BAB DUA

2057 Words
Fida pun langsung turun dari motor Timo begitu sampai di kafe Cozy. Ia menunggu Timo di depan kafe, karena Timo harus memarikan motornya terlebih dahulu yang sudah disediakan oleh pihak kafe. Cukup ramai pengunjung kafe Cozy, bahkan lebih ramai dari biasanya. Karena ini weekend jadi banyak juga orang-orang yang menghabiskan waktu di kafe Cozy. Timo pun kembali mereka pun langsung masuk ke kafe Cozy. Mereka berdua pun langsung memasuki kafe cozy. Kafe ini menjadi favorite mereka karena mereka suka dengan desain dari kafe ini. Kafe ini mengusung konsep desain tradisional, dan kontomprorer, tapi tetap terlihat modern di mata pengunjung. Desain interiornya dominan dengan warna putih pada dinding, coklat pada lantainya, dan aksen batu marmer unik yang dijadikan penghias countertop minibar. Kafe cozy punya kodi yang juara banget. Kopinya adalah picclo latte. Dan, itu kopi favorite mereka; Fida dan Timo. Tempat duduk favorite mereka dari Kafe ini adalah tempat duduk yang terletak di paling pojok dekat jendela. Bila kita melihat ke laur jendela langsung menghadap ke jalanan raya, dan itu membuat tenang melihat orang, kendaraan berlalu lalang melewati depan kafe ini. Di hadapan mereka sudah ada dua cangkir kopi piccolo latte yang masih mengepulkan asap ke udara, itu tandanya kopi masih baru dibuat. Oborolan dibuka dengan pertanyaan Fida tentang Elvira, “Elvira kapan ke sini, Tim?” Terkadang dalam pikirannya terbesit bahwa Timo akan tertarik kembali kepada Elvira. Tapi, Fida langsung menepis pikiran negatifnya itu. Dengan santai Timo menjawab, “kayanya sih bulan ini, tapi itu juga belum tentu bulan ini. Nanti kalau Elvira sudah ada di sini, aku ajak kamu ketemu dia. Sekalian ngenalin kalo sekarang kamu pacar aku.” Timo menyesap kopinya pelan-pelan karena masih panas. Elvira adalah sahabat Timo sejak mereka masih duduk di bangku SMA. Timo pernah bercerita kepada Fida; bahwa ia memiliki sahabat di masa SMA, bahkan Timo dan Elvira sempat menjadi sepasang kekasih dalam kurun waktu satu tahun. Mereka putus, karena Elvira tidak mau menjalani hubungan jarak jauh—pada saat itu Elvira mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Australia. Karena pada saat itu Timo sangat menyayangi Elivra, dan Timo tahu kalau Elvira punya pontensi untuk kuliah di luar negeri. Karena memang Elvira anak yang cerdas dan berprestasi selama di sekolah. Jadi, Timo mengiyakan untuk memutuskan hubungan mereka. Meskipun berat, tapi Timo harus belajar untuk menerimanya. Ini juga demi masa depannya Elvira. Walaupun Timo menjadi kekasih Elvira, masa depan tetap tanggung jawab Elvira. “Aku boleh lihat foronya Elvira yang terbaru nggak?” pinta Fida, sebenarnya Fida sudah tahu Elivra itu yang mana, namun pada saat itu Timo memperlihatkan foto lama Elvira berdua dengan Timo pada saat mereka baru lulus SMA. Jujur saja sebagai perempuan Fida insecure dengan Elvira yang cantik, pintar, dan bisa mendapat beasiswa di luar negeri. “Tentu boleh.” Timo langsung mengeluarkan ponselnya dari saku celana, untuk mencari foto Elvira yang ia simpan di ponselnya. Ia langsung membuka folder album ‘w******p Images’ karena dua hari lalu Elivra sempat mengirim foto ia sedang berada di Opera House. “Ini foto terbaru dari Elvira, dua hari lalu dia kirim foto kalo lagi di Opera House. Menurut kamu dia gimana?” tanya Timo seperti meminta pendapat dari Fida. Di foto tersebut Elvira yang memakai pakaian musim dingin berdiri tepat di depan opera house, sambil tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapih, rambut panjangnya dibiarkan terurai bebas, sehingga saat diambil foto rambut seperti meliuk ke sana kemari karena tertiup angin. Fida tidak langsung berkomentar; ia terdiam benar-benar kagum dengan kecantikan dari gadis yang pernah kekasihnya cintai. Mata bulan yang berbinar bisa membuat siapapun yang memandang Elivira terpesoana, rambut panjang lurus bak iklan sampo, dan senyuman manis yang tidak bosan untuk dilihat. “Menurutku, Elvira itu cantik banget Tim. Terus pinter lagi dia, dan keliatannya dia orang baik. Keren banget dia bisa dapet beasiswa kuliah di Australia. Jauh yah sama aku nggak ada apa-apanya.” Jujur Timo tidak suka melihat kekasihnya ini selalu insecure, padahal setiap orang kan punya pontensinya masing-masing. “Kamu kenapa, sih?” tanya Timo kesal. “Iya aku minder aja gitu, sama Elvira. Ngerasa jadi nggak pantes sama kamu aku…” Belum melanjutakan perkataannya langsung dipotoong oleh Timo. Timo memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya, “begini nih yang nggak aku suka dari kamu Fid. Kamu orangnya minderan, padahal semua orang punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Punya pontensinya sendiri, dan itu beda-beda. Nggak ada manusia yang sempurana di dunia ini Fid.” tukas Timo. Melihat wajah Timo yang kesal seperti itu malah membuat Fida merasa bersalah, ia pun langsung memegang kedua telapak tangan Timo, “iya maaf, Tim. Maaf aku nggak akan kaya gini lagi. Janji ini yang terakhir aku kaya gini.” “Janji?” tanya Timo dengan serius. “Iya janji.” Fida langsung mengajak Timo untuk saling menautkan jari kelingkingnya. Timo pun menyambutnya, dan mereka pun tersenyum. Dalam otak Fida mungkin Timo akan muak dengan dirinya, kadang-kadang disaat moment raasa insucren-nya datang Fida selalu begitu. Tapi, Fida bersyukur Timo tidak pernah marah besar dengannnya, ia hanya kesal seperti tadi. “Kamu harus belajar yah untuk bisa menerima kekurangan, dan kelebihan yang kamu punya. Jadikan kekurangan yang kamu punya menjadi kekutatanmu.” kata Timo memberi saran kepada kekasihnya. Fida sangat beruntuk dipertemukan dengan Timo. Laki-laki yang mau mencintainya, dan menerima segala kurang maupun lebihnya. Begitu pun dengan Fida ia sangat menyayangi Timo. Fida seperti tidak akan bisa lepas darinya, ia ingin selalu di samping Timo apapun yang terjadi di depan nanti. “Oh yah Tim, kalo aku muji Elvira itu benaran dari hatiku, tulus nggak ada maksud apa. Yah, karena memang kenyataannya Elvira seperti itu.” Fida tersenyum sambil memandang Timo dengan penuh kasih sayang. “Iya benar kata kamu, memang faktanya seperti Fid. Dia udah pinter, baik, nggak sombong, selain itu yah dia itu anaknya aktif banget waktu SMA suka ikut lomba dibidang akademik maupun non akademik. Herannya dia menang mulu, tuh anak hidupnya kaya nggak pernah gagal.” Fida memperhatikan kedua bola mata Timo, dan Fida bisa merasakan bahwa Timo sangat merindukan Elvira. “Keran banget dia, Tim.” kata Fida. “Banyak cowok yang suka sama dia, gak tau kenapa pas aku nembak dia nih, dia nerima aku.” Jika Fida bisa berusara saat ini, Timo tidak perlu menceritakan soal ini. Akan tetapi, ia tidak mau merusak suasana jadi prua-pura excited saja ketika Timo bercerita seperti itu. “Padahal yang deketin dia tuh cowok-cowok keren semua.” Alunan musik dari band kesukaan mereka coldplay, dan lagu favorite dari band ini adalah ‘Viva La Vida’ mengalun ke seluruh penjuru kafe Cozy. Membuat semua pengunjungnya betah berlama-lama berada di sini. “Berarti yah, Tim. Elvira itu tulus menerima kamu, dan nggak mandang kamu kaya gimana. Selama Elvira merasa nyaman sama kamu, dan kamu baik sama dia. Cowok-cowok yang deketin dia mungkin nggak seperti kamu, makanya milih kamu.” Mengatakan hal ini entah kenapa Fida merasa ada yang menganjal dihatinya. Seperti ingin membenarkan kalimat yang barusan ia katakan, tapi ia tidak menerimanya. Timo mengangguk membenarkan apa yang dikatakan oleh Fida. Ketika ia masih menjadi murid SMA, Timo adalah laki-laki yang paling beruntung se-angkatannya dulu. Dari sekian banyak laki-laki yang mendekati Elvira hanya Timo yang dipilih oleh Elvira. Bahkan Timo sempat menjadi bulan-bulanan gossip oleh teman-teman seangkatannya, kaena hubungannya dengan Elvira. Mereka semua tidak percaya Timo yang biasa-biasa saja. Bisa mendapatakan Elvira yang luar biasa. Apakah Timo menggunakan pelet, kalau memang menggunakan pelet teman-teman Timo ingin tau di mana tempatnya, untuk mendapatkan pelet itu. Namun pada akhirnya mereka semua menerima fakta bahwa Elvira adalah kekasih Timo. Bahkan sampai sekarang Elvira tetap perempuan yang akan selalu Timo kenang dengan baik, karena memang Elvira pantas mendapatkan itu. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan Fida, spontan Timo mengatakan, “Iya, aku beruntung banget pernah menjadi pacarnya. She is always be my favorite girl.” Fida benar-benar cemburu saat ini, tapi Fida tidak mau menunjukkan itu. Selain itu Fida hanya tidak ingin merusak suasana, jadi lebih baik diam. Fida juga sangat amat tahu diri ia tidak ada apa-apanya dibanding Elvira. Dengan senyum yang sedikit dipaksakan Fida berkata, “benar yang kamu katakan barusan, Elvira memang pantas untuk menjadi your favorite girl.” Fida sedikita menekan nada suaranya di kalimat terakhir. Timo membalasnya dengan senyuman, tidak bertanya apakah Fida baik-baik saja? Fida pun langsung mengalihkan pembicaraan, “Devin, gimana kabarnya? Maaf yah aku belum sempat ke rumah kamu.” Devin itu adiknya Timo yang sedang menderita sakit keras. Devin dan Fida memang cukup dekat, bahkan orang-orang yang tidak mengenal mereka akan menyangka kalau Devin adalah adiknya Fida. Fida sangat menyayangi Devin, apalagi anak itu benar-benar membuthuhkan support dari orang-orang terdekatnya. Timo menyesap lagi kopi lalu menjawab pertanyaan dari Fida, “seperti bias.” Jawabnya. “Oh yah, dia nanyaiin kamu terus tuh. Kenapa ka Fida nggak ke rumah-rumah? Nggak tau apa kalo Devin kangen banget.” Timo menirukan gaya bicara adiknya, dan itu malah membuat Fida melupakan kekesalannya tadi soal Elvira. “Tolong sampaikan maafku ke Devin yah. Kamu tau sendiri akhir-akhir ini aku sibuk sama urusan kuliah, dan kerjaaan. Ketemu kamu aja baru bisa sekarang, nanti minggu ini pas weekend aku janji bakal ke rumah, dan bawaiin puding coklat kesukaan Devin.” kata Fida dengan air muka bersalah karena memang sibuk sekali minggu ini. Biasanya Fida menelpon Devin hanya untuk menanyakan kabarnya, dan kali ini Fida tidak menghubungi Devin sama sekali semua waktunya tersita dengan tugas dan tanggung jawabnya. “Iya nanti aku sampaikan ke Devin, tapi kamu janji harus dateng?” “Aku janji bakal dateng, gimana dia makan obatnya lancer kan?” tanya Fida. Oh yah, Devin saat ini sedang menderita kanker hati stadium tiga, dan sekarang sedang menjalani pengobatan dengan cara kemoterapi. Fida sejujurnya sangat iba anak sekecil itu harus menanggung beban yang cukup berat, Devin harus melawan penyakit yang merenggut masa kanak-kanaknya. “Yah lebih lancar pas, ada kamu. Mama kadang suka ngomong mulu ‘coba ada Fida di sini’ gitu. Aku mah bayangin doang kali yah di keluarga ini.” Timo kadang heran kenapa mereka bisa sebegitu dekatnya dengan Fida, padahal waktu pertama kali Timo memperkenalkan Fida ke orang tuanya; ia merasa takut kalau orang tuanya tidak menyetujui hubungan mereka, apalagi kan Timo dan Fida banyak sekali perbedaan. “Ya ampun Devin, aku jadi mau ketemu sama dia.” Diceritakan oleh Timo soal Devin malah membuat Fida tambah rindu. “Minggu ini jemput aku yah…” tapi Fida mengurungkan niatnya karena lebih better naik kereta untuk ke Bekasi. “Jangan deh aku naik kereta aja.” Dari kalimat ‘jangan deh aku naik kereta aja’ menjadi perdebatan yang tidak selesai di kafe Cozy, tempat pertemuan mereka yang kedua sebelum menjadi sepasang kekasih. “Nggak boleh, kamu aku jemput.” Kata Timo “Iya kamu jemput, tapi pas di stasiun aja. Aku dari Jakarta naik kereta yah,” nada bicara Fida terdengar sedikit memohon pada Timo. Sementara Timo yang tidak mau kekasihnya pergi sendiri pun tak mau kalah, “pokoknya kamu nggak boleh pergi sendiri naik kereta, kamu harus aku jemput yah!” Fida sebenarnya suka melihat Timo khawatir seperti ini terhadapnya, jadi Fida yang sebenarnya malas berdebat pun tetap menanggapinya. “Yah kenapa nggak kalo sendiri? Aku emang biasanya ke mana-mana sendiri kok, Tim.” Fida masih mencoba untuk menyakinkan Timo supaya memperbolehkan ia pergi sendiri naik kereta. Ini yang Timo tidak suka, kekasihnya ini terlalu keras kepala. “Yaudah kalo kamu sendiri silahkan, jangan ganggu aku selama seminggu yah.” ancam Timo. Fida pun menantangi Timo, “yaudah silahkan kalo mau nggak hubungin aku, semingu doang kan yah?” “Ralat, jadi sebulan.” “Sebulan doang, kan?” “Ralat, jadi satu tahun!” kata Timo tidak mau kalah. “Iya yah deh, nanti kamu bisa jemput aku, tapi pake motor yah? Jangan mobil.” Kenapa Fida tidak ingin naik mobil, bagi Fida naik mobil sama saja dengan bunuh diri. “Iya oke.” Perdebatan di antara mereka pun selesai; mereka berdebat hanya untuk hal-hal kecil. Bahkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu untuk diperdebatkan. Akan tetapi, itu lebih baik untuk menjadi bumbu di dalam hubungan mereka agar tidak hambar. Semoga saja semesta, dan Tuhan mereka masing-masing merestui hubungan keduanya. Langit mulai gelap digantikan oleh senja, mereka berdua pun memutuskan untuk meninggal kafe Cozy, sebenarnya Timo masih ingin di sini menghabiskan waktu lebih dengan Fida. Akan tetapi, Fida yang khawatir kalau malam-malam sekali Timo masih di jalan, jadi Fida meminta pulang sekaran—dan Timo pun menurutinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD