Part 2

1424 Words
Netra abu-abu nan indah itu perlahan terbuka. Terlihat mengerjap beberapa kali, guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Keningnya mengernyit kala tidak berada di dalam air lagi dan tidak ada ekor. Apakah yang tadi itu hanya mimpi? Bisiknya dalam hati. Namun, pertanyaan dalam hatinya menghilang seketika kala menyadari sesuatu. Ia berada dalam ruangan asing. Langit-langit kamarnya yang berwarna pink tidak lagi terlihat. Yang ada hanya langit-langit kamar berwarna putih. Begitu pun dengan dinding kamar, pink berganti dengan hitam. Rasa takut kembali menjalarinya. Teringat dengan kejadian sebelum menutup mata tadi, ketakutannya semakin menjadi. Saking terlalu takutnya, tak berani untuk duduk. Takut menghadapi kenyataan. Takut jika saja orang jahat yang di dalam air tadi ingin membunuhnya atau malah ingin memakannya. Seumur hidup, belum pernah ada yang memakan bibirnya. Dia harus apa sekarang? Menarik selimut untuk mengurangi rasa takutnya. Namun, itu percuma kala suara bariton nan mengerikan terdengar di ruangan yang sunyi. "Sudah bangun rupanya." Tubuh Lily gemetar ketakutan. Padahal ini hanya mendengar suara orang itu bukan melihat rupanya. "Tidak usah takut begitu, honey. Aku tidak akan membunuhmu." kekeh Arthur gemas. Matenya terlalu penakut. Tatapan matanya begitu lurus ke gadis cantik yang terbaring di ranjang besarnya. Berjalan mendekat dengan aura khasnya hingga Lily merasa semakin terintimidasi dan berakhir menarik selimut tebal sampai menutupi hidung kecil nan mancungnya. Arthur menyeringai melihat tingkah menggemaskan matenya. Rasanya ia ingin memakan matenya sekarang juga. Seringaiannya berganti dengan senyuman manis agar Lily tidak takut dengannya sembari duduk di samping gadis itu. Dielusnya puncak kepala Lily dengan lembut sehingga gadis cantik itu tidak lagi terlalu tegang. "Kau siapa, paman? Kenapa Lily bisa ada di sini?" Apa?! Paman?! Arthur tercengang dibuatnya. Wajahnya tidak setua itu untuk dipanggil paman. Meski umurnya memang sudah sangat tua. 250 tahun. "Apakah paman orang jahat?" Pertanyaan lugu itu membuat Arthur menggeleng tidak percaya. "Apakah paman menculik Lily?" Arthur beralih menindih tubuh mungil Lily sehingga gadis itu terdiam dengan wajah pucat pasi. "Pertama, jangan panggil aku paman. Panggil saja Arthur atau panggilan manis lainnya. Kedua, kau bisa ada di sini karena aku membawamu. Ketiga, aku bukan orang jahat. Keempat, aku memang menculikmu." Lily membelalak kaget ketika Arthur memakan bibirnya dengan ganas lagi. Ia menggelengkan kepalanya brutal agar ciuman terlepas. Namun, bukannya terlepas, ciuman Arthur malah semakin menjadi. Bibir bawahnya digigit dan dihisap kuat oleh Arthur hingga Lily berakhir menangis. Arthur yang merasa sangat terganggu dengan tangisan itu menghentikan kegiatannya. Ditatapnya wajah Lily yang sangat kacau di bawah kungkungan tubuh besarnya. Bukannya kasihan dan menaruh simpati, Arthur malah kesenangan melihat ekspresi takut Lily. Terlihat sangat menggemaskan baginya. "Kenapa kau menangis? Padahal aku hanya menciummu bukan memakanmu." Tangisan Lily semakin kencang mendengar kata 'memakanmu'. "Jangan makan Lily. Daging Lily tidak enak." isak Lily seraya menutup wajahnya. Arthur semakin bersemangat menakut-nakuti mate polosnya. "Tidak. Dagingmu itu pasti sangat enak. Aromanya saja sudah menggoda begini." Arthur menciumi leher Lily sehingga gadis itu bergerak gelisah akibat kegelian. "Menjauh dari Lily, paman! Jangan mengigit leher Lily!" Lily mendorong kuat kedua bahu Arthur tapi tenaganya tidak sebanding jika dibandingkan dengan pria itu. Arthur menangkap tangan mungil Lily. Mengurung di samping tubuhnya. Semakin menciumi leher Lily dengan gemas sampai menimbulkan tanda kemerahan. Ketakutan Lily semakin bertambah kala tangan Arthur masuk ke dalam bajunya dan mengelus perut ratanya. Setelah puas menakuti Lily, baru lah Arthur menghentikan kegiatannya. Lily menarik selimut, menyembunyikan seluruh tubuhnya seraya menangis sehingga membuat pria itu tertawa geli untuk kesekian kalinya. Padahal tidak ada yang lucu. Orang lain pasti akan panik melihat matenya menangis, bukannya tertawa. Tawanya semakin keras ketika mendengar perut Lily berbunyi. "Kau ingin makan apa? Ikan hidup atau yang sudah dimasak?" tanyanya kemudian. Lily menyembulkan wajahnya. Sisa-sisa air mata di pipinya membuatnya terlihat semakin menggemaskan. "Tentu saja yang sudah dimasak. Lily tidak suka ikan hidup." Kening pria tampan di hadapannya mengernyit. "Bagaimana caramu memasak di dalam air?" "Lily tidak pernah memasak di dalam air. Kan tidak bisa memasak dalam air." jawab Lily begitu polos. Arthur sebenarnya bingung tapi tidak mau ambil pusing. "Aku akan menyuruh maid untuk membawakanmu ikan yang sudah dimasak." Arthur beranjak dari atas tubuh Lily. Keluar dari kamar dan tak lama kembali lagi. "Paman, Lily ingin pulang ke rumah." Lily semakin ketakutan melihat wajah tak bersahabat Arthur. **** "Sampai kapan pun aku tidak akan pernah membiarkanmu pulang karena mulai sekarang rumahmu di sini." Cengkraman Arthur di dagu Lily begitu kuat hingga gadis cantik itu meringis kesakitan. "Tapi Lily ingin pulang. Lily ingin bertemu mommy dan daddy." bisik Lily lirih. Senyuman sinis tersungging di bibir pria bersurai hitam lebat itu. Cengkramannya terlepas. "Sampai mati pun, kau tidak akan pernah bertemu dengan mereka lagi." "Tapi Lily sangat ingin bertemu dengan mereka. Lily tidak bisa jauh dari mereka. Lily ingin bertemu mommy dan daddy." rengek Lily. "Kalau begitu aku bawa saja mereka ke sini." putus Arthur akibat tidak tahan melihat wajah sedih Lily. "Benarkah??" Wajah sumringah Lily membuat pria itu tersenyum. Ternyata matenya sangat cantik kalau sedang tersenyum. "Dimana orangtuamu sekarang?" "Di Rusia." Kening Arthur mengerut mendengar nama tempat yang tidak pernah didengarnya selama ini. "Dimana itu?" Lily mengerjap polos. "Di Rusia." "Nama kawasan tempat tinggalmu?" "Rusia." Arthur menghela nafas. "Aku tidak pernah mendengar tempat yang namanya Rusia." "Coba cari di google, paman." Sontak, Arthur menatapnya tajam hingga gadis itu terdiam ketakutan. "Kenapa menatap Lily seperti itu?" cicitnya. "Jangan panggil aku paman! Panggil saja Arthur!" Dengan terbata-bata, Lily menjawab oke. Ketika Arthur hendak berbicara lagi, suara ketukan pintu mengurungkan niatnya. Pria itu langsung bangkit dari duduknya dan pergi ke arah pintu. Lily menghela nafas lega sembari menenangkan jantungnya yang berdetak kencang karena takut dengan wajah tidak bersahabat Arthur tadi. Di dalam hati dia bertekad tidak akan membuat Arthur marah. Dia hanya tidak ingin dimarahi lagi. Wajah marah Arthur lebih menyeramkan daripada wajah marah guru killernya di sekolah. Dalam diam, gadis itu berpikir kalau saja Arthur menjadi guru di sekolahnya, mungkin tidak akan ada lagi yang berani tidur sewaktu jam pelajaran. "Makan lah. Aku akan keluar sebentar karena ada hal yang harus kuurus." tutur Arthur lembut. Mengusap puncak kepala Lily sekilas sebelum pergi. "Ternyata dia tidak jahat," kata Lily dan tersenyum polos. Selama ini, gadis cantik itu selalu berpikir jika orang yang berbicara dengan nada lemah lembut itu orang baik. Makanya dia terlalu mudah untuk dimanfaatkan dan dikelabuhi. Lily melahap semua makanannya dengan cepat karena terlalu kelaparan. Sebelum pergi ke tempat asal mula kejadian, dia tidak sempat makan karena terlalu bersemangat. Selesai makan, Lily meminum air putih hingga tandas. Gadis cantik itu meletakkan nampan makanan ke meja. Berjalan mendekati balkon dan menghirup udara segar di sana. Bibir kecilnya terbuka melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Bukan karena kagum tapi karena kaget. Pemandangan di depannya terlalu mencekam. Pohon-pohon mati dengan ranting besar yang mengerikan. Tidak ada tanaman hijau sedikit pun. Berbeda dengan pemandangan indah di rumahnya. Asri dan indah. "Mommy, daddy. Lily kangen." Lily yang tidak terbiasa berpisah dari orangtuanya tentu saja merasakan kerinduan yang mendalam dengan orangtua yang sudah membesarkannya penuh kasih sayang selama ini. Entah berapa lama dia berdiri di balkon kamar sampai-sampai tidak menyadari kedatangan Arthur. Arthur mendekati Lily pelan tanpa menimbulkan suara. Didekapnya tubuh mungil Lily yang terasa begitu pas di tubuh besarnya. "Paman mengagetkan Lily." kesal Lily. "Sudah berani denganku, hm?" Lily kembali gugup mendengar pertanyaan Arthur. Gadis itu tidak berani lagi untuk berbicara. Tubuhnya terdiam kaku merasakan hembusan nafas Arthur di leher jenjangnya. Bulu kuduknya merinding ketika pria itu menciumi lehernya. "Jangan lagi..." bisiknya dengan nada tercekat sembari menutupi lehernya dengan tangan. Arthur menyeringai. Melepaskan pelukannya dan menggendong tubuh mungil Lily dengan mudah ke arah kasur. Meletakkan tubuh mungil itu dengan hati-hati di atas kasur. "Aku tidak bisa berhenti, honey. Aku ingin memilikimu seutuhnya." bisik Arthur serak. Wajah pria itu tenggelam di leher Lily. Dijilatnya leher Lily hingga gadis cantik itu menggelinjang kegelian. Ada rasa aneh yang tidak Lily mengerti ketika pria yang diketahuinya bernama Arthur itu menjilat dan menciumi lehernya. Suara aneh keluar dari bibirnya ketika Arthur mengusap pelan perut ratanya. Dan, sampai di sini, gadis itu tak kunjung paham dengan apa yang terjadi. Tubuh Lily semakin menegang ketika Arthur menurunkan kerah bajunya dan mengecupi bahunya. "Aku ingin memilikimu, honey." Diciuminya Lily dengan lembut. Tangannya pun ikut bermain begitu lihai hingga membuat Lily semakin kewalahan. Lily mendorong Arthur secara tiba-tiba dengan wajah yang terlihat syok. Arthur hendak memarahi gadis cantik itu karena berani mendorongnya. "Lily pipis!! Maafin Lily, Arthur." Akan tetapi, ucapan panik gadis itu membuatnya tertawa geli dan tidak jadi marah. "Itu biasa, honey. Sekarang aku akan membuatmu merasakannya lagi." bisik Arthur nakal dan mengulum kuping Lily. Dan Arthur, benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. -Tbc-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD