BAB SATU

1855 Words
Timo Tunggu ya sayangku. Fida tersenyum membaca balasan dari Timo. Kekasih memang paling bisa membuat kupu-kupu diperutnya bertebangan. Saat Fida sedang asyik tersenyum, tiba-tiba ada ada yang berkata. “Cie yang lagi senyum-senyum baca pesan dari pacarnya yang paling tampan.” Suara itu bersalah dari kekasih yang sudah duduk di hadapannya. Gadis dengan model rambut sebahu itu pun mendongakan kepalanya, dan Timo tersenyum dengan ramah. Duh ganteng banget sih, pacar gue. Fida memuji kekasihnya hanya di dalam hati, soalnya kalau langsung suka gede kepala. Bau parfum yang biasa dipakai oleh Timo langsung menyeruak ke indra penciuman Fida. Sambil menutup matanya Fida menghirup dalam-dalam bau parfum Timo yang baunya sangat maskulin, selain Timo yang ia rindukan Fida juga merindukan bau parfumnya. “Otak-otaku mana?” tanya Timo kepada Fida. Sebenarnya Fida kesal karena Timo malah bertanya mana otak-otaknya. Bukan bertanya tentang dirinya, bagaimana kabarnya kekasih setelah sekian lama kita tidak berjumpa. Agak aneh memang kalau Fida cemburu pada makanan, tap memang itu kenyataan. Fida menyodorkan otak-otaknya ke Timo, “kok malah nanyaiin otak-otaknya. Bukan orangnya yang mesenin nih otak-otak? Kamu nggak kangen sama aku emang?” Jawaban dari Timo cukup mengesalkan, “juju raja yah Fida otak-otak lebih ngangenin daripada kamu.” Sebenarnya Timo sengaja menjawab itu ia ingin melihat Fida kesal, lalu cemberut, dan marah entah kenapa Fida kalau marah itu lucu. Lihat saja sekarang! Wajah Fida sudah mulai cemberut kekasihnya itu mengerucutkan bibirnya, dan itu benar-benar mengemaskan malah membuat Timo ingin terus menggodanya. Timo melahap otak-otaknya sambil terus memperhatikan wajah kekasihnya itu yang sedang cemberut. “Aku malah lebih milih otak-otak, daripada kamu.” “Timo!!!” Fida mencubit lengan kekasihnya, Timo p;un mengaduh kesakitan.”Kamu tuh ya Tim, males aku di sini. Ngapain coba aku ke sini, tadi aja di rumah bobo sampe siang, soalnya di sini tuh tidak dianggap aku.” “Ngambek ya?” tanya Timo pura-pura tidak tahu; padahal ia tahu kalau kekasihnya itu sudah dalam keadaan ngambek, tapi ia senang saja menggodanya. “Iya.” “Gtiu aja kamu ngambek, baperan (bawa perasaan) banget deh.” Tiba-tiba Timo terawa dan mengatakan ini, “masa cemburu sih sama otak-otak sih?” “Yah kamu lagian, Tim. Bilang aku labih..kangen sama otak-otak daripada aku.” “Memang benar otak-otak bang Edi itu ngangenin tau.” “Akunya?” “Nggak!” jawab Timo dengan santai. Timo benar-benar memancing singa yang sedang diam unuk marah. Fida benar-benar kesal dengan Timo, ia pun bangkit dari tempat duduknya. Kali ini Fid abenar-benar marah dengan Timo. Ia pergi meninggalkan Timo, dan dari lubuk hatinya yang paling dalam Fida ingin Timo mengejarnya. Keinginanan Fida pun terkabul karena Timo pun mengejar Fida, langkah kaki Timo yang panjang pun mampu untuk menggapai Fida, lalu ia menarik tangan kekasihnya.”Fid beranda, kamu kenapa jadi marah benaran?” “Seneng kamu udah buat aku marah?” kini Fida ingin balas dendam untuk membuat marah Timo biasanya kekasihnya itu kalau ngambek benar-benar, bukan yang pura-pura seperti dirinya. “Aku minta maaf ya.” “Nggak!” Timo pun langsung pun langsung berjalan mendahului kekasihnya. Fida tahu kalau Timo bear-benar marah, tadi Timo sempat bilang kalau dirinya itu baperan sekarang bisa dilihat siapa yang baperan siapa yang baperan, ia atau Timo? “Tim tunggu,” Fida berusaha untuk menyamai langkah kaki Timo. “Kamu benaran marah sama aku?” Fida menarik tangan Timo. “Aku minta maaf, tadi cuma bercanda. Aku udah maafin kamu kok, jangan marah ya sayang.” Fida memohon ke Timo supaya Fida mau memaafkan dirinya. Timo berusaha menahan tawa karena melihat wajah kekasihnya yang merasa bersalah, dan itu benar-benar mengemaskan Timo rasanya ingin mencubit pipi Fida. “Aku benaeran bercanda.” Fid amerangkul tangan kekar milik Timo mengusap-usapnya, “aku mina maaf ya?” Fida paling tidak melihat Timo marah. Timo tidak langsung menjawab ia diam terlebih dahulu, “benaran bercanda?” tanya Timo akhirnya ia tidak tega mengerjai kekasihnya seperti ini. Fida mengangguk, “iya. Kamu mau maafin kau?” “Iya sayang. Aku maafin ya, udah ah kita jangan saling marah gini. Tapi, kalau lihat kamu marah gini kok lucu yah. Gemas pengin aku culitk.” Fida mencubit tangan kekasinya, “kamu ya Tim! Kalau nggak sayang aku cincang-cincang kamu atau aku gilih kamu pakai mesin penggiling kek di film-film gore.” “Serem tahu.” ucap Timo. “Lagian kamu!” Sebenarnya Timo masih ingin berdebat dengan Fida, tapi sebaiknya sudahi saja kalau seperti ini mereka bisa tidak pulang-pulang diam di satu tempat, di gelangang olahraga Marga. Karena kalau mereka sudah berdebat, perdebatan itu bisa terjadi dari pagi sampai magrib—dari magrib sampai pagi lagi. Dua-duanya tidak ada yang mau mengalah. Timo pun langsung mengajak Fida untuk keparkiran karen sebelumnya mereka sudah janjian akan pergi ke kafe favorite mereka yaitu kaf Cozy. Yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sini untuk sampai di sana kira-kira membutuhkan waktu tiga puluh menti. Letak kafenya di dekat perumahan yang cukup elit, tepat berada di pinggir jalan, suasannya pun cukup membuat nyaman untuk berlama-lama berada di kafe Cozy. Sampainya diparkiran gelangang olahraga Marga cukup ramai, dikarenakan sekarang ini weekend banyak sekali para muda-mudi datang ke sini untuk refreshing dengan cara berolahraga. Setelah sibuk dengan kegiatan-kegiatan di hari weekday. Timo mengeluarkan motornya dari barisan motor yang lai sementara Fida menunggunya di luar barisan. Setelah berhasil mengeluarkan motornya, Timo langsung menyerahkan helmnya untuk dipakai oleh Fida. Fida menerimanya, tapi tidak ia langsung pakai—ia ingin Timo memakaikan helm kepadanya atau megaitkan helmnya agar tidak lepas dari kepalanya. Seperti di film-film di mana tokoh perempuannya, dipakaikan helm oleh kekasihnya, dan Fida berharap untuk satu kali ini saja hal itu terjadi pada dirinya. Fida pun langsung memakaikan helmnya. Timo sudah menyalahkan mesin motornya, menyuruh Fida untuk segera naik. Akan tetapi, Fida tetap diam tidak naik ke motornya ia malah memanggil kekasihnya, “Tim?” Timo menoleh ke arah Fida ia menatap kekasihnya itu dengan heran, kenapa Fida belum naik ke motornya malah memanggil. “Kamu nggak naik?” Timo benar-benar tidak peka padahal ia berharap Timo langsung memakaikan kaitan helmnya seperti di film-film romance, untuk hal itu terjadi seperti—tidak akan pernah terjadi. Pupus sudah harapan Fida, tapi Fida belum menyerah ia tetap berusaha memberikan kode kepada Timo, dengan menunjukkan katian helmnya dengan tangannya. “Kamu kenapa, naik cepatan. Panas ini udara hari ini.” kata Timo Ya ampun punya pacar nggak peka banget dah! Nggak nyadar apa kan pacarnya ingin bersikap romantic-romantisan, gerurtu Fida. “Kamu nggak peka yah, Tim.” “Kamu kenapa?” Untung saja Fida stock sabar yang luas seluasa samudara di hindia. “Kamu nggak peka?!” rasanya Fida ingin berteriak juga sekarang kalau parkiran saat ini tidak ramai, sayang ramai ia tdiak mau disangka orang gila oleh orang-orang di sini. “Kamu masih nggak ngerti apa yang dimaksud aku ya, Tim.” “Emang apa sih yang dimaksud sama kamu? Aku nggak ngerti, kamu jangan main kode-kodean gitu yah, Fid. Udah to the point aja sam apa yang kamu maksud. Kamu tahu sendiri kan ya? Kalo aku ini tipe orang yang nggak suka main kode-kodean. Aku nggak becanda kali ini.” “Iya maaf,” ucap Fida lirih. Kalau Timo sudah bicara seperti itu berarti serius.”aku mau kamu pasangin mengait helm aku, kali-kali yah aku minta diginiin.” “Nah gitu dari tadi, Fid. Jadi kan kita nggak perlu berlama-lama di parkiran.” Timo pun langsung memasang pengait helmnya, dan langsung meminta Fida untuk segera naik ke motornya. Timo hanya bisa mengelengkan kepalanya melihat kelakuan manja kekasihnya kalau lagi kumat. Motor Timo pun melaju keluar dari parkiran gelangang olahraga Marga. Di atas motor Fida masih membisikan permintaan maaf di telinga Timo, “Tim maaf ya soal yang tadi.” Kata Fida. “Iya nggak apa-apa . Kamu mikirin ya?” “Iya mikirin.” Fida pun menambahkan kata-kata yang membuat Timo jadi tertawa. “Mikirin juga kenapa kita nggak lebih lama di parkiran.” “Apaan sih kamu kok nggak jelas sih, Fid.” kata Timo. Timo tetap berusaha untuk mendengarkan Fida yang berbicara di belakangnya meskipun kadang angin pada saat motor melaju, bisa mendadak membuat telinga jadi tuli. “Nggak lucu yah memang apa yang aku bilang tadi.” “Nggak!” Kini mereka berdau berhenti di lampu merah; lampu merah yang dikenal paling lama di daerah sini. Tapi, para pengendara sangat patuh tidak ada yang bearni menorobos lampu merah, karena sekarang di depan ada polisi. Kalau tidak ada polisi kalian tebak saja sendiri;. “Yaudah aku mau ngelucu lagi nih.” kata Fida. “Silahkan nona,” ucap Timo. “Kenapa lampu merah warnanya cuma ada tiga?” “Kenapa?” “Karena kalau ada tujuh itu namanya pelangi.” Entah kenapa Timo langsung sontak tertawa. Padahal bagi orang-orang yang punya selera humor yang cukup tinggi itu sama sekali tidak lucu. Karena semua orang juga tahu kalau pelangi warnanya ada 7 sementara lampu merah ada tiga warna. “Aku juga punya sesuastu yang lucu buat kamu.” “Apa Tim?” “Apa bedanya suara kucing sama ayam?” tanya Timo. Fida tidak langsung menjawab ia masih berpikir tentang jawabannya. Kalau suarannya berbeda tentu saja kalau suara kucing dan ayam itu berbeda. Setelah berpikir cukup lama sampai lampu merah kembali hijau, dan motor Timo pun melaju seperti kendaraan yang lainnya. Akhirnya Fida pn menyerah tidak menemukan jawabannya. “Aku nyerah!” “Hah?” Timo tidak terlalu jelas mendengar suara Fida. Ia pun memelankan laju motornya supaya leibh jelas dengarnya, “kamu bilang apa?” “Aku nyerah sama jawabannya, jadi apa bedanya?” “Bedanya suara kucing sama ayam, Kalo ayam itu suaranya kok kok kok. Kalau kucing itu meong meong meong.” Memang keuda orang in selera humor cukup tinggi (itu hanya sebuah sarkas) yang artinya selera humor mereka sangat rendah. Hanya karena jawaban yang semua orang juga tahu, dan tdiak lucu sama sekali mereka tatap tertawa di tengah jalanan ibu kota yang lenggang karena ini weekend kalau hari biasa boro-boro lengang yang ada memancing emosi. “Kita keren yah Tim,” kata Fida. “Keren selera humor kita sangat tinggi.” “Emang! Kita harus buat duo nih.” “Duo apa Tim, dou racun.” “Dou garing.” Lagi-lagi mereka tertawa seperti tidak ada beban hidup di pundak mereka;. Kadang Fida berpikir yang menyatukan ia dengan Timo bukan hanya karena takdir, memang ia dan Timo sama-sama punya selera humor yang tinggi, alias sangat rendah. “Seru juga ya. Yuk kita daftar.” “Daftar apa?” “Jadi tentara.” “Hah tentara, Fid? Maksudnya.” “Ya daftar di stand up comedy Tim, masa tentara. Kita ini mau membuat orang-orang tertawa bukan ingin membela negera.” “Oh iya, mantap tuh daftar jadi stand up comedy.” “Yuk daftar!” “Ayuklah!” Mereka akhirnya pun berhenti berbicara kadaan pun jadi hening. Dua sepasang kekasih itu tenggelam dalam pikiran masing-masing, ralat hanya Fida. Kalau Timo yang pikirannya melalang buana ke mana-mana yang ada malah celaka. Mereka pun akhirnya sampai di kafe Cozy setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit lebih dua menit, sedikit terlambat. Tidak apa-apa yang penting mereka sampai dengan selamat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD