bc

Catching Mr Police

book_age18+
1.3K
FOLLOW
5.3K
READ
others
fated
dominant
powerful
decisive
drama
bxg
mystery
enimies to lovers
slice of life
like
intro-logo
Blurb

Sejak ditolak cintanya oleh Mario 3 tahun yang lalu, Arissa selalu memanggap pria tersebut seperti kuman. Kuman yang harus dihidari agar dia tidak mengalami sakit hati dan pusing. Tapi apa jadinya kalau Tuhan tidak sependapat dengannya, sehingga Tuhan menciptakan keadaan-keadaan yang membuat Arissa tidak bisa menghindari Mario.

Kata orang : Jangan terlalu benci, nanti jadi cinta.

Kata Arissa : Terjadilah padaku seturut kehendakmu

chap-preview
Free preview
SATU
"Damn..." Sambil mengumpat Arissa menendang ban mobilnya yang terlihat kempes parah. Padahal saat ini dia dalam perjalanan menuju kantornya dan dengan insiden pecahnya ban mobilnya ini, sudah pasti dia terlambat. Bukan hanya karena insiden pecahnya ban mobilnya, tapi juga karena kemacetan yang pasti melanda Jakarta di jam-jam berangkat kerja seperti sekarang ini. Sialnya hari ini kantornya mengadakan meeting yang wajib dihadiri Arissa karena ada klien penting yang harus mereka urus. Dia pasti mendapatkan omelan yang super panjang dari om-nya karena om-nya terkenal dengak keperfeksionisannya dan kerofesionalannya. Om-nya, Franklin itu paling tidak suka dengan namanya kesalahan, meskipun itu hanya kesalahan yang kecil sekalipun. Dan tolong jangan berpikir karena hanya Arissa adalah keponakannya akan melepaskannya begitu saja. Om-nya bahkan lebih keras padanya karena dia tidak mau Arissa dipandang sebelah mata karena berpikir Arissa disini karena koneksinya dengan om-nya. Menghembuskan napasnya berat, Arissa memutuskan untuk menggunakan ojek online motor saja agar bisa membelah jalanan Jakarta yang padat. Tapi sebelumnya dia harus menghubungi bengkel langganannya terlebih dahulu untuk mengambil mobilnya. Memastikan mobilnya akan baik-baik saja meski nanti akan dia tinggal. "Halo!" "..." "Mas, ini saya Arissa. Mas kan mobil saya macet di daerah Senopati. Mas bisa jemput dan memperbaiki mobil sa..." Arissa mematung. Terlalu terkejut hingga otaknya sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Sampai seseorang menepuk pundaknya. "Mbak, itu handphone dan dompet mbak diambil loh," kata orang itu dengan wajah khawatir sekaligus kasihan. Seketika Arissa tersadar dan berteriak sambil berusaha mengejar pencopet yang mengambil handphone dan dompetnya. "COPETTTT!!!" Teriaknya kuat dan panik menarik perhatian orang-orang yang ada disana. Dan seperti adegan difilm-film ketika ada orang yang berteriak 'copet', sebagian orang yang mendengarnya teriakan Arissa tadi berusaha membantunya dengan mengejar si pencopet. Berlari dengan hati-hati agar tidak jatuh karena menggunakan sepatu heels tinggi, Arissa tetap mengikuti kemana perginya si pencopet dan orang-orang yang membantunya itu. Bukan masalah kerugian materi yang akan dideritanya kalau dia kehilangan barang-barangnya itu, tapi karena masalah pengurusan data-data yang penting ada di dompet dan handphone-nya lah yang membuat dia mau repot-repot begini. Untungnya harapan Arissa terkabul. Pencopet dompet dan handphone-nya tertangkap. "Bugh...bugh...bugh..." suara pukulan bertubi-tubi terdengar ketika Arissa tiba di gerombolan orang-orang yang tengah menghakimi si pencopet dompet dan hp-nya. Melihat itu Arissa segera melupakan hp dan dompetnya karena seberharga apapun semua yang ada didalamnya, tidak seberharga nyawa pencopet itu. Bisa saja dia kesal dan marah pada si pencopet, tapi bukan berarti dia menginginkan si pencopet dihakimi secara sepihak seperti ini. Arissa sudah siap menerobos gerombolan orang yang yang main hakim sendiri itu, ketika sebuah suara terdengar. "Berhenti! Ada apa ini?" Suara itu tidak begitu kuat, namun cukup tegas dan penuh penekanan, hingga dengan hebatnya mampu menghentikan orang-orang yang ingin di berhentikan Arissa tadi. ... Karenna tidak ada satupun dari orang-orang itu menjawab pria yang bertanya tadi. Arissa berinisiatif untuk menjawabnya sendiri karena dia pikir ini adalah kesempatannya menyelamatkan barangnya yang dicopet dan sipencopetnya. "Permisi, permisi, permisi." Arissa coba menyelip masuk kerumunan orang-orang disana, agar bisa menjawab pria yang belum dilihat wujudnya tadi. Saat itu dia masih di luar kerumunan, sedang pria yang berhasil menghentikan massa tadi sudah berada di tengah kerumunan. Dan ketika Arissa berhasil masuk kerumunan itu, Arissa malah terdiam membatu. Kata-kata yang sudah disiapkannya tadi hilang seketika dari otaknya saat dia melihat wujud orang yang ingin diajaknya bicara. Apalagi ketika pria tersebut sudah menancapkan atensinya pada keberadaan Arissa dengan sebelah alisnya yang sedikit terangkat. Seketika Arissa merasa jengkel dengan keberadaan orang itu. Sialnya dia tidak bisa mengabaikannya dan harus bertahan disini karena dia perlu menyelesaikan masalahnya dan sipencopet. Dan orang yang membuatnya jengkel itu pasti akan ikut campur karena itu sudah merupakan bagian dari pekerjanya. "Cih, sial." Awalnya Arissa mendecih. "Kenapa dari jutaan orang di Jakarta gue harus bertemu dengan orang ini sih." Lanjutnya bicara dengan suara yang pelan agar tidak ada yang mendengarnya. Sungguh, Arissa merasa kalau ini adalah hari tersialnya sepanjang hidup. Pertama, dia terlambat bangun yang membuat dia terlambat berangkat ke kantor. Kemudian ban mobilnya pecah diperjalanan menuju kantor. Lalu yang terakhir, sesuatu yang paling membuatnya merasa sangat amat teramat sial, bertemu dengan Mario Areska Kartanegara. 'Ugh... what a unlucky day.' Arissa mengeluh dalam hatinya. Kesibukan pikirannya itu terganggu saat sebuah suara menginterupsinya. Suara yang secara otomatis mengubah raut wajah Arissa cemberut dengan bibir mengkerucut. "Jadi, apa yang sedang terjadi disini?" Tanya Mario mengulang pertanyaannya. Arissa mempertahankan wajah cemberutnya dan menjawab pertanyaan pria yang menyebalkan itu dengan berat hati. "Hp dan dompet saya dicopet dia pak polisi." Katanya sambil menunjuk si pencopet. "Tapi semuanya sudah kembali, jadi saya pikir sampai disini saja." ... Mario tidak segera menanggapi. Arissa menebak kalau saat ini, polisi si pematah hatinya itu sedang menilai dan menimbang apa yang akan dilakukannya pada si pencopet. Arissa berharap apaun yang ada dipikiran pria itu saat ini, dia sepemikiran dengannya. Melepaskan si pencopet dan menganggap semuanya selesai disini. Tapi, "Kamu ikut saya ke kantor polisi." Kata Mario berlawanan dari yang diharapkannya. Seketika Arissa merasa gondok setengah mati. Kalau bisa dia ingin men-smack down kepala Mario, berharap setelah melakukannya sifat menyebalkan Mario. Padahal sudah 3 tahun mereka tidak bertemu, tapi bukannnya semakin baik, Arissa merasa Mario semakin menyebalkan. Tidakkah seharusnya pria itu memiliki sedikit rasa kasihan padanya? Bagaimanapun Arissa adalah orang yang pernah dipatahkan hatinya oleh pria itu, harusnya Mario peka kalau dia tidak ingin lama-lama bersama pria itu. 'Dasar cowok nyebelin. Apa dia tidak tau kalau gue malas berhubungan dengan dia.' Arissa mengumpat dalam hati saking kesalnya Arissa dengan apa yang dilakukan Mario. 'Apa perkataan gue sebegitu sulitnya dimengerti sampai nih cowok nggak ngerti?' Kalian boleh bilang Arissa berhati dan pikiran sempit saat ini karena dia mau meloloskan pencopet dompet dan hp-nya begitu saja hanya karena tidak mau berhubungan lebih lama dengan Mario. Tapi sungguh, bukan hanya itu alasan yang membuatnya ingin membebaskan si pencopet. Ada hal lain yang membuatnya ingin membebesakan si pencopet begitu saja. Memang ini hanya berdasarkan pengamatannya sekilas saja, tapi entah kenapa Arissa yakin dengan keputusannya. "Huffttt..." menghembuskan napasnya kasar, Arissa coba menenangkan dirinya agar bisa bicara dengan seformal mungkin pada pria pematah hatinya itu. "Pak polisi yang terhormat, apakah pak polisi tidak mendengar apa yang saya katakan. Saya mau masalah ini sampai disini saja, jadi pak polisi tidak perlu membawanya ke kantor bapak." Arissa coba menjelaskan perkataannya dengan lebih lengkap dan tegas. Namun ketegasan yang ditunjukkan Arissa itu sedikit memudar saat Mario menatapnya dengan tatapan datarnya. Tatapan yang dulu sering sekali dilemparkan oleh pria itu kepadanya, Tatapan yang dulu pernah dikaguminya, tapi dibencinya saat ini. "Saya tidak tau apakah anda itu baik atau bodoh, tapi apa yang dilakukannya adalah sebuah kejahatan. Jadi sudah menjadi kewajiban saya sebagai polisi untuk memprosesnya." Balas Mario datar jelas terlihat tidak peduli. Emosi Arissa tersulut. Tanpa disadarinya matanya menatap tajam pada Mario, dengan rahang yang mengetat pula. Namun secepat mungkin Arissa menenangkan dirinya dan  berusaha untuk terlihat tenang karena dia tidak mau Mario merasa menang hanya karena dia marah atau sewot. Daripada Arissa menunjukkan itu, lebih baik dia segera pergi darisana. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa barusan. "Terserahlah kalau begitu." Arissa mendengkus malas lalu melihat pada si pencopet yang sudah babak belur dipukul massa yang untungnya tidak terlalu banyak. Kemudian diambilnya uang cash yang ada didompetnya yang jumlahnya sebenarnya cukup banyak. "Ini buat bapak," katanya sembari memberikan uang miliknya tadi pada si pencopet. "Saya tidak tau alasan bapak mencopet karena itu bukan urusan saya. Tapi kalau bisa saya memberi saran, sebaiknya bapak berhenti karena bapak tidak berbakat sebagai pencopet. Keberuntungan tidak datang dua kali pak, mungkin bapak bisa selamat dari amukan massa saat ini, tapi siapa yang tau nantinya?" Ucap Arissa lalu mendesah pelan sebelum menegakkan tubuhnya karena tadi dia harus sedikit membungkuk untuk memberikan uang pada si pencopet. Merasa selesai berurusan dengan si pencopet yang kini menangis, Arissa kemudian berbalik menghadap beberapa orang yang ternyata masih tinggal disana. Membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai bentuk terimakasihnya. "Buat mas-mas sekalian, terimakasih sudah membantu saya." Arissa berucap tulus sambil tersenyum tipis. Setelah itu dia pergi darisana, mengabaikan orang-orang yang mungkin kebingungan dengan aksinya. Arissa tidak peduli karena yang dia inginkan adalah segera pergi dari sana agar tidak perlu berlama-lama lagi berhubungan dengan Mario. *** Bibir Arissa mengkerucut sebal. Barusan dia mendapat omelan dan hukuman dari om-nya atas keterlambatan dan ketidakhadirannya di rapat yang harus dihadirinya tadi. Ingin rasanya dia memberitahu om-nya kalau Mario lah yang bertanggung jawab atas keterlambatannya, tapi om-nya manalah peduli. Boro-boro om-nya peduli, kenal dengan yang namanya Mario Areska Kartanegara saja om-nya tidak. "Ssa, gimana? Om Franklin bilang apa ke elo?" Eline, sahabat Arissa tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan Arissa dan duduk dengan seenaknya di sofa tamu yang ada diruangannya. Arissa yang tadinya tengah menenangkan dirinya dengan membaringkan kepalanya di meja kerjanya menoleh pada Eline. Hanya matanya saja yang bergerak untuk melirik, tidak dengan tubuhnya. Rasanya tubuhnya terlalu berat dan malas bahkan hanya untuk bergerak sedikit saja. "I'm screw up." jawab Arissa ogah-ogahan. "Gue jadi salah satu perwakilan kantor kita buat pelayanan masyarakat minggu depan." "What!!!" Eline memekik kecil. "But, how can? I mean..." tidak menyelesaikan perkataannya, Eline malah berjalan mendekat pada Arissa. "Elo nggak berusaha membela diri? Elo taukan menjadi peserta pelayanan masyarakat itu berat?" Bukannya menjawab sahabatnya itu, Arissa malah menghembuskan napasnya kuat. Dia sedang membayangkan akan seberat apa pelayanan sosial yang akan dilakukannya minggu depan. Ah Arissa tidak hanya membayangkan itu itu, kini dia juga membayangkan Mario. Ya, Mario. Mario Areska Kartanegara.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
220.4K
bc

Dependencia

read
186.9K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

LAUT DALAM 21+

read
289.9K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook