2.

1529 Words
••• Bulan mengerjapkan mata perlahan hingga samar-samar bisa melihat tempat asing di sekitarnya. Bulan menggucak mata, ia beranjak menatap keadaan sekitar sebelum menguap. “Gue di mana?” “Kakak udah bangun?” Bulan menatap ke arah gadis kecil berusia sekitar delapan tahun tengah duduk di ranjang yang bersebelahan dengan single bad tempat Bulan tertidur tadi, hanya sebuah nakas kecil yang menjadi pembentang jarak mereka. Gadis itu pucat, rambutnya panjang dengan sebuah syal abu-abu melingkar di lehernya. Bulan bisa mengartikan jika gadis itu pasti sedang sakit. “Lo siapa?” tanya Bulan, masih duduk di ranjang yang tak sebesar seperti di kamaarnya, ruangan itu pun kecil dan hanya diisi oleh ranjang, lemari pakaian serta nakas msing-masing dua buah. Sebuah jendela ada di sebelah Bulan, angin berembus masuk membelai rambutnya yang kepirangan itu. “Aku Elmira, Kak. Nama Kakak siapa?” Elmira tersenyum simpul, tapi tampak mengerikan di mata Bulan. “Bulan, lo tahu nggak ini tempat apaan?” “Ini kamar aku, Kak. Di panti asuhan, aku tidur sendirian, aku senang karena punya teman cantik kayak Kakak yang mau tidur sekamar sama aku. Kalau anak lain enggak mau, katanya aku ... penyakitan.” Bulan menatap gadis itu sejenak, memang kentara aura kepedihan di balik iris hitamnya, yang jadi pertanyaan dalam kepala Bulan adalah kenapa ia berada di kamar itu sekarang? Bulan beranjak, ia mengingat sesuatu—terakhir kali sebelum berada di tempat asing itu. “Tepi jalan, gue yakin semalam ada di tepi jalan,” gumam Bulan. “Iya, Kak Bulan emang di tepi jalan. Terus Bang Naga yang bawa Kakak ke sini,” jelas Elmira tanpa perlu Bulan bertanya. “Naga? Siapa itu Naga? Sejenis hewan atau apa?” tanya Bulan begitu konyol, ia terkekeh geli dan membuat Elmira tertawa juga. “Bukan binatang, Kak. Namanya emang Kak Naga, Sinaga Atmaja lebih lengkapnya.” Elmira menyukai Bulan, terlihat dari bagaimana gadis itu menanggapi ocehan Bulan, banyak anak tahu kalau Elmira tak mudah tertawa karena penyakit yang menggerogot tubuhnya, dan mereka lebih sering membuat Elmira sedih karena dijauhi. “Oh gitu, jadi ceritanya yang namanya Naga itu temuin gue di jalan terus bawa ke sini?” “Iya kayak gitu.” “Terus sekarang mana orangnya.” “Belum ke sini, Kak. Kenapa? Nanti biasanya ke sini kalau udah pulang kuliah.” “Oh, jadi dia anak kuliahan? Seumuran sama gue?” Elmira mengangguk saja, ia mengamati Bulan yang kini melangkah mondar-mandir di depannya seraya memijat pelipis. “Kak Bulan pusing? Aku ada obat pusing kok, mau?” tanya Elmira begitu polos. “Gue itu pusing, stres, nggak punya duit, butuh tempat tinggal, makan dan segalanya. Jadi kalau cuma minum sebutir obat doang itu nggak akan sembuh.” “Oh gitu, emang rumah Kak Bulan di mana?” “Jakarta.” “Terus kenapa ada di Bandung.” Bulan menghentikan langkah, ia menatap kesal Elmira yang terus bertanya tanpa henti, dan gadis itu menunduk takut saat netra Bulan menghunus miliknya. Bulan menarik napas, ia memilih duduk ketimbang memarahi Elmira. “Gue mau mandi,” ucap Bulan. “Kamar mandi ada di luar, Kak. Antre juga, sekarang jamnya orang pada mandi.” Bulan mengernyit, “Mandi aja harus antre? Terus maksud lo sabunnya juga barengan gitu?” Ucapan Bulan disetujui anggukan Elmira. “Yang benar aja, gue perawatan tiap Minggu biar kulitnya glowing terus harus mandi pakai sabun yang dipakai berjamaah? Bisa kena kadas, kurap, panu sama kutil kalau kayak gitu.” Elmira tertawa, “Kak Bulan lucu ya.” Bahu Bulan merosot, sulit juga berkisah pada anak delapan tahun sepolos Elmira. Gadis itu pun menatap keadaan di bawahnya. “Nyari apa, Kak?” “Ransel.” “Itu di atas nakas.” Bulan meraih ranselnya dan mengeluarkan beberapa helai pakaian, jika tidak mandi jelas rasa gatal itu tak mau pergi, tapi mandi di tempat umum juga membuat Bulan risi lebih dulu sebelum mencoba. Membayangkan berbagi sabun saja tidak pernah, dan sekarang ia harus melakukan hal itu dengan sejuta umat? Mimpi apa Bulan semalam hingga saat terbangun semuanya benar-benar berubah, ia seperti terdampar di pulau terpencil dan tak menemukan apa pun yang bisa membantunya untuk keluar. ••• Seseorang menepikan mobil hitamnya di pelataran Panti Asuhan Kasih Bunda yang selalu ia kunjungi hampir setiap hari. Sekarang pun Naga datang lagi membawa serta beberapa box nasi yang akan dibaginya untuk makan siang di sana. Naga pun mengeluarkan tumpukan box nasi itu dari bagian belakamg jok mobilnya, seorang gadis berambut hitam lurus menghampiri Naga dan ikut membantu tanpa diminta. “Gimana kuliahnya?” tanya gadis itu cukup lembut. “Masih sama kayak kemarin-kemarin,” sahut Naga sebelum membawa box dalam pelukannya menjauh dari mobil, ia melangkah masuk ke ruangan yang biasa digunakan untuk makan bersama setiap hari. Naga pun meletakan semua itu di atas meja panjang. “Perempuan yang kamu bawa semalam kok belum keluar dari kamarnya Elmira ya?” tanya Kinta usai meletakan box yang ia bawa di sebelah milik Naga tadi. “Terus?” “Ya, aku nggak tahu juga.” “Biarin aja,” sahut Naga tampak tidak peduli, lagipula ia sudah bertemu Bulan kemarin sore dan mengerti bagaimana sifatnya; menyebalkan, galak dan asal ceplos tanpa kendali. Tipe-tipe gadis seperti Bulan sangat wajib dijauhi oleh makhluk seperti Naga. Naga melangkah keluar ruangan itu dan menghampiri mobilnya lagi, ia mengambil sisa box tadi sebelum menutup bagian belakang mobilnya. “Kok dibiarin aja sih, Ga? Kamu yang bawa dia, jadi kamu yang—” “Nggak ada yang harus dipertanggung jawabkan ke dia. Dia punya badan utuh, masih napas, bisa ngomong pasti bisa ngapa-ngapain sendiri.” Dari cara bicaranya Naga, bisa Kinta tegaskan kalau Naga memang tak menyukai gadis itu, tapi kenapa? “Kok kamu kayak udah kenal lama sama dia ya, Ga?” tanya Kinta nenyipit curiga, ia bahkan menunjuk wajah Naga. Mereka berdiri di ambang pintu seraya menatap anak panti yang sibuk bermain di halaman, ada juga beberapa yang berada di kamar atau ruangan khusus belajar. “Nggak kenal sama dia dan enggak perlu.” “Ya oke kalau emang nggak mau kenal, tapi—” “Bisa bahas hal lain?” Jika sudah begitu Kinta tak bisa melanjutkan obrolan dengan pembahasan yang sama, pasti Naga akan marah. Kinta menghela napas, ia mengamati wajah kuarsa dengan pemilik yang sulit dipahami itu. “Udah jam makan siang nih, Ga. Kita panggil mereka aja gimana?” tanya Kinta mengganti topik pembicaraan mereka. “Iya.” Naga pun bertepuk tangan begitu keras hingga semua anak yang bermain di lapangan menoleh ke arah mereka. “Ayo semuanya makan dulu!” seru Kinta seraya melambaikan tangan memanggil anak-anak panti yang bermain di halaman, mereka semua berlari menghampiri ruangan itu dan Naga memberi ruang untuk masuk. “Ga, mending kamu cari anak yang lain deh, Elmira juga pasti di kamarnya, biar aku yang bagiin box itu.” Naga mengangguk, ia melenggang meninggalkan tempat itu dan mulai mencari anak lain yang harus ikut makan siang termasuk Elmira. Sedangkan di sisi lain, Bulan baru saja masuk ke kamar yang ia tempati bersama Elmira tadi, ia baru saja selesai mandi meski harus menahan risi berbagi sabun dengan banyak orang. Bulan kebingungan saat mendapati Elmira tak ada di atas ranjangnya, tadi sebelum ia keluar kamar—gadis itu masih di sana dengan wajah pucatnya, lalu sekarang ke mana? Bulan memilih mengedik bahu dan tak ingin peduli, ia masih mengenakan handuk yang membelit tubuh rampingnya hingga sebatas paha, rambut gadis itu juga masih basah. “Elmira, ayo kita—” Detik berikutnya terdengar jeritan panjang yang keluar dari mulut Bulan, seseorang tanpa izin membuka pintu kamar dan melihatnya yang masih mengenakan handuk saja. Naga juga mendelik mengetahui jika Elmira tak ada di kamar dan justru menemukan gadis menyebalkan itu lagi. Buru-buru Bulan menghampiri pintu dan menutupnya cukup keras hingga kening Naga terbentur serta tubuh terjerembab ke selasar, seketika dua bagian tubuh Naga terasa begitu sakit. “Dasar laki-laki sialan! Cari mangsa pas siang-siang!” maki Bulan dari dalam kamar, ia menguncinya seraya meremas erat bagian atas handuknya. Bulan pun meninggalkan pintu dan bergegas mengenakan pakaiannya. “Kak Naga kenapa? Kok ada di depan kamar Elmira sambil duduk di lantai sih?” tanya Elmira yang baru satang, gadis itu baru saja keluar dari ruang belajar. Naga tersenyum kecut, ia pun beranjak seraya mengusap bagian belakang celana yang kotor oleh debu lantai. “Nggak apa-apa, tadi—” “Ketemu Kak Bulan yah? Elmira suka Kak Bulan, dia lucu.” Elmira kembali terkekeh mengingat tingkah Bulan saat di kamar tadi meski tatapannya menyeramkan saat marah, Naga pun diam melihat gadis itu tertawa dengan mudah, padahal berbagai cara sudah Naga lakukan untuk membuat Elmira senang sedikit saja meski tak berhasil. Kenapa dengan gadis menyebalkan semacam Bulan bisa membuat Elmira tertawa? “Kita makan siang yuk, teman-teman udah nungguin,” ajak Naga. “Enggak, ah. Elmira mau makan sama Kak Bulan aja, dia juga belum makan dari pagi, kasihan Kak Bulan.” Naga mencoba paham dengan kepedulian Elmira meski baginya peduli dengan Bulan berarti sia-sia, tapi melihat rona berbinar di mata Elmira jelas mengalahkan ego Naga. “Oke, Kakak ambilin nasinya sebentar ya. Elmira di sini aja.” “Oke.” Naga pun meninggalkan Elmira menuju ruang makan bersama untuk mengambil dua box nasi. Ia mengabaikan rasa kesalnya setelah kelakuan menyebalkan Bulan tadi. •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD