3. | Moon Candies

2206 Words
Tampak seorang pria yang duduk di ranjang king size-nya. Dalam keadaan shirtless dan rambut yang basah. Jangan lupakan handuk putih yang masih bertengger manis di bahunya. Ya, dapat dipastikan bahwa pria itu baru selesai membersihkan diri.  Damar, wajahnya tiba-tiba bertekuk ketika mengingat pembicaraan setengah menyindir dari para kolega. Ia merasa direndahkan dan dicap kelainan oleh mereka. Bayangkan, mereka dengan santainya berceletuk terang-terangan bahwa pria tampan yang matang dan masih sendiri itu patut dipertanyakan kewarasannya. Tentu, sebagai satu-satunya yang masih sendiri, Damar merasa tersindir. Ya, memang dirinya sasaran sindiran mereka. Entah atas dasar apa, yang pasti mereka sukses membuat Damar sangat kesal. Andai tidak mewakili nama sang ayah, mungkin ia sudah pergi sedari tadi. Atau paling tidak memberi pelajaran setimpal atas ucapan mereka. Pria itu membuang napas kasar. Diraihnya sepucuk berkas di nakas. Ia periksa lembar per lembarnya, lalu kembali dihentikan pandangannya ke potret wajah seorang gadis.  "You got me," gumam Damar terkekeh kecil. Seolah ia sedang berbicara dengan potret gadis di kertas. "Kayaknya ini cewek punya sihir," timpalnya semakin membuat perutnya tergelitik. Damar membaringkan diri di ranjang. Matanya menatap ke langit kamarnya yang dominan berwarna abu. Pikirannya selalu tertuju ke gadis yang bernama Kalila itu. Kedekatannya dengan para anak kecil dan keterampilannya dalam menjawab pertanyaan absurd para anak, entah mengapa membuat Damar tertarik. Gadis itu seolah mempunyai kekuatan khusus yang membuat Damar tak henti memikirkannya. Padahal, baru bertemu pertama kali dan hanya sekadar mengamati. Namun, entah mengapa rasanya Damar sudah tertarik begitu dalam dengan pesona gadis itu. Oh, man. Love at the first sight, huh? Jujur, demi apa pun, Damar rasanya tidak sabar untuk bertemu gadis itu. Kalau bisa ingin rasanya langsung membawa gadis itu ke hadapan orang tuanya. Memperkenalkan sebagai calon istri seorang CEO. Kemudian, membungkam mulut-mulut kolega yang hobinya nyinyir dan mengurusi hidup orang lain. Ugh, ingin rasanya memutus kontrak kerja sama dengan mereka. Namun, ya, tidak akan mungkin.  Damar yang uring-uringan melirik jam di nakas. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Alisnya terangkat sebelah sembari mengecek berkas informasi yayasan. Tiba-tiba, satu ide pun muncul. Pria itu lantas mengubah posisinya menjadi duduk dengan senyum yang mengembang lebar. "Aku akan menemuimu," gumamnya tersenyum miring. Bergegas ia memakai kaus pendek. Jangan lupakan masker beserta topi untuk menutupi identitasnya. ***  Pusing. Kalila di hadapi oleh keadaan satu anak asuhnya yang sakit. Sedari tadi terus merengek dan menangis. Sebagai seorang pengajar satu-satunya yang tinggal di yayasan, tanggung jawabnya pun menjadi besar. Lain hal dengan pengajar lain yang rata-rata sudah bersuami dan ada tanggung jawab di rumah.  "Bun, ini gimana ya? Dari tadi Rio nggak mau minum obat," ucap Kalila gelisah kepada Ibunda Tari yang sibuk menimang anaknya yang rewel. "Kalo gitu suruh tidur. Peluk dia erat-erat. Kalo nggak mempan, mau nggak mau bawa Rio ke klinik terdekat." Kalila hanya mengangguk kecil. Gadis itu membawa Rio—bocah lelaki empat tahun—ke dalam gendongan lalu melangkah menuju kamar. Namun, baru selangkah memasuki kamar, Rio merengek berteriak. Menolak untuk tidur di kamar. "Loh kenapa, Sayang?" tanya Kalila lembut sembari mengusap rambut kriting Rio. "Iyo nggak mau tidul! Nggak mau minum obat!" rengek Rio manja. Kedua tangannya mencengkram kuat leher Kalila, membuat gadis itu sedikit kesusahan. Terlebih ia mengenakan kerudung dan rasa-rasanya kain itu akan terlepas dari kepalanya. "Trus Rio maunya apa hm?" Dengan sabar Kalila menghadapi si kecil Rio. Bersyukurlah gadis itu telah dikaruniai rasa sabar yang tidak terbatas. Kalau tidak seperti itu, mungkin sudah lama Kalila berhenti bekerja sebagai pengajar di yayasan anak. "Mau kelual!" "Loh? Udah malem. Dingin. Ntar tambah sakit."  "Mau keluaaaal! Iyo mau keluaal! Jalan-jalan!" Aduhai. Mau tidak mau, Kalila harus menuruti keinginan bocah itu. Setelah meminta izin kepada Ibunda Tari dan memakaikan Rio jaket hangat, Kalila pun keluar dari yayasan. Mungkin hanya sekadar berkeliling di halaman yayasan. "Iyo mau jajan!" seru Rio setelah lama terdiam. "Jajan apa?"  "Jajan di minimalket! Mau pelmen!" Kalila mendengus. Melangkah ia menuju minimarket terdekat, menuruti segala hal yang Rio inginkan. Mungkin dengan begitu akan sedikit kiranya mengurangi kecerewetan Rio. "Ih! Ada bulan! Ambilin Kak Lil!" Rio berseru girang dan berontak dalam gendongan Kalila. Tangannya yang mungil mulai terangkat, seolah ingin mengambil bulan yang terang benderang di langit malam. Tiba-tiba saja Rio menyanyi lagu "Ambilkan Bulan, Bu". Tak ayal membuat Kalila sweatdrop. Terlebih, Rio bernyanyi dengan nada yang lumayan nyaring. Mengundang atensi para pengguna jalan. Kalila hanya bisa menyembunyikan rasa malunya dan berusaha menghentikan Rio untuk mengecilkan suara dalam menyanyi. Di lain sudut, tampak seorang pria yang berkerut kening dengan fokus tertuju ke seorang gadis dan bocah kecil di gendongannya. Pria itu, Damar, menghentikan mobilnya di sudut jalan. Tertarik atensi ketika mendengar nyanyian cempreng si bocah kecil dalam gendongan seorang gadis. Sedari tadi, Damar terus mengamati dan barulah pria itu sadar bahwa yang ia amati adalah seseorang yang sangat ingin ditemuinya. "Kalila?" Damar mulai memasang masker dan topi. Bergegas ia keluar dari mobil dan berlari kecil membuntuti Kalila. Dari jarak beberapa meter, ia bisa mendengar pembicaraan gadis itu dengan si bocah dalam gendongannya. "Ambilkan bulan, Bu! Ambilin!"  "Nggak bisa, Sayang. Nanti kita beli permen yang bentuknya bulan ya?" "Oke!" "Ish, kamu itu sakit atau apa sih, haha!" Damar semakin heran. Bocah lelaki itu menyebut Kalila dengan panggilan "Bu"? Apakah itu menandakan bahwa Kalila sudah mempunyai anak? Sudah mempunyai anak, itu berarti sudah mempunyai suami? Sungguh? Kalau itu benar, akan dipastikan Damar terkena patah hati untuk yang pertama kalinya. Kalila memasuki minimarket. Tak tinggal diam, Damar pun ikut memasuki minimarket. Dilihatnya Kalila berjalan menuju rak permen berbagai jenis. Bocah lelaki itu tak lagi berada di gendongan Kalila. Sedari tadi, bocah itu sibuk memilih permen di rak dengan senangnya. "Hei," ucap Damar kepada Kalila. Gadis itu tersentak dan menoleh. Sedikit kiranya terkejut mendapati pria asing bermasker dan bertopi hitam tengah menyapanya. Rasanya aneh dan menakutkan. "Lagi jajanin anak permen ya?" tanya Damar ikut memilah bungkusan permen di rak. "Eh, e-enggak! Bukan anak. Ini adik saya." Mendengar itu, lantas membuat senyum terulas dengan lebar di bibir Damar. Pria itu sebisa mungkin untuk menekan rasa senangnya. "Maaf ya," ucapnya pelan. Kalila hanya menggeleng kecil. Gadis itu kemudian sibuk mengurusi si bocah lelaki. "Kak Lil, nggak ada pelmen bentuk bulan!" Rio memasang ekspresi sedih. Matanya berkaca-kaca. Membuat Kalila tampaknya panik dan segera membawa bocah itu ke dalam gendongan. "Yaudah, kita beli permen biasa aja ya? Nanti besok Kak Lil carikan permen yang bentuknya bulan. Oke?" "Iiiih, nggak mau! Maunya sekarang!" Mengetahui gadisnya kesusahan, Damar pun dengan senang hati menawarkan diri untuk membantu. Tunggu, gadisnya? Wow, Damar memang benar-benar. "Maaf, bukannya mencampuri, tapi saya tahu di mana orang yang menjual permen bentuk bulan," ucap Damar sebisa mungkin menunjukkan kesopanannya. Biar bagaimanapun, ia dan Kalila asing satu sama lain. Pun pria itu sadar bahwa Kalila tipikal gadis yang pandai menjaga diri dan tak gampang percaya orang asing. "Kalau mau, saya bisa mengantarkan ke sana." Kalila tampaknya tidak berkenan. Damar dapat membaca dari gerik tubuh gadis itu. Berbanding terbalik dengan Rio yang tampak semringah air wajahnya. "Mau mau mau, Om!" "Sst, Rio! Nggak sopan," tegur Kalila. "Kayaknya nggak perlu deh, M-mas. Biar sa-" "Kak Lil jahat hueee!" Rio mulai menangis tanpa ada air mata yang membasahi pipinya. Membuat Kalila jengel dan rasanya ingin sekali ia layangkan jitakan ke kepala bocah itu. Namun, teringat kembali ia akan keadaan Rio yang sakit. "Saya nggak berniat jahat kok. Saya hanya ingin membantu." Damar berucap sesopan mungkin. Pada akhirnya, Kalila pun mengangguk kecil. Dapat ditebak bagaimana raut wajah Damar di balik masker? Ya, senang bukan main. ***  Damar dan Kalila berjalan beriringan di trotoar dalam keheningan. Tak ada yang membuka pembicaraan. Rio yang paling sering mengoceh kali ini diam membungkam karena tertidur dalam gendongan Kalila.  "Tertidur rupanya," gumam Damar membuka pembicaraan. Belum sampai di toko permen, bocah lelaki itu sudah tertidur dengan pulas. Sementara itu, Kalila mengembuskan napas pelan. Tak bisa dimungkiri, badannya terasa pegal dan batinnya merasa lelah. Seharian ia mengurus Rio yang cerewet karena sakit. "Haruskah kita teruskan perjalanan?" tanya Damar menoleh ke samping, ke wajah lelah Kalila. "Ya, terus aja. Saya yakin, Rio pas bangun bakal merengek minta permen," sahut Kalila pelan. Damar mengangguk. "Tinggal beberapa meter lagi kita akan sampai," ucapnya. "Um, ngomong-ngomong, apa kamu capek?" "Ah, huh? Ng-nggak," balas Kalila berbohong. Tiba-tiba Damar berhenti tepat di depan Kalila. Matanya menyorot dalam tepat ke mata Kalila. Sukses membuat gadis itu diselimuti rasa takut. Refleks ia mundur selangkah ke belakang. Membuat Damar mendengus sebal. "Biar saya yang gendong Rio." Kalila awalnya menolak. Berdalih bahwa ia masih kuat untuk menggendong Rio. Namun, wajah lelah gadis itu tak mampu membohongi Damar. Maka, dengan paksa Damar mengambil alih Rio ke dalam gendongannya. "Ayo," ucap Damar meraih tangan Kalila lalu menariknya. Tangan satunya lagi ia gunakan untuk menumpu tubuh Rio di gendongannya. Kalila tak sadar bahwa tangannya digenggam erat oleh Damar. Efek lelah, membuat gadis itu tak sadar keadaan. Hingga, ketika sampai di toko dan bertemu dengan pemilik yang menegur, barulah Kalila tersadar. Segera ditarik tangannya dari genggaman Damar. Tak bisa dimungkiri wajahnya memerah hebat bak kepiting rebus. "Woaa, nggak usah malu-malu gitu, dong. Pasangan suami istri mah nggak usah malu kali. Ngomong-ngomong, anaknya tidur ya? Pasti capek banget tuh." Mendengar ucapan itu, lantas membuat Kalila mendelik. Baru saja akan ia layaknya sangkalan, Damar lebih dahulu berucap. Namun, ternyata bukan untuk menyangkal ucapan si pemilik toko. "Maaf, toko permennya masih buka, 'kan? Saya mau beli permen bentuk bulan." Damar melirik Rio dalam gendongannya sekilas, lalu kembali menatap pemilik toko. Serta-merta membuat pemilik toko paham atas kode lirikan itu. "Sebenarnya sih udah tutup, tapi demi anak kalian, ya nggak pa-pa lah. Biar saya buka pintu toko dulu. Mau pesen berapa kotak permen bulan?" "Sebanyak yang tersedia di toko," sahut Damar santai sembari membenarkan posisi Rio di gendongannya.  Sementara itu, Kalila diam membisu. Matanya melirik si pria asing yang bahkan tidak ia ketahui namanya itu. Atas dasar apa kebaikan pria itu padanya. Namun, yang pasti Kalila merasa aneh. Aneh pada dirinya sendiri yang dengan gampangnya bersedia diberi bantuan oleh orang asing. Mana orang itu memakai masker dan bertopi hitam lagi. Terlihat mencurigakan baginya. Bukannya Kalila berprasangka buruk terhadap orang yang ingin berbuat baiknya padanya. Bukan. Hanya, Kalila bingung dan merasa aneh. Mengapa? Mengapa pria itu mau membantunya sejauh ini? Bahkan bertingkah seolah-olah sudah kenal lama. Apa mungkin pria itu mengenalnya sebelum ini? Inginnya ungkapkan demikian. Namun, Kalila takut. Takut merasa lancang. Maka, hanya bisa diam gadis itu. Diam membisu sampai dalam perjalanan kembali menuju yayasan. "Nanti saya ganti uangnya," ucap Kalila setelah lama membungkam. Genggamannya mengerat pada pegangan paper bag berisi berkotak-kotak permen bulan. "Nggak usah. Simpan aja," sahut Damar. Telapak tangan kanannya ia daratkan di punggung kecil Rio, lalu diusapnya perlahan. "Anggap saja hadiah untuk si kecil ini. Rio." Terlalu lelah, Kalila tak lagi bisa mengungkapkan sangkalan. Hitung-hitung rezeki untuk Rio yang tengah sakit ini, pikirnya. "Ngomong-ngomong, tempat tinggal kalian di mana? Apa dekat sama minimarket? Soalnya saya bawa mobil dan saya parkir di dekat sana. Jadi, kalau jauh, kita bisa pakai mobil." Kalila lantas menggeleng. Gadis itu menoleh sekilas pada Damar lalu kembali menatap ke depan. "Deket kok. Paling beberapa meter, udah sampai ke yayasan." "Yayasan?" tanya Damar pura-pura tidak tahu. Hei, bukankah sedari awal pria itu memang berpura-pura? Semua ini ia lakukan agar dekat lebih awal dengan Kalila. Dan kalau ia menunjukkan diri bahwa ia seorang CEO Prambudi Corp yang akan memberi bantuan dana pada yayasan, Kalila mungkin akan segan padanya. Tentu, Damar tidak ingin. Ia hanya ingin Kalila menilainya sebagai orang biasa. Untuk saat ini. "Iya, saya dan Rio tinggal di yayasan. Rio ini sebenarnya bukan adik kandung, tapi adik angkat. Saya sebagai pengajar tetap di yayasan. Mengurus anak-anak di sana." Damar hanya mengangguk paham. Hening pun menyelimuti perjalanan mereka. Tak terasa, mereka telah sampai di yayasan. Membuat Kalila mendesah lega sembari mengusap keningnya perlahan. "Terima kasih atas kebaikannya, Mas," ucap Kalila dengan sopan. Matanya menyipit ketika tersenyum, membuat Damar tertegun beberapa saat. "A-ah, ya, sama-sama." Damar merasa canggung dan terundung rasa malu. Ia pun menyerahkan Rio kembali ke gendongan Kalila. "Semoga bisa ketemu lagi ya," ucapnya yang hanya dibalas anggukan kecil dari Kalila. "Ah, nggak terasa udah jam sebelas ya," ucap Damar ketika melirik jam di pergelangan tangan. Pria itu melepas topinya dan mengusap rambutnya secara perlahan. Terasa pengap dan berat kepalanya saat memakai topi. Ia kemudian melepas masker dan tampaklah wajahnya yang rupawan di hadapan Kalila. Tak bisa dimungkiri Kalila memang terpesona terhadap paras itu. Namun, tiba-tiba ia langsung diingatkan oleh paras Damar yang rasanya begitu familier di benaknya. Kalila seperti pernah melihat wajah itu. Akan tetapi, kapan? Jauh di lubuk hati, Damar dilanda rasa senang. Ketika memahami raut Kalila yang seperti berusaha keras mengingat sesuatu. Pria itu yakin bahwa Kalila bersikeras mengingat wajahnya yang memang di beberapa kesempatan terpampang di layar kaca. Dan, dapat dipastikan gadis itu akan terkejut jika Damar menyebutkan nama panjangnya. Oke, mungkin itu ide yang bagus untuk menggoda gadis itu. "Ah, ya, kita belum kenalan, 'kan?" tanya Damar tersenyum tipis. Kalila diam menunduk. Gadis itu menggumamkan namanya. Kemudian, ia mendongak dan matanya langsung bertubrukan dengan dua jelaga empunya Damar yang tajam dan menghanyutkan. "Salam kenal, Kalila." Damar kemudian mengulurkan tangannya dan menepuk kepala Kalila perlahan. "Nama saya Damar Aditya Prambudi," bisiknya tersenyum tipis.  Kalila tertegun. Bahkan sampai Damar hilang dari hadapannya pun gadis itu masih tertegun. Hingga, tak berapa lama kemudian, gadis itu mendelik seraya menutup mulutnya tidak menyangka. P-prambudi?! Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD