Chapter 02

1444 Words
DUA “Mengubah penampilan tidak akan mengubah kepribadiannya.” . . —Madness of brothers— . Beberapa bulan lalu.. “Gian! Hei! Gian! Wake up!” seseorang mengguncang tubuhnya, mencoba membangunkan Gian yang mengigau seperti orang ketakutan dalam tidurnya. Keringat di dahi Gian begitu banyak, tubuhnya juga menggigil parah. seketika Gian terjaga dengan teriakan nyaring. Suaranya menggema ke sepenjuru kamar. Dadanya naik-turun, napasnya memburu. Ia sejak awal tahu ini mimpi, tapi entah kenapa begitu terasa nyata? Tidak, kenapa pikirannya sampai kalut? Untuk beberapa saat, ia berusaha untuk bernapas dengan benar dan meyakinkan diri bahwa kejadian mengerikan tadi ... hanya hiasan mimpi. “Hei! Tenang, oke?” Gian menoleh. Matanya langsung bertemu dengan manik mata kakaknya yang terlihat khawatir. “Kamu hanya mimpi...” Bastian memeluk adiknya yang gemetar. Gian mempererat pelukan kakaknya Berusaha mencari ketenangan. Sedangkan Bastian mengusap punggung adiknya pelan. “Ini minum dulu,” saran kakaknya yang lain. Gianina mengambil segelas air yang di sodorkan Gionino. Gian mencengkeram gelasnya, berusaha untuk tenang. Mimpinya tadi singkat, kalau saja Gian tidak ingat semalam dia tidur sekitar pukul sepuluh malam dan begitu bangun ternyata sudah pukul lima pagi. Gian terentak, baru sadar setiap kali bermimpi yang sama, secara otomatis ia akan bangun setiap jam lima pagi. Bermimpi itu sakit. Tidak peduli mimpi indah atau buruk, tidak ada bedanya. Bagi Gian, sesuatu yang berupa harapan tidak akan pernah jauh dari kata luka. “Sebaiknya kamu istirahat Gian, biar kakak suruh Aldrian buat nemenin kamu di rumah,” kata Bastian sambil menatap adiknya cemas. Cewek itu mendorong kakaknya, melepas pelukan darinya. “tapi kak...” rengeknya memelas, “gimana sama sekolahnya? ini, kan, hari pertama Gian sekolah lagi. Lagipula sudah dua hari ditunda, harusnya dari hari selasa Gian masuk sekolah.” mencoba menjelaskan. “Bastian itu benar, Gian. hari ini, kamu di rumah. Sekolah bisa di tunda sampai besok.” Gionino mendukung saran Bastian. “Ih ... Kakak! masa Gian nggak sekolah? Nanti kalo Gian jadi b**o gara-gara Kakak gimana?” Gian merengut kesal. Aldrian masuk dengan tatapan biasa, begitu datar. semua mata menoleh padanya. kecuali Gianina yang menunduk dengan tubuh yang masih sedikit gemetaran. “Bermimpi lagi?” tanyanya lembut sambil berjalan mendekat, mencari obat di laci yang selalu adiknya minum. Gionino dan Bastian tersadar, mereka lupa tentang obat adiknya. Aldrian memberi beberapa butir obat kepada Gianina. Cewek itu menelan obat satu per satu. Perlahan ia mulai tenang. Gemetar tubuhnya hilang, ketakutan dan ke cemasannya tidak lagi mendominasi seperti tadi. Aldrian melirik kedua kakaknya, lalu meludah satu kata dengan dingin, “Bodoh,” Bagaimana bisa mereka lupa dengan hal terpenting jika hal ini terjadi? Aldrian mengusap kepala adik bungsunya lembut. “Istirahat.” Gian melihat kakaknya lalu mengangguk lesu. “Iya...” balasnya tidak semangat, mengingat ia harus berada di rumah seharian. Aldrian berjalan meninggalkan adiknya agar bisa beristirahat, di susul Bastian dan Gionino. Mereka keluar dari kamar, tapi sebelum itu mereka berhenti dengan Bastian yang memperingatkan tegas, “Kamu tetep di rumah, Gianina.” Hal yang paling menyebalkan adalah dirinya tidak bisa ngebantah apapun perintah kakaknya. * Bastian Anjar Putra. Gionino Zemie. Aldrian Farel. Tiga nama itu adalah nama cowok yang Gian sayangi. Sosok yang menjadi segalanya untuknya. Baginya, tidak ada kebahagiaan selain bersama mereka. Gianina Alea Zhafir tidak pernah merasa tidak aman semenjak kehadiran ketiga kakaknya yang selalu melindungi, menyayangi dan mencintai dirinya. Ia baru tahu jika memiliki tiga kakak laki-laki, itu pun karena mereka yang menceritakannya. Dan tanpa sepengetahuan Gianina, ketiga kakaknya menyembunyikan kenyataan tentang bagaimana gadis itu punya orang tua angkat. mereka hanya mengatakan penyebab traumanya adalah akibat kecelakaan kedua orang tua kandungnya dulu dan juga penculikan yang terjadi. Hanya itu, ketiganya kompak tidak mau menjelaskan apa pun secara lebih detail. Kakak tertuanya, Bastian selalu menolak menceritakan soal traumanya secara datail walaupun Gian tetap keras ingin tahu lebih jauh. Bahkan saking keras kepalanya, Gian pernah dibentak sampai akhirnya ia tidak berani lagi bertanya. Gionino adalah saudara kembar tidak identik dengan Aldrian. Sebelumnya ia tidak mengerti kenapa nama Gian lah yang mirip dengan Gionino? Sampai akhirnya ia tahu dari Bastian, jika dulu mama ingin anak perempuan yang kembar. Gianina tidak ingat pernah memiliki kedua orang tua angkat. Ibu yang merawat dan menyayanginya memperlakukan Gian layaknya anak kandung sendiri. Meskipun mengetahui beliau bukan Ibu kandungnya, Gian tetap sangat menyayangi wanita itu hingga napas terakhir. Saat Gianina berumur enam tahun, kedua orang tuanya kecelakaan. Nahasnya, Gian sendiri menjadi korban penculikan. Beruntung ia bisa kabur dan ditemukan oleh seorang wanita yang pada akhirnya mengangkat Gianina menjadi anak angkatnya. itulah yang terjadi. Kejadian-kejadian buruk selalu menimpa Gian seakan sudah mendarah daging. Kejadian terfatal adalah ketika saat Gian masih berumur 8 tahun. Ia melihat Ibu yang merawatnya mati dengan pisau di dadanya. Ayah angkatnya melarikan diri keluar negeri dengan membawa serta Gian bersamanya. Gian selalu menjadi korban kekerasan ayah angkatnya, hingga saat SMP Gian ditemukan keluarga kandungnya. Meskipun terlambat ... karena keadaan Gian yang saat itu sudah sangat menghawatirkan. Bukan hanya trauma berat yang dialami Gianina, tetapi juga karena kondisi fisiknya yang saat itu dalam kondisi sangat parah. Gian sempat koma selama enam bulan akibat kekerasan yang dialaminya. Gianina menjalani perawatan selama dua tahun. Satu tahun di Singapura dan satu tahun di Inggris. Saat menjalani perawatan, lambat laun ingatan tentang kejadian buruk yang dialaminya hilang. Entah alasannya apa? Mungkin karena trauma yang dialami Gianina saat itu terlalu dalam, sedikit demi sedikit Gian memori itu terhapus dari kepalanya. Walau sekarang daim-diam tanpa sepengetahuan ketiga kakaknya, Gianina mulai mencoba mengumpulkan kembali kepingan memori itu walau kepalanya sakit setiap kali ia mencoba mengingat. Semua yang terjadi saat itu memang masa lalu yang seharusnya dilupakan. Masa lalu yang memang tidak layak untuk dikenang. Walau pun sekarang Gian menyadarinya, bahwa kemungkinan besar ... masa lalu itu bisa menjadi jawaban untuk sesuatu yang sekarang terulang. * Saat ini Gianina sedang bersiap-siap. Gadis itu melihat pantulan dirinya di cermin, hanya memakai kaos putih polos lengan pendek dan celana jins selutut. Rambutnya ia kuncir satu, tidak lupa tas selempang hitamnya. “Perfect!” Gumamnya puas melihat hasil dandanannya. Gian menuruni anak tangga sambil berlari kecil. Ia berteriak memanggil Aldrian. Kepalanya Celingukan mencari keberadaan kakaknya yang satu itu. “Kakak!! Kak Al!” “Di mana, sih? Kok di kamarnya gak ada?!” Gerutunya kesal. Gian tiba-tiba teringat, ada satu ruangan di bagian belakang rumah yang terpisah. Untuk sampai ke ruangan itu, Gian harus melewati taman. Ruangan itu terbuat dari kaca transparan yang di penuhi buku. Ruangan yang memang sengaja dibangun khusus untuk membuat perpustakaan yang nyaman. Tidak hanya nyaman, kita juga bisa melihat pemandangan taman di sekelilingnya. Gian tersenyum lebar saat melihat sosok yang ia cari sedang membaca buku dengan kaca mata bertengger manis di hidung mancungnya. Aldrian sedang berdiri menghadap ke arah taman di luar, posisinya yang membelakangi Gian mempermudah gadis itu untuk mengejutkan kakak tersayangnya itu. “Kakak!” Teriak Gian tepat di telinga Aldrian. Cewek itu nyengir lebar. “Berisik!” Aldrian mengusap telinganya yang sedikit berdengung. Gian terkekeh.“Hehe ... temenin Gian, ayo!” Gian memaksa. cewek itu menarik-narik lengan baju kakaknya dengan nakal. Aldrian menatap adiknya, alisnya terangkat. Gian berkata cepat, “cuma jalan-jalan kok. ya?” Aldrian hanya menghela napas lalu menutup buku yang dipegangnya. “Gak.” Lalu pergi. Singkat dan jelas. Bibir Gian mengerucut lucu, “Kok enggak, sih?” tuntutnya, “Kakak, kan, nggak ada kerjaan...” Aldrian melirik adiknya datar. Tapi bukan Gianina namanya kalau tidak bisa membuat keinginanya terkabul. Gian tidak menyerah, Ia terus membuntuti kakaknya kemana pun. “Kakak ... Gian bosan di rumah terus!” "kakak, ayo pergi!" "kakak, gian janji deh gak macem-macem." "kakak, temenin aku ayo, ih.." Aldrian melangkah ke dapur, mengambil botol air mineral lalu menuangkan kedalam gelas hingga penuh. Ia meminum air itu dengan santai tanpa menghiraukan adiknya. Gian tetap tidak menyerah membujuk si kepala batu. “Kakak ... ayolah! kita cuma ke mall kok, sebentar, oke?" Aldrian tetap mengabaikan adiknya. Kali ini cowok itu berjalan menuju ruang tv. Aldrian menjatuhkan bokongnya di sofa, tidak peduli pada burung beo yang kelewat cerewet di sampingnya. "kakak ..." rengeknya. dia melirik kakaknya yang tidak bergeming. memeras otaknya, mencari cara bagaimana membujuk kakaknya Gian mengembuskan napas berkali-kali. cewek itu melirik kakaknya sebentar. lalu mulai berakting. “Sebenarnya Gian masih selalu teringat kejadian itu...” dia menunduk mencoba terlihat lesu. Seketika tubuh Aldrian tegang. Ia menoleh manatap adiknya. “Setiap kali melihat pantulan Gian di cermin, Gian selalu teringat masa lalu ... Gian takut, Kak..” Aldrian meraih tubuh Gian, memeluk adiknya untuk menenangkan. “Itu sebabnya Gian minta kakak nemenin Gian...“ ucap Gian dengan suara yang di buat lirih. Aldrian melepaskan pelukannya, menatap adiknya lembut. “Kita berangkat.” Yes! Bersandiwara memang menyenangkan, tapi sayang hanya sesaat, itu menyakitkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD