Part 3 (Pertemuan Kedua)

769 Words
Percayalah dengan rencana Allah. Karena akan selalu ada makna dibalik setiap peristiwa... *** Terik matahari yang serasa menembus kulit tak membuat Runi menghentikan langkahnya. Semangatnya untuk segera mengakhiri kehidupannya di bangku kuliah membuatnya tak peduli dengan cuaca di luaran sana. Selagi kakinya masih mampu melangkah, hujan badai pun tak akan menghentikannya. "Mbak, mbak?" panggil seseorang yang baru saja menghentikan laju motornya. Runi yang melihat wanita yang sepertinya berbicara padanya pun bingung. Karena ia merasa tidak mengenal wanita itu. "Mbak, ayo bareng? Mau ke kampus kan?" ucap wanita itu lagi. Runi menoleh ke belakang tapi tidak ada siapa-siapa selain dirinya. "Mbak ini ngomong sama aku?" batin Runi. "Ayo mbak bareng sama saya aja, daripada panas-panas jalan." ucap wanita itu lagi. "Ah ndak usah mbak, udah deket juga kok kampusnya." ucap Runi ragu. Dia hanya merasa tidak mengenal wanita itu dan tidak enak jika merepotkan. Namun di sisi lain juga merasa sungkan jika menolak niat baiknya. "Ayo mbak ndak papa bareng sama saya aja." ucap wanita itu lagi. "Beneran mbak? Nggak ngrepotin?" tanya Runi meyakinkan. "Iya, ayo naik." ucap wanita itu dengan senyum manisnya. "Ahh rejeki anak sholehah." batin Runi lagi. Runi pun naik ke motor yang dikendarai wanita itu. Mereka mengobrol seputar masalah kuliah dan diri mereka masing-masing. Semacam memperkenalkan diri lah. Wanita itu bernama Sarah, seorang mahasiswi S2 di kampus yang sama dengan Runi. BRUKK "Allah.." "Inalillah.." "Aww.." Motor yang mereka kendarai tersrempet mobil yang berniat untuk menyalip. Pengendara mobil itu pun langsung menghentikan mobilnya dan turun untuk menolong pengendara motor. "Mbak nggak papa? Sekali lagi saya minta maaf." ucap pengemudi mobil. "Mbak Runi!!" teriak Ken. Iya, pengemudi mobil tadi adalah Wafi. Degg. Jantung Wafi berdetak lebih cepat setelah tahu bahwa salah satu dari korban itu adalah Runi. "Ah iya aku nggak papa kok mas. Runi, kamu nggak papa kan." ucap Sarah yang kemudian mengarah ke arah Runi. "Ah ndak mbak, cuma lecet dikit kok." jawab Runi sambil masih meringis menahan sakit. "Mbak Runi, ini tuh nggak dikit lecetnya. Kita harus ke rumah sakit." ucap Ken panik. "Iya Runi, luka kamu ini lumayan parah." tambah Sarah. Sedang Wafi masih terdiam dan bingung harus seperti apa. "Kak Wafi ayo angkat mbak Runi ke mobil, kita bawa ke rumah sakit." perintah Ken. Wafi mendekat dan berniat untuk membopong Runi yang masih terlihat kesakitan. "Ah ndak usah mas, saya bisa sendiri." jawab Runi menolak. Ia hanya tak ingin terlalu dekat atau bersentuhan dengan yang bukan mahramnya. Wafi pun menghentikan niatnya seakan paham dengan pemikiran Runi. "Biar mbak bantu ayo" ucap Sarah sambil membopong Runi dibantu dengan Ken. Sedang Wafi membukakan pintu mobilnya. "Oh iya dek, mbak masih ada urusan penting di kampus. Mbak minta nomer kamu ya biar nanti bisa tau keadaan Runi. Maaf, mbak nggak bisa ikut ke rumah sakit." ucap Sarah sambil memberikan Hpnya pada Ken. "Tapi mbak beneran nggak papa kan?" tanya Ken pada Sarah. "Nggak papa kok, motor juga insyaAllah masih aman. Yang penting tolong kamu jagain Runi ya. Nanti aku hubungin kamu." ucap Sarah. Ken mengangguk paham dan setelahnya langsung masuk ke mobil untuk segera meluncur ke rumah sakit. *** Wafi Pov Aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang. Di mobilku tengah duduk seorang wanita yang sedang menahan sakit karena kecelakaan yang baru saja terjadi karenaku. Aku tak menyangka jika pertemuan keduaku dengannya akan menjadi seperti ini. Bukan kah secara tidak langsung aku telah menyakitinya? "Maaf ya mbak, mas Wafi sih tadi nyalip-nyalip. Jadi nabrak mbak Runi kan." Ken masih saja mengomel sepanjang jalan. "Ya kan mas juga nggak tahu dek kalau bakalan kaya gini." jawabku yang masih gusar. Sesekali aku hanya mengacak rambutku kasar. Kekhawatiran akan Runi membuatku tak tenang. "Sudah, kalian nggak usah berantem. Saya nggak papa kok, sebenernya juga nggak perlu ke rumah sakit. Ini cuma tinggal dibersiin trus dikasih obat merah juga nanti sembuh sendiri." jawab Runi mencoba menenangkan. "Tapi kan ini berdarah kaki mbak." jawab Ken yang masih saja ngeyel. Iya memang berdarah, tapi benar kata Runi bahwa itu tidak terlalu parah. Sepertinya memang adikku saja yang berlebihan. Tapi tak apalah, aku juga tak tega melihat Runi menahan sakit. Ingin rasanya aku memeluknya. Ahh, kenapa bisa mikir aneh-aneh gini sih. Setelah sampai di rumah sakit, Runi segera diobati di UGD. Aku hanya menunggu di luar karena aku juga tidak tega. Sedang Ken terus menemaninya sepanjang perawat mengobati lukanya. Dia senja yang baru beberapa hari lalu kutemui. Tapi bodohnya aku, dengan tanpa sengaja aku malah menodai pertemuan kedua ini. Aku menyakiti dan merusak fisiknya. Meski cahanya orangenya masih nampak indah. Namun seakan ada lembayung yang biasa menyelimutinya turut hilang bersama luka yang menggores kulitnya. Maafkan aku Runi. Aku tak bermaksud menyakitimu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD