2. | Love Story

2065 Words
"Calon istri ya?" Damar merenung di atas balkon kamarnya. Bertumpu dagu ia di pagar balkon dengan matanya yang tak lepas dari langit malam berbintang. Terpikirkan ia tentang pembicaraan siang tadi bersama sang ayah dan ibunda. Terkait istri yang akan menjadi pendukung dan penyemangatnya dalam berkarir. Rasa-rasanya, Damar merasa asing dengan frasa calon istri. Bukannya apa-apa, pria itu dalam sepanjang hidupnya belum pernah tebersit keinginan memiliki seorang pendamping. Bukan berarti pria itu kelainan. Asal kalian tahu, Damar masih normal. Merupakan pria normal pada umumnya. Hanya, Damar agak terlambat—mungkin—dalam memikirkan pendamping hidup. Sedari dulu, Damar sudah tersuguhi kehidupan keras sebagai seorang pekerja. Sebagai penerus estafet perjuangan sang ayah dalam mengurus perusahaan, tentu, Damar akan mengerahkan seluruh kemampuannya. Tak akan ia kecewakan sang ayah, bahkan sekecil apa pun itu. Maka, disibukkanlah dirinya dengan fokusnya itu. Sampai-sampai tak pernah secuil pun terpikirkan kisah percintaannya. Kali ini, Damar mulai berpikir. Umurnya memang terbilang sudah sangat matang. Namun, entah kenapa terlalu sulit. Mengingat bahwa Damar terlalu payah dalam urusan percintaan. Jika ditengok ke masa lalu, catatan cerita cintanya bisa dikatakan kosong. Bersih dari goresan tinta. Hal ini menunjukkan bahwa tampan saja tidak cukup. Tampan saja belum tentu memiliki catatan cerita cinta yang penuh warna. Perlulah ada keterampilan di sana. Sayangnya, Damar tak memiliki keterampilan tentang itu. "Payah, heh?" gumam Damar pada dirinya sendiri. Rasanya terlalu lucu. Sudahnya dikaruniai wajah tampan, kemampuan kompeten, mapan, tetapi tak ada catatan sejarah percintaan. Oh, man. "Oke, sekarang gue sadar kalo melajang terlalu lama itu nggak baik," ucap Damar yang mulai beralih duduk di sofa. Kedua tangannya tertaut rapat. Kali ini, pria itu berada dalam mode serius. "Haruskah memulai catatan kisah cinta detik ini juga?" Tiba-tiba, muncul di benak Damar berbagai macam skenario cinta. Tentang ia yang menjadi Don Juan. Para penakluk wanita, si ulung dalam meluluhkan hati wanita. Wanita dengan berbagai kalangan akan berhasil luluh meski hanya diberi kedipan mata. Akan melayang terbang meski diberi rayuan manis dari mulutnya. Akan bersedia abdikan hidupnya hanya karena diberi rayuan cinta. Seketika itu, membuat Damar langsung merinding. "Astaga! Pikiran macam apa itu!" Damar mengacak rambutnya frustrasi. Biar bagaimanapun, ia tidak "senakal" itu sebagai seorang pria. "Pakai cara yang halus?" monolognya. Tangannya mengusap dagunya secara perlahan. "Oke, kayaknya menarik." Dan, Damar pun memulai kisah cintanya mulai sekarang. *** "Hai," sapa pria dalam setelan santai. Pria itu memakai masker hitam dan topi hitam. Duduk di depan seorang wanita dengan rambut bergelombang. Cantik wajahnya dan semampai tubuhnya. Namun, jika dilihat-lihat, tampak judes orangnya. "Kamu yang namanya Damar?" Wanita itu menatap penampilan Damar dari atas ke bawah. "Lumayan," gumamnya. Ck, bunuh aja gue kalo si cewek ini mau! batin Damar berteriak. Ya, sosok pria di balik masker itu benar-benar Damar sang CEO muda Prambudi Corp. Karena ingin merasakan kisah cinta, pria itu nekat melakukan kencan buta lewat sebuah aplikasi. Namun, sebaik mungkin ia menyembunyikan identitas asli sebagai seorang CEO. Ia hanya ingin menguji seberapa baiknya para wanita yang ia temui. "Ekhm, ngomong-ngomong, apa yang buat kamu tertarik sama aku?" Si wanita itu menumpu dagu. Menatap mata Damar dengan serius. Damar meringis sembari mengusap tengkuknya canggung. "K-kelihatannya Mbak itu baik dan apa adanya. Jadi, itu yang bikin saya tertarik," ucapnya. Oke, pria itu telah berhasil mengaburkan wibawanya sebagai seorang CEO. Kayaknya gue punya kemampuan terpendam. Gue jago akting! batin Damar merasa bangga. Sang wanita tiba-tiba bangkit berdiri. Wajahnya menunjukkan keangkuhan. "Kampungan ternyata," ucapnya yang membuat Damar sedikit kiranya terkejut. "Oke, gue nggak tertarik. Bye." Wanita itu pun berlalu pergi kemudian. "Crazy as hell!" gerutu Damar dengan kesal. Pria itu melepas topi lalu ia acak-acak pelan rambutnya. Ia buka maskernya, lalu diteguknya minuman juice miliknya sampai tandas. "Kalo itu cewek tahu gue CEO, pasti dia nggak bakal bisa bilang kayak gitu. Ini nih, yang bikin gue nggak suka jalin hubungan." Alasan terbesar Damar untuk tidak pacaran itu bukan hanya menganggap itu adalah hal kesia-siaan, tetapi juga kesenangan semu. Dipikirannya, memiliki hubungan dengan batas komitmen sebagai sepasang kekasih itu hanya membentuk suatu kesenangan semu. Akan ada masanya merasa bosan satu sama lain, karena komitmen yang dibuat hanya berdasar dalam komitmen sempit. Maka dari itu, Damar tak ingin memiliki seorang kekasih karena berpotensi putus hubungan dengan alasan merasa tak cocok satu sama lain. Ya, itu hanya terbatas konsepsi subjektif seorang Damar semata. Meski tak ada pengalaman kisah cinta, tetapi pria itu tahu bagaimana harus bersikap dan bagaimana harus memilih. Pada intinya, Damar tidak ingin memandu kasih dalam koridor pacaran. Ia hanya ingin memandu kasih dalam koridor pernikahan dengan membuat komitmen yang jauh lebih besar. Tidak pernah pacaran, bukan berarti tidak laku. Justru, jauh lebih berharga. "CEO langka nih gue," gumam Damar tersenyum miring. Merasa bangga pada diri sendiri. Sama persis dengan sang ayah. Ya, buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. "Sudah cukup main-mainnya, Damar. Saatnya kembali ke dunia kerja." Damar kembali memasang topi dan maskernya. Melangkah ia keluar dari kafe. Niatnya ingin menuju mobil dan langsung tancap gas menuju kantor. Namun, tiba-tiba niatnya tergeser hanya karena melihat kumpulan anak-anak di taman kota. Dengan satu orang perempuan dewasa menemani mereka. Damar pun mendekat. Sayup-sayup, ia bisa mendengar pembicaraan sekumpulan anak itu beserta gadis berkerudung hijau tua. "Kak Lil, kok daun warnanya hijau sih? Kenapa nggak biru aja? Biru 'kan warna kesukaanku!" "Kak Lil, kok siput jalannya lambat sih?" "Kak Lil, kok kucing itu dibilang mengeong, trus anjing dibilang menggonggong. Kenapa nggak kucing aja dibilang menggonggong, trus anjing dibilang mengeong?" Damar membekap mulutnya yang terlapisi masker. Sebisa mungkin ia menahan diri agar tidak tertawa. Sungguh, pertanyaan dari para anak kecil itu begitu absurd. Menanyakan sesuatu yang sudah ditetapkan demikian, ya tipikal anak kecil yang memiliki keingintahuan yang tinggi. Damar penasaran, apa jawaban gadis itu. Maka, pria itu mengambil duduk di salah satu kursi yang tak jauh dari mereka. Duduk santai seolah menikmati hari, tanpa ada yang mengetahui bahwa ia sedang menguping obrolan orang lain. Sementara itu, Kalila sweatdrop dilayangkan berbagai macam pertanyaan absurd anak-anak. Rasanya bingung ingin menjawab seperti apa dan harus ia pertimbangkan agar tidak menciptakan pertanyaan lainnya. Ya, beginilah ketika menghadapi anak-anak. Harus siap memutar otak dalam menjawab satu per satu keingintahuan mereka. "Jawaban semua pertanyaan kalian itu cuman satu. Penasaran?" Lantas semua anak bersorak penasaran. Seketika itu membuat Kalila tersenyum hangat. "Jawabannya adalah udah ketetapan Tuhan." Para anak kecil kisaran empat sampai enam tahun itu pun tampak bingung. Beberapa di antaranya menggaruk kepalanya. Tentu, tidak terlalu paham dengan ujaran Kalila "Sederhananya begitu. Jeno, nama kamu Jeno, 'kan?" tanya Kalila pada bocah lelaki dengan perawakan gendut itu. Langsung dijawab anggukan kecil dengan lucu. "Jeno dikasih nama sama siapa?" "Um, sama ibu bapak," jawab Jeno cepat. "Trus, kalo ditanya 'kenapa Jeno dinamai Jeno?' Kamu jawabnya apa?" Jeno, bocah enam tahun itu menggaruk kepala. "Nggak tau. Soalnya udah diberi nama sama ibu bapak." "Nah, itu dia!" seru Kalila bersemangat. "Sama halnya dengan apa yang kalian tanyakan tadi. Itu udah ketetapannya seperti itu. Ketetapan dari Tuhan. Jadi, nggak perlu ditanyain, orang udah dari sananya seperti itu. Paham?" Para anak ber-ooh ria lalu berseru paham secara serempak. Tak ayal membuat Kalila terkekeh geli dan dengan gemasnya ia acak satu per satu puncak kepala mereka. "Hm, begitu," gumam Damar tersenyum tipis. Rasa-rasanya ia ingin bergabung ke perkumpulan anak-anak itu. Barang untuk sekadar bermain dan ya, melakukan pendekatan dengan si gadis itu. Namun, belum juga ia merealisasikan segala niat, gawainya tiba-tiba berbunyi. Itu sudah dipastikan bahwa Damar harus rela memendam segala keinginannya tadi. "Oke. Dalam lima belas menit aku akan tiba," ucap Damar tanpa intonasi. Kemudian, ia jauhkan gawainya dari telinga dengan mata tak lepas dari perkumpulan anak kecil itu. Setelahnya, pria itu bangkit berdiri dan berjalan santai menuju mobil yang terparkir di lapangan parkir samping kafe. "Ih, Kakak itu aneh. Dari tadi liatin kita mulu," ucap salah seorang anak yang tentu saja terdengar oleh Kalila. Gadis itu menoleh ke samping dan melihat sesosok lelaki berpakaian modis, dengan topi dan masker hitam. Keningnya berkerut lalu kembali memusatkan pandangan pada anak-anak. "Nah, Kak Lil rasa udah cukup main-mainnya ya. Kita balik ke yayasan yuk. Besok nanti kita bakal kedatangan tamu besar loh. Jadi harus persiapan mulai sekarang, oke?" "Oke, Kak Lil!" *** Damar telah tiba di kantor. Pria itu kembali menjadi sosoknya yang penuh wibawa dan berkarisma dengan setelan jas rapi. Tak lagi ia memikirkan untuk membuat catatan pengalaman kisah cinta. Baru percobaan pertama saja sudah membuatnya jera. Tak ingin lagi ia mengulang hal yang sama. Biarlah catatan kisah cintanya kosong. Toh, suatu saat nanti pun ia akan bertemu dengan orang yang tepat, yang akan mengisi catatan kisah cintanya dengan penuh warna. "Ada hal penting apa hari ini?" tanya Damar—yang sudah duduk di kursi kebanggaannya—kepada sang sekretaris bernama Rudi. "Bapak ada rapat bersama klien sekitar jam dua sore." "Trus?" "Mewakili Tuan Adam untuk makan malam bersama para kolega di restoran timur tengah." "Lagi?" "Tidak ada lagi, Pak." Damar menyandarkan diri di sandaran kursi. Matanya melirik jam di pergelangan tangan. Masih ada waktu setengah jam lagi menuju rapat. Kemudian, entah kenapa ia pun penasaran dengan jadwalnya di esok hari. Maka, ditanyakannya kemudian hal itu kepada Rudi. "Rudi, jadwalku besok apa saja?" Rudi mulai mengecek pencatatan jadwal sang atasan di hari esok. "Sepertinya tidak terlalu padat. Di pagi hari Bapak akan melakukan penerbangan ke luar negeri untuk studi banding. Lalu ...." Rudi menjeda ucapannya beberapa saat. Membuat Damar berkerut bingung. "Ada apa?" tanya Damar penasaran. "Ah, tidak. Sepertinya saya salah catat jadwal. Di sini tertulis kalau Bapak akan kunjungan ke yayasan anak sekitar jam sembilan pagi. Padahal, seharusnya Bapak masih melakukan studi banding di luar negeri. Jadi-" "Tunggu-tunggu," potong Damar cepat. "Kunjungan ke yayasan anak?" tanyanya memastikan pendengarannya. Lantas dijawab sopan oleh sang bawahan. Damar terdiam. Entah kenapa ingatannya melayang pada perkumpulan anak di taman waktu itu. "Bisa jelaskan tentang yayasan itu? Sepertinya aku melupakan sesuatu tentang itu," ucapnya sembari mengusap pangkal hidung mancungnya. "Jadi, Bapak sudah menyetujui untuk memberi bantuan sumbangan dana kepada yayasan. Menurut informasi, yayasan mereka terancam tutup karena tengah berada di kondisi krisis keuangan." "Oh, ya, aku ingat itu sekarang." Damar mengangguk kecil. "Tolong, siapkan berkas yang berisi informasi tentang yayasan itu. Lampirkan beserta foto-foto dan data diri para pengurus. Siapkan selengkap dan kalau bisa sedetail mungkin. Akan kuberi bonus untuk itu. Aku harap berkas itu sudah ada di mejaku setelah aku selesai rapat." Rudi mengangguk kecil. "Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit undur diri dulu." Damar berdehem. Pria itu memutar kursi untuk menghadap ke jendela besar di belakangnya. Tersuguhilah ia dengan pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Jangan lupakan ramai dan padatnya lalu lintas di bawah. Lalu, pandangannya pun terpusat ke restoran yang ada di seberang. Matanya terperangkap satu per satu kepada para pasangan romantis yang saling melempar senyum dan tatapan cinta. Setajam itu mata Damar sampai mampu melihat bagaimana romantisnya keadaan di restoran. Andai kata Damar ada di sekumpulan pasangan romantis itu, pasti ia tak akan tahan dan bergegas untuk pulang. Sendirian di tengah banyaknya pasangan itu sangatlah memalukan baginya. "s**l. Kenapa jadi kepikiran itu terus sih?" Damar mendengus. Salahkan kedua orang tuanya yang kemarin telah berhasil men-trigger dirinya untuk segera mencari pendamping. Membuatnya terhantui dan terbayangi betapa menyedihkannya kesendirian. Sayup-sayup, terdengar suara ketokan dari luar. Damar terenyak dan langsung melirik jam di pergelangan tangan. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera bangkit berdiri dan melangkah pasti menuju pintu yang terus di ketuk. "Eh, B-bapak, mohon maaf!" Perempuan itu menunduk dalam tatkala kepalan tangannya melayang tepat di d**a Damar. Terlalu fokus ia mengetuk pintu sampai tidak sadar bahwa pintu terbuka dan sudah menampilkan sang atas di sana. "Tak apa. Rapat akan segera di mulai, bukan?" "I-iya, Pak. Mari saya antarkan." Perempuan bersurai hitam sebahu itu melangkah sedikit mendahului Damar. Wajahnya benar-benar merah padam. *** Senyum tersungging tatkala mendapati map dokumen di meja. Damar duduk di kursi dan segera membuka map berisi berbagai dokumen terkait informasi yayasan anak yang akan ia berikan dana. Entah kenapa, Damar penasaran dengan yayasan itu. Barangkali ada sesuatu yang mengejutkan di sana. "Sudah sepuluh tahun terbangun ya," gumam Damar membaca dokumen di tangannya dalam waktu singkat, lalu diletakkan kembali di meja. Asal kalian tahu, KEM (Kecepatan Efektif Membaca) Damar lumayan tinggi. Jadi, jangan heran kalau hanya membaca sebentar, pria itu sudah paham keseluruhan isinya. Kemudian, Damar beralih ke berkas lain. Di sana tertulis para pengajar di yayasan dengan disertai foto diri dan biodata diri. Satu per satu pria itu teliti. Sampai kemudian, matanya terfokus ke potret familier di sana. "Gadis ini ...." Damar masih ingat dengan gadis yang dilayangkan pertanyaan absurd anak-anak di taman waktu itu. Ternyata, gadis itu merupakan pengajar di yayasan anak. Tiba-tiba, Damar tersenyum lebar. Tidak salah ia telah menyetujui untuk memberi dana ke yayasan. Yayasan yang terbilang kecil dan dapat dikatakan secara kasarnya bahwa, apa yang bisa diharapkan dengan membantu mereka? Apa keuntungan yang didapat? Kendati demikian, Damar merasa bahwa ada keuntungan lain dengan membantu mereka. Keuntungan pribadi, tentunya. "Rudi, ganti jadwal studi banding besok dengan kunjungan ke yayasan," gumam Damar penuh kemenangan kepada Rudi di balik telepon. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD