TIGA

1530 Words
"Hai semua," sapa Amel ramah. "Boleh gabung? Kita bicarain soal kegiatan kita hari ini yuk. Biar nanti pas jam 8 kita bisa langsung mulai pelayanan. Yang ada disini bisa nerangin kerekannya yang lain apa yang perlu dilakukan." Senior Arissa yang memang bertanggung jawab bidang koordinasi acara itu tampak tidak segan dan canggung untuk bergabung dengan orang-orang disana. Sedangkan Arissa memilih diam disamping Amel dengan bibir yang memaksa senyum. "Oh iya, pertama kita berkenalan dulu. Saya Camelia Radita yang akan bertanggung jawab untuk acara ini." Dengan luwesnya Amelia memperkenalkan dirinya dan Arissa. "Dan ini junior saya, Arissa Manaika Senja." Arisa tersenyum menganggukkan kecil kepalanya sebagai bentuk salamnya. Lagi, matanya Arissa bertemu tatap dengan Mario. Mata Arissa hampir saja memutar malas, beruntung otaknya masih lebih cepat bekerja dari refleksnya. Jadi dia tidak sempat bertingkah tidak sopan dihadapan orang-orang yang jelas lebih senior dan juga lebih tua darinya itu. Menampilkan wajah ramah dengan senyum terpaksa miliknya, Arissa berusaha sekuat mungkin untuk tetap berdiri disana. Tidak menghindar, walaupun pada akhirnya dia sibuk dengan dirinya sendiri. Saat orang-orang sibuk dengan perkenalan dan pembicaraan soal pelayanan sosial mereka, Arissa malah sibuk diam-diam melirik Mario melalui ekor matanya. Membandingkan Mario yang dulu dengan yang sekarang. 'Lebih tampan, lebih matang, lebih hot, dan menantang.' Padahal baru hanya sekali lirik saja, tapi penilaian Arissa sudah positif semua buat Mario. Hingga dia kesal sendiri dengan dirinya. 'Woy inget woy, lo udah ditolak. Doi nggak suka ama cewek kayak lo.' Sisi negatif hati Arissa berteriak. 'Ya tapikan emang benar kalau luaran Mario makin segalanya sekarang.' Kini sisi positif Arissa yang bicara. "Cih..." Tanpa sadar Arissa berdecih yang ternyata sanggup menarik perhatian orang-orang disekitarannya. Amel yang tadinya sibuk menjelaskan tugas-tugas peserta pelayanan ikut berhenti. Ditatapnya Arissa dengan satu alis terangkat, sama seperti beberapa orang yang ada disana. "Eh... oh... maaf... maaf." Ucap Arissa gelagapan karena dia terlalu panik. Bagaimana tidak panik kalau dia merusak suasana dengan tingkah tidak sopannya, didepan orang yang lebih senior dan lebih tua darinya. Untungnya Amel, senior Arissa itu cukup baik hati hingga bisa mengembalikan suasana kembali kondusif. Tidak sulit buat senior Arissa itu utuk mengembalikan perhatian orang disana kepembicaraan mereka sebelumnya. Begitu pembicaraan kembali, Arissa sibuk merutuki dirinya karena bisa-bisanya dia bertindak tidak sopan seperti tadi. Memutuskan untuk kembali fokus dengan penjelasan Amel, Arissa tidak sengaja melihat Mario yang ternyata sedang menatapnya. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang mungkin hanya Mario sendiri yang tau artinya. Untuk beberapa saat mereka saling berbalas tatap, sampai akhirnya Arissa memilih untuk memalingkan matanya. "Jadi begitulah kira-kira tugas perbagian. Ada yang tidak jelas atau yang mau ditanyakan?" Amel bersuara mengakhiri penjelasannya. ... "Baiklah kalau semua sudah jelas, aku pikir kita sudah bisa memulai penjelasannya karena sepertinya semua sudah hadir." Seolah isyarat untuk bubar, satu persatu orang meninggalkan lingkaran tempat meraka bicara tadi. Termasuk Arissa didalamnya. Ketika Arissa sudah berjalan menuju kursi kerjanya, sebuah sapaan samar dan lembut hampir menghentikan langkahnya. "Kak Mario! Kita bertemu lagi." Tetap melangkahkan kakinya, Arissa mengabaikan suara itu dan memperingati dirinya kalau dia tidak ada hubunganya dengan Mario dan siapun yang berhubungan dengan pria tersebut. 'Elo orang asing buat dia. That's it.' *** Melakukan pelayanan masyarakat selama 2 hari ini ternyata tidaklah seburuk bayangan Arissa, walau tidak menyenangkan juga. Tapi yang pasti Arissa cukup menikmatinya karena banyak hal dan pengalaman yang bisa dia pelajari dari kegiatan itu. Selain itu, disana Arissa juga mendapat beberapa kenalan senior yang berkerja diluar profesinya. "Ssa bagaimana, apakah datanya sudah lengkap?" Amel menghampiri Arissa sambil memberikan beberapa berkas tamu yang mengunjungi mereka. "Iya mbak udah lengkap kok." Sembari menunjukkan hasil kerjanya pada Amel, Arissa menjawab. "Tinggal memasukkan data terakhir yang mbak bawa ini." "Oh oke." Balas Amel lalu memeriksa berkas yang tadi Arissa tunjukkan kepadanya. "Kebanyakan soal gugatan dan ganti rugi atas tanah ya?" Arissa mengangguk. "Mungkin karena mereka sudah tinggal lama di kawasan ini makanya ketika terjadi penggusuran tanah, mereka tidak terima." Jelasnya secara singkat masalah yang paling banyak dihadapi masyarakat yang datang ke mereka. "Ya. Tapi kita tidak bisa berbuat banyak untuk mereka karena kasus yang bisa kita bantu bawa ke pengadilan adalah mereka yang punya sertifikat hak milik. Sedangkan yang tidak punya sertifikat hanya bisa kita bantu mendapat kompensasi berupa uang atau ganti rugi lain karena sejak awal tanah yang mereka tempati adalah tanah milik pemda." Kepala Arissa mengangguk kecil. "Oh iya Ssa, nanti jam 7 kita ngadain pesta kecil buat ngerayain lancarnya acara ini. Kamu hadir ya," "Ya?" "Hari ini jam 7 di The Dell Sauce." Jelas ini bukan undangan lagi, tapi perintah karena penekan yang digunakan Amel disetiap kata yang diucapkan sang senior. Itu artinya apapun yang terjadi, Arissa harus hadir nanti malam. "Baik mbak, nanti malam aku pasti datang." Jawab Arissa dengan senyum lebar yang dipaksakan. "Baiklah kalau begitu, aku kesana dulu ya." Amel berpamitan terlihat puas karena sudah berhasil membuat Arissa setuju untuk datang. "Oh iya, jangan lupa untuk memasukkan data dari tamu terakhir kita ya." Arissa menganguk dan segera mengerjakan apa yang diminta Amel karena peserta yang lain juga sudah berberes-beres siap untuk pulang. Om-nya, Franklin tadi sudah memberikan sepatah dua patah kata sebagai bentuk pembubaran acara. Jadi sudah ada beberapa dari peserta pelayanan yang sudah pulang. "Ahhh finally..." Arissa memekik pelan kesenangan saat rekap data berhasil dia selesaikan. Itu artinya dia sudah bisa pulang sekarang. "Yes! Tinggal kasih hasilnya ke mbak Amel buat diproses dan semuanya beres." Arissa bermonolog tampak sangat senang karena dia berhasil menyelesaikan tugasnya sebagai peserta pelayanan dengan baik. "Sekarang, tinggal masukin ini semua ke mobil." Katanya lalu mengangkat barang-barangnya kemobilnya yang diparkirnya tidak jauh dari tenda pelayanan. "Maaf dek, tapi acaranya sudah selesai. Kita tidak bisa membantu ibu lagi." Ketika Arissa tengah memasukkan barang-barangnya ke dalam mobilnya, suara gaduh yang berasal tidak jauh darinya terdengar. Arissa menoleh ke arah itu dan mendapati seorang anak kecil, berumur sekitar 4 atau lima tahunan, sedang berbicara dengan beberapa peserta yang ikut pelayanan dengannya 2 hari ini. "Tapi aku mau mencari mama aku, tante. Nenek sakit dan aku tidak tau harus bagaimana." Ucap anak laki-laki itu terisak. Awalnya dari tempatnya duduk, Arissa mengamati anak tersebut dalam diam. Dan tanpa disadarinya, dia sudah berjalan menuju anak yang lagi-lagi mendapat penolakan tersebut. Padahal ada Mario juga disana. Pria yang selama 2 hari ini selalu bisa dihindarinya, dengan selalu memastikan jarak terdekat mereka paling tidak 3 meter. "Kamu tinggal dimana?" Tanya Arissa begitu dia dekat anak itu. Anak laki-laki itu menoleh, tidak menjawab Arissa. Dia hanya menangis tersedu hingga tubuhnya yang kurus dan penampilannya yang kucel dan lusuh membuatnya terlihat semakin menyedihkan dimata Arissa. "Tante yang akan membantumu," lanjut Arissa setelah dia berjongkok agar bisa sejajar dengan anak laki-laki yang namanya belum diketahui Arissa itu. "Tapi Ssa, kita udah..." "Nggak papa mbak, biar aku yang bantu aja dan nggak perlu dimasukin laporan." Jawab Arissa sambil menunjukkan senyum disertai ringisan minta maaf karena sudah memotong ucapan Nayla, orang yang Arisa kenali sebagai salah satu dokter yang berpartisipasi dalam pelayanan masyarakat ini. Kemudian tanpa menunggu lebih lama lagi, Arissa menarik tangan si anak. Segera menjauh darisana karena merasa tidak nyaman dengan keberadaan Nayla. Selain dari rekannya yang sesama polisi, wanita tersebut adalah orang yang Arissa tau paling dekat selama 2 hari ini dengan Mario. Mungkin karena itu pulalah Arissa selalu menjaga jarak dari Nayla, meski wanita tersebut selalu berusaha mendekatinya. Hal lain yang membuat Arissa ingin segera menyingkir darisana adalah karena dia dengan tatapan Mario. Bilanglah Arissa geer atau besar kepala, tapi entah kenapa dia merasa sedang diperhatikan oleh Mario. Jadi lebih baik dia segera membawa anak itu bersamanya, lalu pergi dari lokasi secepatnya dan berharap pada Tuhan kalau ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Mario. 'Sebaiknya tidak ada pertemuan lainnya. Kalau nggak, gue bakal jadi nenek-nenek berhati busuk dengan cepat.' Doa Arissa dalam hatinya ketika dia bersama anak laki-laki yang sudah berada dalam mobilnya. "Sekarang kita ke rumah kamu ya," kata Arissa. "Kita cek kondisi nenek kamu sebelum cari mama kamu." Anak laki-laki itu mengangguk pelan. "Tante akan menolong aku dan nenekkan?" Untuk beberapa saat Arissa menatap anak laki-laki itu, "Tentu saja. Tante akan membantu kamu." Arissa menggunakan nada yang semeyakinkan mungkin, berharap dengan itu dia bisa menenangkan si anak. "Ngomong-ngomong, nama kamu siapa? Taukan jalan pulang ke rumah kamu?" Tanya Arissa setelah memasang seatbelt anak itu. Arissa yakin rumah anak itu tidak jauh dari tempat mereka sekarang, tapi dia tetap memasangnya karena keselamatan tetap nomor satu. "Dan kenapa minta tolong kesini, bukannya ketetangga kamu?" Mendengar pertanyaan Arissa, anak langsung menunduk. Tangannya mencengkram kuat celana pendeknya yang sebenarnya tidak layak pakai lagi karena selain terlihat kotor dan lusuh, celana itu banya robekan kecilnya. "Angelo. Rumah aku ada dipinggiran kali yang tidak jauh dari sini tante." Jawab anak itu dengan sangat pelan. Kemudian anak tersebut menunduk lagi. Arissa sadar kalau pertanyaan terakhirnya sedikit berat untuk Angelo dan dia tidak keberatan jika tidak mendapat jawaban untuk pertanyaan itu yang penting buat Arissa, si anak mau memberitahunya nama dan dimana rumahnya. Kemudian Arissa tersenyum, kembali mengusap kepala Angelo untuk menenangkan si anak laki-laki itu. "Bisa tunjukkan jalan kesana?" Angelo mengangguk. Tapi... Tok tok tok, ketukan di kaca mobilnya menghentikannya yang hendak menghidupkan mobilnya. 'Kak Mario...' hingga beberapa detik Arissa terpaku pada orang yang mengetuk kaca mobilnya. 'Dia ada urusan apa sama gue, sampai ngehampiri gue begini?' ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD