3.

1653 Words
••• Elmira menunggu di depan pintu cukup lama hingga Bulan membukanya setelah benar-benar mengenakan baju, gadis kecil itu memeluk dua box makanan yang kini diletakan pada ranjang miliknya. "Kak Bulan, makan yuk!" ajak Elmira begitu bersemangat. "Makan apaan?" Bulan juga duduk di ranjangnya seraya membolak-balik ponsel yang mati itu. "Aku nggak tahu, belum aku buka. Ini satunya buat Kakak, tadi udah diambilin sama Kak Naga." Bulan menoleh, "Naga itu yang mana sih?" "Jadi kalian belum ketemu? Aku kira tadi udah, soalnya Kak Naga ada di depan pintu kamar Elmira." Bulan menerawang, seingatnya memang tadi ada yang membuka pintu kamar Elmira, hanya saja ia tak terlalu memperhatikan dan sibuk dengan rasa malunya. "Ah bodo amat juga siapa itu Naga, ya udah mana nasinya." Elmira beranjak memberikan satu kotak nasi pada Bulan, "Kok Kak Bulan cantik banget sih, nggak kayak Elmira." Bulan menatap wajah pucat gadis itu sejenak, ada perasaan ngilu mendengar pujian yang diberikan padanya, kenapa juga Bulan harus merasa seperti itu sedangkan ia tak pernah peduli dengan orang lain. "Iyalah cantik, tiap hari gue perawatan ke salon. Paling bentar lagi juga bulukan kalau lama-lama di sini," cibir Bulan sarkastik. Elmira terkekeh, "Ah enggak juga, Kak Bulan masih cantik." Bulan mengedik bahu dan memilih membuka kotak nasi, ia sedikit lega karena lauknya adalah ayam bakar. Bulan pun memakannya dengan lahap, membuat Elmira yang juga mengunyah makanannya memperhatikan gadis asing itu. "Kak Bulan lapar banget ya? Ini kalau kurang—punya Elmira ambil aja nggak apa-apa," ujar gadis itu tampak tulus. "Enggak, udah itu lo makan aja. Harus habis!" "Iya, Kak." Senyum kecil yang muncul di wajah Elmira membuat Bulan sedikit lega, entahlah—apa dia memiliki rasa empati sekarang? Tok-tok-tok! Elmira dan Bulan menatap ke arah pintu yang kini bergerak dengan suara derit pintu terbuka, seseorang pun masuk dan menampilkan manusia bermama Naga. Bulan mengernyit menatap makhluk itu, ia pun beranjak menghampiri Naga seraya menunjuk wajahnya. "Elo bukannya cowok yang waktu itu nggak mau tanggung jawab soal hape gue, 'kan? Nggak salah lagi, elo orangnya." "Kak Naga ada apa ke sini?" tanya Elmira. Naga menatap Bulan sejenak lalu tersenyum tipis pada Elmira, "Ngecek aja kamu jadi makan apa enggak." "Makan dong! Kak Bulan aja makan, masa aku enggak!" sahut Elmira begitu bersemangat seolah Bulan adalah penunjang yang menyenangkan. Bulan berkacak pinggang, "Jadi elo yang namanya Naga itu, jadi elo yang bawa gue ke sini. Jadi, ini panti yang waktu itu?" tanya Bulan bertubi-tubi. Manusia di depan Bulan hanya diam tanpa kata, Naga memang lebih mirip patung selamat datang ketimbang disebut manusia. Naga melengos melewati Bulan begitu saja tanpa menjawab satu pun pertanyaannya, laki-laki itu duduk di dekat Elmira dan mengusap kepalanya. "Habis makan jangan lupa minum obat ya," pesan Naga penuh kelembutan. "Iya, Kak." "Gue nggak nyangka dia benar-benar bisu," cibir Bulan seraya menghampiri ranjangnya, ia pun duduk dan memperhatikan interaksi antara Elmira dan Naga. “Kak Naga udah kenalan sama Kak Bulan?” tanya Elmira tampak polos, dia menoleh pada Bulan yang kini mengernyit. “Nggak penting juga gue kenal orang bisu,” sahut Bulan ketus. “Kak Naga enggak bisu kok, dia cuma—” ”Nggak bisa ngomong!” Bulan terkekeh seolah apa yang dikatakannya begitu lucu, ia tak peduli dengan tatapan tak bersahabat yang Naga layangkan padanya, sungguh Bulan memang tipikal gadis yang tak bisa menjaga perasaan orang lain, dia selalu semaunya sendiri dan masa bodo jika apa yang dikatakannya membuat orang lain terluka. Hidup dalam pusaran keluarga ekonomi taraf atas membuat sifat angkuh seorang Rembulan Widjaja terlihat sejak kecil. “Kak Naga keluar dulu ya, ada yang harus diurus,” izin Naga menatap lembut Elmira. “Oke.” Naga pun beranjak, tapi Bulan juga ikut beranjak mengekor di belakangnya dan segera menarik tangan Naga saat mereka melewati ambang pintu, tapi sialmya Naga mengibas tangan Bulan cukup kasar—meski empunya berhasil meraih lagi tangan Naga dan menariknya hingga mereka berdua terjerembab ke selasar dengan posisi yang tak diinginkan di depan kamar Elmira. Bulan mendelik menatap mata tenang di atasnya, ia menelan saliva menyadari posisi Naga merangkak di atas tubuhnya dengan jarak wajah yang begitu dekat, embusan napas itu pun cukup kentara. Bulan merasakan tubuhnya lemas hingga saat kesadarannya kembali cepat-cepat ia mendorong tubuh Naga dan beranjak. “Cari kesempatan dalam kesempitan lo ya!” tuduh Bulan tak terima, “benerin hape gue!” Naga juga beranjak, “Gue nggak pernah rusakin hape lo.” “Oh ya? Tapi yang tendang bola waktu itu anak panti di sini, ’kan? Jadi, lo juga yang harus tanggung jawab!” “Kita nggak punya urusan,” tandas Naga sebelum melenggang pergi. “Heh! Nggak bisa gitu dong!” Bulan enggan mengalah dan menyamai langkah Naga di sepanjang koridor. “Gue bisa beli hape sepuluh kalau udah balik ke Jakarta, sekarang gue aja yang lagi terjebak di sini.” “Balik ke Jakarta aja, ngapain di sini,” sahut Naga begitu tenang, ia memasukan tangannya pada saku jaket dan menatap ke depan—bukan pada Rembulan. “Kok lo songong banget sih! Gue butuh hape itu buat hubungi teman-teman gue, gue mau cari tempat tinggal yang layak!” Seketika Naga menoleh dengan tatapan tajam menghunus Bulan, ia menarik gadis itu mendekati pilar dan mengungkungnya di sana. “Tadi bilang apa? Nggak layak, hm? Masih layak tempat ini atau lo tidur di pinggir jalan sebenarnya?” Tatapan Naga mengintimidasi, tapi Bulan tak takut sama sekali, ia mendorong Naga hingga tubuh itu mundur beberapa langkah. “Jadi lo minta timbal balik atas pertolongan lo ke gue malam itu? Lagian kenapa sih malah elo yang temuin gue di jalan, bukan orang lain yang berduit gitu.” Masih saja meski keadaan tidak bersahabat dengannya, Bulan tetap angkuh di depan orang lain dan tak pernah bersedia mengalah. “Lo jadi cewek emang kurang ajar ya.” Bulan tersenyum miring, “Biar gue kasih tahu seberapa kurang ajarnya gue sama lo.” Tiba-tiba Bulan mendekat pada Naga, berjinjit dan menarik tengkuk itu agar mereka berciuman. Kinta yang baru keluar dari ruang makan bersama mendelik melihat Naga berciuman dengan gadis lain, ia tak pernah menyangka akan melihat hal gila itu—terutama di kawasan panti asuhan yang notabene ditinggali anak-anak dan tak sepantasnya ada kejadian tak senonoh seperti itu. “NAGA!!!” Seketika Bulan menghentikan pagutannya dan menoleh ke sumber suara, ia menatap Naga yang membeku seperti linglung oleh perbuatan gadis itu. “Naga! Ini tuh kawasan panti, kenapa kamu seenaknya ngelakuin kayak gitu!” tegur Kinta cukup marah setelah menghampiri mereka. “Jadi lo pacarnya Naga? Bilang ya sama dia, jangan suka nantangin gue kalau enggak mau berakhir klepek-klepek bego kayak gitu.” Dengan tidak tahu malunya Bulan kembali berjinjit dan mencium pipi Naga, setelahnya ia melenggang pergi tanpa pernah merasa berdosa. “Ga! Kamu sadar dong!” Kinta sampai mengguncang bahu Naga hingga empunya kembali sadar, gadis berambut pirang itu ternyata baru saja menghipnotisnya hingga Naga kehilangan kewarasan dan mengikuti alur permainan. “Ta, aku—” “Kamu nggak waras, Ga! Baru kali ini aku lihat kamu senekat itu, kamu suka sama dia?” “Enggak.” “Terus apa?” “Nggak tahu, sori aku mau pulang sekarang.” Naga pun melenggang begitu saja menghampiri mobilnya di pelataran panti, segera ia masuk dan menyandarkan tubuhnya yang terasa lemas pada jok mobil. Naga menelan ludah mengingat perbuatan Bulan tadi, baru kali ini ada yang bertingkah segila itu padanya. Menjadi ketua BEM tidaklah mudah, banyak yang suka, banyak yang memuja, tapi belum pernah sekalipun seorang gadis sampai senekat itu pada Naga. Sebenarnya Bulan memiliki urat malu atau tidak? Otaknya waras tidak? Naga menopang kening dengan siku yang bertumpu pada kemudi, ia benar-benar pusing, ia yakin jika Bulan masih di panti itu—pasti akan banyak segudang hal gila lainnya, dan Naga tak ingin semua itu terjadi. Ia kembali keluar dari mobil, berjalan cepat bahkan sedikit berlari menghampiri kamar Elmira. Kebetulan pintu terbuka lebar dan memudahkannya untuk masuk, ia mendapati Bulan sendirian di kamar itu tengah membolak-balik ponselnya. “Kita ke counter hape sekarang!” putus Naga membuat senyum di wajah Bulan terbit. ••• “Ini gimana udah mau dua hari tapi nggak ada kabar dari Bulan, Pa?” Seorang wanita berambut sebahu melangkah mondar-mandir di depan suaminya yang duduk di sofa. Rasa cemas mendominasi ruangan besar itu, ruangan pribadi yang biasa digunakan Suherman Widjaja untuk bekerja selain di kantor. “Sabar dulu, Papa juga masih hubungi teman-teman Bulan yang lain, belum semuanya ngejawab, Ma. Lagian Mama tahu sendiri seperti apa Bulan, dia kalau nggak hidup enak mana bisa bertahan, Ma. Sebentar lagi pasti Bulan pulang,” ujar Suherman menenangkan Maria—istrinya. “Tapi Bulan udah benar-benar nekat sampai kabur dari rumah, Papa tahu sendiri kalau Bulan anaknya nggak mau mengalah. Apa yang dia mau harus dituruti. Mama pusing tahu!” Suherman beranjak, ia menyentuh dua bahu sang istri hingga mereka berhadapan. “Sabar, Ma, sabar. Papa yakin kalau Bulan pasti cepat pulang, Papa udah blokir semua ATM sama kartu kredit dia, Papa yakin Bulan nggak akan bertahan lama di luaran sana.” Maria mengangguk meski rasa khawatirnya tak bisa hilang, Bulan adalah anak satu-satunya keluarga Widjaja sebagai gadis yang digadang-gadang akan menjadi penerus keluarga konglomerat itu, menjadi pemilik harta warisan serta saham yang dimiliki Suherman. Nyatanya sikap Bulan yang semena-mena memang tak bisa diubah, membuat Suherman kadang tak percaya jika gadis itu bisa mengurus semua aset berharganya jika ia sudah pensiun suatu saat. Kehidupan Bulan di Jakarta benar-benar berada di pusaran gemerlap malam, gadis itu suka membuat masalah yang membuat malu keluarga, meski segudang cacian terlontar dari bibir sang oma pun Bulan takkan pernah peduli, ia hanya tahu kalau hidup harus dinikmati. Kebiasaan Bulan suka balapan mobil liar membuatnya pernah mendekam di penjara selama beberapa hari karena tertangkap razia polisi, gadis itu juga suka datang ke diskotek atau toko retail sekadar menikmati alkohol kesukaannya. Hidup bergelimang harta sejak kecil membuat kriteria angkuh dalam diri Bulan sudah sangat mendarah daging. ••• Ada banyak kupu berterbangan. Hanya saja mereka tidak tahu bagaimana cara menemukan hal tak biasa di antara banyak kemungkinan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD