setengah baya itu jelaskan.
“Nanti kita coba satu orang-satu orang secara bergantian. Mantranya adalah ‘Antallagido’. Bayangkan tempat yang ingin kalian kunjungi atau datangi. Fokuskan pikiran pada tempat tersebut.” Morry memberi arahan.
“Sebagai contoh, Rallev tolong praktikkan!” perintah Peter yang langsung diangguki pemuda berambut biru itu.
Rallev memejamkan matanya, berusaha membayangkan satu tempat yang akan dia kunjungi. Setelah itu dia mengunci pikirannya pada tempat tersebut, lalu merapalkan mantra seperti yang sudah dijelaskan oleh Morry.
“Antallagido.”
Usai merapal mantra, tubuh Rallev menghilang secara ajaib. Sungguh menghilang. Kemudian muncul lagi di teras depan kastil. Pemuda itu melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.
Morry meliriknya sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada keempat Watchwizard, “Seperti itulah caranya. Apa kalian paham?”
Mereka berempat saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Ketegangan terpancar jelas di wajah mereka. Merasa sedikit ragu untuk mencoba.
Dan seolah tahu kegelisahan anak didiknya, Peter tersenyum meyakinkan. “Jangan khawatir. Aku tidak akan memarahi kalian meskipun kalian gagal,” katanya mencoba menyemangati.
“Oke, baiklah. Jadi apa aku boleh mencobanya?” tanya Rega setelah meyakinkan diri sendiri bahwa dia harus bisa melakukannya. Dia memaksakan dirinya untuk mengambil sikap yang berani. Ini tidak berarti dia sombong karena pintar.
Peter langsung mengangguk mengijinkan, “Tentu! Cobalah untuk berteleportasi ke atas jembatan itu!” tunjuk Peter pada jembatan melingkar yang berjarak sekitar 15 meter dari tempat mereka berpijak.
Rega mengangguk paham. Selanjutnya dia menutup mata seraya memfokuskan pikirannya pada jembatan yang ditunjuk Peter barusan. Cukup lama ia berkonsentrasi, hingga akhirnya Rega membuka mata sambil mengucapkan mantra tersebut. Tubuhnya serasa melayang, rasanya seperti berada dalam ruang kosong yang tidak mempunyai gaya gravitasi.
Seperti yang terjadi pada Rallev, tubuh Rega menghilang secara mengejutkan. Dan tak berselang lama, dia muncul kembali di atas jembatan melingkar yang sebelumnya ditunjuk oleh Peter.
“Kau berhasil, Rega! Bagus sekali!” puji Peter setengah berteriak agar Rega bisa mendengarnya. Diiringi oleh suara tepuk tangan dari Morry dan teman-temannya yang lain.
Rega hanya tersenyum untuk menanggapi pujian tersebut, setelahnya ia malah meluruh dan terduduk di atas jembatan. Menemukan fakta bahwa tubuhnya menjadi lemas setelah melakukan mantra tersebut. “Wah, menegangkan sekali,” gumamnya sambil terus menarik napas lega.
“Lave, sekarang giliranmu!” pinta Morry sembari mengulas senyum lebar.
Lavender mengangguk pelan, tanpa banyak bicara dia melakukan hal yang sama seperti Rega. Menutup mata dan berkonsentrasi. Dan hasilnya pun tak jauh berbeda dengan Rega. Gadis itu berhasil teleportasi ke atas jembatan, hanya saja dia sedikit tidak punya keseimbangan saat berhasil sampai. Tubuhnya limbung nyaris terjatuh jika saja tidak segera ditangkap oleh Rega yang berada di belakangnya.
“Ugh... kepalaku tiba-tiba pusing sekali!” rintihnya sembari memegangi kepalanya yang terasa berdenyut serta berputar-putar.
Melihat hal itu, Rega segera mendudukkannya, membiarkan Lavender bersandar pada pagar pembatas jembatan. “Kau terluka?” tanya Rega.
Masih sambil memegangi kepalanya yang semakin terasa linu, Lavender memaksakan diri untuk tersenyum. “Aku tidak apa-apa! Hanya sedikit pusing,” jawab Lavender lirih.
“Dia terlalu banyak mengeluarkan kekuatannya saat mengucapkan mantra. Energinya langsung terkuras habis, sebab itu dia jadi pusing,” jelas Peter seraya berjalan menghampiri mereka berdua. Diikuti oleh Tom dan Holly dari belakang, keduanya menatap Lavender dengan penuh kekhawatiran.
“Apa dia akan baik-baik saja?” Holly bertanya dengan sedikit panik. Sebab Lavender terus menutup matanya cukup lama dengan kedua alis yang saling bertaut, terlihat sangat kesakitan.
Tom yang sedari tadi memperhatikan wajah Lavender ikut meringis, “Dia seperti menahan sakit yang luar biasa!”
Peter mengerutkan keningnya, merasa ada yang janggal. Seharusnya Lavender hanya merasa pusing dan lemas. Tapi dari raut wajah yang ditunjukannya, dia seperti menahan sesuatu yang teramat sakit.
Melihat ekspresi kesakitan Lavender membuat Rega yang biasanya kalem jadi ikutan panik, “Lave! Kau baik-baik saja? Katakan padaku apa yang sakit?” tanyanya sembari mengguncang pelan tubuh Lavender.
Lavender tidak merespon sama sekali. Matanya justru semakin tertutup rapat dengan alis yang bertaut semakin dalam. Membuat ketiga temannya jadi semakin panik, mereka terus memanggil Lavender sambil menggoyangkan tubuhnya.
Tanpa disadari oleh siapapun, air di sungai mulai berkumpul membentuk segumpalan air. Gumpalan air itu bergerak menyelimuti tubuh Lavender. Mengurungnya dalam sebuah bola air yang lambat laun mulai menjadi semakin besar.
“Kakuatan element airnya! Bahaya!” teriak Peter, sebisa mungkin dia menjauhkan ketiga Watchwizard lainnya agar tidak ikut terkurung dalam bola air tersebut.
Mendengar teriakan Peter yang cukup keras, Morry yang tadinya sedang berbincang dengan Rallev langsung menoleh cepat. Dia sangat terkejut ketika mendapati tubuh Lavender yang terkurung di dalam bola air. Maka tanpa pikir panjang Morry segera berlari menghampiri keributan itu.
“Morry! Kendalikan air itu! Cepat!” seru Peter. Dalam dekapannya sudah ada Holly yang menangis kencang.
Morry buru-buru memfokuskan pikiran dan pandangannya pada gumpalan air itu. Dia mengucapkan mantra yang panjang sembari menjulurkan kedua lengannya ke arah gumpalan air tersebut. Sedangkan di dalamnya Lavender benar-benar sudah kehabisan napas. Tubuhnya menjadi sangat pucat, tidak ada gelembung yang keluar dari hidungnya.
Namun akhirnya dengan kekuatan sihir Morry, bola air itu secara perlahan mengikuti gerakan tangannya. Yang berarti air itu sudah sepenuhnya berada dalam kendali Morry. Alhasil dengan satu tarikan napas, Morry menghempaskan tangannya kebawah, sehingga bola air itu luruh dan tumpah. Untungnya dengan sigap Rega berlari ke arah Lavender dan menangkap tubuh gadis tersebut.
Morry dan yang lainnya langsung berlarian menghampiri Rega dan Lavender yang terkulai lemas di pelukan pemuda itu. Wajah Lavender masih pucat seperti sebelumnya, matanya tertutup rapat seakan enggan untuk terbuka. Rasa cemas dan khawatir masih menggelayuti hati mereka yang saat ini menatap Lavender penuh ketakutan. Takut kalau gadis itu tidak akan membuka matanya lagi.
“Tubuhnya sangat dingin, bagaimana ini?” ucap Rega membuat semuanya semakin diliputi rasa cemas.
Morry berjongkok untuk memeriksa keadaannya. Tangannya sedikit bergetar saat akan menyentuh tubuh Lavender. Jantungnya bahkan berdetak kelewat cepat, keringat panas-dingin bercucuran memenuhi dahinya. Holly yang berada di samping Morry turut merasakan hal yang sama. Bergetar ketakutan.
Tubuh Morry membeku, jantungnya searasa jatuh ke perutnya saat ia telah selesai memeriksa detak jantung dan denyut nadi Lavender.
“Jantungnya tidak berdetak!”
=»«=