1. | Prambudi Corp.

2129 Words
Langkah kaki dalam balutan sepatu pantofel hitam mengkilat itu terdengar begitu jelas. Melangkah dalam tempo yang pas dan penuh wibawa. Di sisi kiri dan kanannya, terdapat pria kekar berjas dan bekacamata hitam. Sekilas pandang pun dapat dikatakan bahwa kedua sosok itu merupakan bodyguard. "Sedang menuju ke sana," ucap si pria kepada seseorang di balik telepon. Matanya setajam elang, alisnya sehitam arang, dan bulu matanya benar-benar sempurna. Jangan lupakan kontur wajah yang ideal dengan garis rahang tegas. Siapa pun yang melihatnya tentu tak akan mampu memalingkan wajah. Damar. Nama si pria rupawan itu. Merupakan pewaris utama Prambudi Corp., perusahaan yang bergerak di bidang jasa, yang telah menaungi banyak perusahaan di bawahnya. Tak heran Prambudi Corp. berada di jajaran perusahaan paling berpengaruh di Indonesia. Bahkan digadang-gadang akan menempati perusahan nomor satu dengan prestasi dan pencapaian yang fantastis. Menggeser eksistensi perusahaan yang bergerak di bidang entertainment, yang sejak melambungnya Prambudi Corp. membuat perusahaan itu jatuh merosok ke posisi bawah. Keberhasilan Prambudi Corp. memang membuat semua orang terkagum-kagum. Namun, ketahuilah, ada perjuangan dan pengorbanan di balik itu semua. Ya, keberhasilan memang tidak didapatkan secara instan, bukan? Pada hari ini, Damar akan pulang ke mansion. Menemui orang tua yang baru saja datang dari perjalanan panjang di luar negeri. Bersamaan itu pula, mereka ingin mengabarkan satu hal padanya. Entah itu apa, Damar tak terlalu ambil pusing. Paling hanya seputaran urusan perusahaan dan t***k bengeknya. Damar memang terbilang jarang pulang ke mansion. Mengingat ia mempunyai apartemen pribadi yang nyaman dan dekat dengan kantor. Selain itu, ia sudah dewasa dan seharusnya memang tidak lagi tinggal serumah dengan orang tua. Meski berkali-kali diajak untuk tetap tinggal di mansion, kumpul bersama orang tua dan kedua adik, tetap saja Damar tak ingin. Ia akan ke mansion jika disuruh atau ada hal yang penting, itu pun dengan catatan tidak akan lama. Bukannya Damar tak ingin kumpul keluarga, tetapi ia hanya berpikir bahwa ia sudah dewasa. Sudah saatnya ia menjalani hidup sendiri dan tak lagi membebani orang tua. Ia merupakan anak sulung di keluarga Prambudi. Sebaik mungkin ia akan menjadi contoh untuk kedua adiknya yang masih bersekolah. Setelah perjalanan dalam beberapa menit, Damar pun sudah sampai di Prambudi's Mansion. Mobil memasuki kawasan rumah dan terparkir rapi bersama beberapa mobil di sana. Dengan gagahnya, Damar keluar dari mobil dan melangkah pasti menuju pintu utama. Di sana, sudah berdiri sang ibunda yang menyambutnya dengan senyuman. Darisa. "Apa kabar, Sayang?" tanya Darisa sembari memeluk Damar erat. Dapat dirasakannya kecupan hangat Damar tepat di puncak kepalanya yang terlapisi kerudung. Darisa tersenyum simpul. Dilayangkannya kemudian kecupan demi kecupan di kedua pipi Damar. Meski sudah dewasa dan cukup matang untuk berumah tangga, di matanya Damar masih seperti bocah kecil yang hobinya menangis dan merengek. "Ish, Bun! Aku udah gede," gerutu Damar menghentikan serangan gemas dari sang ibunda. Darisa terkekeh. Terlebih ada bekas lipstik di kedua pipi Damar. Ingin rasanya tertawa lepas. Namun, sebisa mungkin ia tahan. Mengingat kedatangan Damar di sini merupakan sesuatu yang jarang dan akan dimanfaatkan sebaik mungkin. "Yaudah, yuk masuk." Darisa meraih tangan Damar lalu ditarik ke ruang tengah mansion. Ternyata di sana sudah ada ayah dan kedua adiknya yang masing-masing sibuk dengan gawai. Namun, ketika Damar berdehem, kedua adiknya secara bersamaan mendongak. Satu di antaranya tampak semringah dan berlari menghampiri Damar. "Bang Damarr!!!" teriak gadis kelas enam SD yang bernama Dara. Gadis itu memeluk Damar erat bahkan bergelantungan layaknya anak koala. Membuat Damar mendengus atas tingkah manja si bungsu. Matanya kemudian melirik Adnan, sang adik yang tampak acuh duduk di sisi ayah. Sifat Adnan sama persis dengan sang ayah, Adam. Lain hal dengan Dara yang sama persis dengan sang bunda. Sementara Damar? Entahlah. Mungkin perpaduan antara sifat dingin sang ayah dan sifat hangat sang bunda. "Ih, ada bekas lipstik!" seru Dara sembari menoel-noel kedua pipi Damar. Tak berapa lama, gadis itu tertawa geli. "Bekas Bunda itu, haha!" Damar langsung sweatdrop. Berbanding terbalik dengan Darisa yang mengulum senyum menahan tawa. "Nih, Bang. Tisu. Bunda emang resek. Cium pipi seenak hati tapi lupa lagi pake lipstik tebal," ucap Adnan—si pemuda 19 tahun—menyodorkan selembar tisu pada Damar, kemudian berlalu menuju pintu utama. "Loh-loh, kamu mau ke mana, Adnan?" tanya Darisa. "Adnan ada urusan. Udah ditungguin dari tadi." Tanpa berkata apa-apa lagi, bahkan salam sekalipun, Adnan pun hilang dari balik pintu. Darisa mendengus lalu melirik Adam, sang suami yang sedari tadi diam membisu. Disenggolnya pelan bahu kokoh Adam. "Diem terus. Tuh, si sulung udah dateng," ucap Darisa dengan terselip kesal di nadanya. "Ada apa, Yah?" tanya Damar membuka pembicaraan. Pria itu mengambil duduk di sisi Darisa dengan Dara yang masih bergelayut manja di lengannya. "Berapa usia kamu sekarang?" tanya Adam dengan serius. Apa sih yang tidak diseriuskan oleh sang pemilik Prambudi Corp. ini? Hidupnya penuh keseriusan, tak heran jika Prambudi Corp. berdiri tegak penuh keberhasilan. Andai tidak menikah dengan Darisa dan memilik tiga anak, mungkin hidup pria kepala lima itu begitu monoton dan penuh keseriusan. Hanya ada warna hitam. Tak ada warna lain yang meragamkan hidupnya. "26 tahun. Kenapa?" "Ayah mau nikahin Bang Damar!" seru Dara heboh. Seketika itu membuat Damar mendelik tak percaya. Lain hal dengan Darisa yang membekap mulut si bungsu dengan gemas dan Adam yang mengusap wajahnya pelan. "Dijodohin maksudnya?" Damar menatap terang-terangan sang ayah. Adam mengembuskan napas kasar. "Udah saatnya kamu beristri. Jabatanmu udah CEO di perusahaan. Udah hidup sendiri dan sangat mapan. Selama ini, Ayah belum pernah denger kamu deket sama cewek. Ayah dan Bunda sampai khawatir kalo kamu itu belok. Jadi, kami mau jodohin kamu sama anak temen Ayah," ucapnya dengan terselip harap agar Damar memahaminya. "Jangan terlalu serius dalam berbisnis, Nak. Ayah dulu persis kayak kamu. Andai Bunda kamu nggak datang di hidup Ayah, mana bisa Ayah kayak sekarang. Kesuksesan seorang pria, pasti ada peran perempuan di baliknya. Siapa lagi kalo bukan istri? Jadi, menikahlah segera. Biar ada yang ngurusin dan dukung kamu tiap waktunya." Damar terdiam memikirkan ucapan Adam. Tak berapa lama pria itu pun membuang napasnya dengan kasar. "Oke. Tapi, dengan pilihanku sendiri," ucapnya mencipta kelegaan sang ayah dan ibunda. "Jadi, sudah ada calon nih?" goda Darisa tersenyum lebar. "Woaa, Bang Damar udah punya pacar nih!" celetuk Dara kemudian. "Ish, nggak," tepis Damar dengan kesal. "Gue nggak pernah pacaran, Dek. Pacaran itu cuman buang-buang waktu tahu." "Lah, terus gimana?" "Gimana apanya?" Damar menatap sang adik dengan datar. "Gimana mau nikah kalo deket sama cewek aja nggak pernah." Oke, Damar akui itu merupakan kalimat menusuk pertama yang Dara layangkan padanya. Andai Adnan ada, mungkin secara imajiner Damar akan mati terbunuh oleh ucapan menusuk empunya Adnan. Anak tengah itu memang terkenal dengan kalimat-kalimatnya yang menusuk. "Denger tuh. Mending kamu dinodohin aja. Dijamin pilihan terbaik dari yang terbaik. Apa sih yang enggak buat kamu, Damar," balas Darisa penuh kemenangan. Namun, bukan Damar namanya kalau menyerah begitu saja. "Aku punya pilihan sendiri. Nanti aku kenalin ke Bunda sama Ayah. Tunggu aja." "Woaa, Abang emang gentleman!" seru Dara penuh kekaguman. Adam hanya mengulas senyum miring. Merasa bangga atas sikap anak tertuanya yang tak jauh dari sifatnya di masa muda. Sementara itu, Darisa bertingkah bak gadis yang kasmaran pada Damar. Tentu, tak luput dari pandangan sang suami yang langsung merangkul bahunya penuh keposesifan. Di tengah itu semua, Damar terdiam dengan wajahnya yang tanpa emosi. Jauh dari dalam dirinya, pria itu sangat bingung. Sungguh, benaknya benar-benar kosong tentang perkara wanita. Bagaimana bisa ia membawa calon istri di tengah payahnya ia dalam urusan wanita? *** "Kak Lilaaaaa! Jojo nakaall!" "Ih, enggak! Kamu tuh!" "Huee, Kak Lil!" Tampak seorang gadis yang menurunkan bahunya payah. Di depannya berdiri sepasang bocah lelaki dan perempuan kisaran umur enam tahun yang bertengkar satu sama lain. Keduanya tak ada yang mau mengalah dan saling menyalahkan. Ya, begitulah anak kecil. Tingkah mereka kadang membuat geregetan dan rasanya kedua tangan gatal sekali untuk memukul mereka. Namun, bukan seperti itu cara kerjanya. Keras lawan keras malah semakin keras. Maka dari itu, sebisa mungkin hadapai dengan penuh kelembutan. Lambat lain mereka pun akan luluh dengan sendirinya. Kalila, si gadis berkerudung marun yang senantiasa sabar menjadi pengajar di yayasan anak. Hari-hari selalu menghadapi pertengkaran para bocah. Tak sedikit ia menjadi korban pertengkaran sampai mengakibatkan luka. Namun, atas segala hal yang terjadi, gadis itu tetap mencintai profesinya. "Udah Kak Lil bilang jangan teriak-teriak, 'kan?" Kalila berpeluk tubuh. Menatap bergantian kedua bocah yang bernama Jojo dan Lia itu. "Ntar anak Ibunda Tari bangun loh. Dari tadi kalian mulu yang teriak-teriak. Temen-temen yang lain enggak tuh." "Habisnya Jojo ngeseliin tau!" "Kamu yang ngeselin, Lia!" "Ih, enggak! Kamu yang ngeselin!" "Kalian yang ngeselin," ucap Kalila seakan habis kesabaran. Matanya melotot. Seperti singa betina kelaparan yang siap memangsa siapa saja. "Maafan!" "Ha? Gimana Kak Lil?" "Kalian berdua maafan. Cepet. Kak Lil nggak pernah ngajarin kalian berantem kayak gitu." Jojo dan Lia secara serempak memberengutkan bibir. Dengan setengah ikhlas, mereka saling menjabat tangan dan mengungkapkan maaf. Meskipun demikian, sukses membuat Kalila tersenyum penuh kemenangan dan memeluk kedua bocah yang sudah ia anggap layaknya adik sendiri. "Nah, gitu dong. Kan adem liatnya," ucap Kalila sembari menghadiahkan kecupan di puncak kepala Jojo dan Lia bergantian. "Oke, Kakak mau nyamperin Ibunda Tari dulu. Kalian jangan berantem lagi ya. Kalo ketahuan berantem, bakal Kak Lil hukum. Mengerti?" "Iyaaa, Kakak Liiill," sahut keduanya kompak. Dengan perasaan sedikit lebih lega, Kalila pun melangkahkan kaki menuju ruangan Ibunda Tari. Sedikit informasi, Ibunda Tari merupakan si pemilik dari yayasan anak. Wanita tangguh baik hati yang merupakan rolemodel seorang Kalila. Wanita yang bak penyelamat hidupnya di tengah kesusahan yang menimpa. Andai Ibunda Tari tidak datang di waktu yang tepat, mungkin Kalila sudah berada di tempat yang tidak selamat. Sebelum menjadi pengajar di yayasan, Kalila sudah bekerja lama di sebuah perusahaan entertainment. Menjadi staf di sana sejak lulus Sekolah Menengah Kejuruan. Namun, dari waktu ke waktu, Kalila merasa ada yang tidak beres terhadap perusahaan yang menaunginya bekerja. Banyak kecurangan yang ia cium. Maka, berusaha ia untuk berhenti, tetapi malah tidak diperbolehkan untuk berhenti kecuali dengan membayar. Selama hampir setahun, Kalila bekerja dalam tekanan. Sampai kemudian, Ibunda Tari datang dan menjadi penyelamatnya. "Permisi, Bun," ucap Kalila dengan sopan. Gadis itu tersenyum lalu menyalimi tangan Ibunda Tari yang tampak duduk sembari menimang sang buah hati. "Dek Fadil makin gemes aja, Bun. Ntar nggak kerasa udah bisa jalan aja," ucapnya berbasa-basi. "Iya," sahut Ibunda Tari singkat. Matanya menatap lembut sang buah hati lalu beralih menatap Kalila yang duduk di sampingnya. "Lil, Bunda punya kabar baik," ucapnya kemudian. Lantas membuat Kalila terpancing atensi. "Kabar baik apa itu, Bun?" "Sebelumnya, Bunda udah bilang kalo kita butuh dana 100 juta buat yayasan, 'kan?" Kalila mengangguk kecil dengan raut yang penasaran. "Nah, alhamdulillah ada perusahaan yang mau bantu kita. Bahkan dengan syarat yang ringan dan nggak membebankan." "Iya? Alhamdulillah!" Kalila berseru girang. Sampai tak sadar bahwa ada si bayi yang dengan antengnya tertidur. Tak ayal membuat Ibunda Tari menegur sembari terkekeh pelan. Menyadari hal itu, secara refleks membuat Kalila membekap mulutnya sendiri. "Maaf, Bun. Kalila terlalu seneng," ucap Kalila sedikit teredam. Kedua matanya melengkung, menandakan bahwa gadis itu tengah tersenyum lebar. "Kalau nggak ada halangan, lusa mereka bakal kunjungan ke yayasan. Jadi, sebelum hari itu tiba, tolong kabarin ke semua pengajar dan anak-anak untuk mempersiapkan menyambut kedatangan mereka. Biar gimana pun, mereka merupakan penolong buat yayasan kita." Ibunda Tari tersenyum hangat. "Dan bisa dibilang kalo mereka satu-satunya harapan yang kita punya. Jadi, jangan sia-siakan dan kecewakan mereka." Kalila mengangguk semangat. Kemudian, ia pun dilanda penasaran dengan siapa yang mau menyuntikkan dana untuk yayasan. Maka, bertanyalah gadis itu kemudian, "Bun, ngomong-ngomong, siapa yang bersedia bantu? Um, nama perusahaannya gitu." "Prambudi Corp. Tahu? Perusahaan paling bergengsi saat ini." Mendengar nama Prambudi disebut, tak ayal membuat Kalila melotot. "Seriusan, Bun?" tanyanya masih tidak menyangka. Ibunda Tari hanya terkekeh, sudah bisa menebak reaksi dari Kalila. "Ya Allah, itu perusahaan besar, Bun! Kok bisa-bisanya mau bantu dana ke yayasan? Bukan maksud merendahin, tapi, 'kan yayasan kita ini terbilang kecil, Bun. Kalo dipikir-pikir, timbal balik keuntungan yayasan ke mereka itu nggak seberapa, Bun. Atau mungkin nggak ada." Mendengar ucapan yang terlewat jujur itu, membuat Ibunda Tari menyungging senyum tipis. Tangannya kemudian terulur ke kepala Kalila yang terlapis kerudung. Diusapnya perlahan dengan penuh kasih sayang. "Ya, begitulah, Lil. Rezeki datang nggak disangka-sangka. Bunda juga nggak nyangka Prambudi Corp. bersedia beri dana," ucap Ibunda Tari. "Dan, nggak heran lagi bukan kalo perusahaan itu masuk ke jajaran perusahaan terbaik? Orang-orangnya saja dermawan gitu. Nggak mandang keuntungan kecil atau besarnya yang mereka bantu. Bunda bener-bener kagum." "Woaah, Kalila jadi nggak sabar ketemu sama pemimpinnya. Eh, mungkin nggak sih kalo pemimpin mereka yang kunjungan ke yayasan?" "Lah iya. Bunda kurang tahu juga. Yang pasti, kita harus persiapan buat nyambut mereka." "Oke, Bun. Bakal Kalila dan yang lain usahain biar nggak bikin mereka kecewa." Kalila mengepalkan tangannya di udara. Penuh semangat gadis itu saat ini. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD