Setelah sampai beberapa jam lalu, kami akhirnya memutuskan untuk memilih hotel yang tidak jauh dari bandara. Lokasinya masih cukup strategis dari pantai, bahkan malam ini, kami masih bisa menikmati nuansa pantai dengan kelap-kelip lampu yang menambah kesan indahnya. Yuwen datang dengan anggur yang ada di tangannya. Sesekali tatapanku tertuju pada rumah makan yang masih tetap ramai.
“Thanks!” seruku, setelah mendapatkan gelas anggur bagianku darinya. Aku meneguk anggur, rasanya benar-benar legah. Kami memang sangat jarang mendapatkan liburan seperti ini. Bisa dikatakan, sejak Yuwen ditugaskan untuk menjadi patner kerjaku, aku sedikit terbantu dan dia juga memberikan cukup banyak saran. Tidak seperti patner kerjaku sebelumnya, yang hanya duduk dengan santai dan tidak melakukan apa-apa, hanya bisa merancang laporan palsu.
Kami diam, aku sedang memikirkan kasus pembunuhan itu. Bagaimana mungkin pembunuh itu benar-benar membuat semuanya dengan rapi? Waktu yang diberikan pada kami untuk menyelidiki kasus ini hanya sekitar 7 bulan lagi, jika kami tidak berhasil. Aku tidak tahu akan dimutasi kemana kami berdua. Aku menghela nafas, sembari menatap hamparan pantai yang masih dipenuhi pengunjung dengan pakaian yang pasti akan membuatku merasa kedinginan itu.
“Jangan bilang kau sedang memikirkan pekerjaan itu, Lio. Kita sedang berlibur, dan tolong jangan membahas soal pekerjaan padaku. Tujuanku adalah untuk berlibur, bukan mengerjakan kasus itu.”
Aku terdiam, baru saja hendak bertanya akan hal itu padanya. Tatapanku kembali tertuju ke depan, menikmati angin malam yang mulai terasa dingin. Kursi yang terpisah 2 kursi lain dari arah kananku bergerak, aku melihat dengan lirikan mata. Seorang gadis dengan pakaian merah duduk di sana. Aku tahu jika dia sedang menatapku.
Yuwen menyenggol lenganku, “Kau tidak ingin berkencan malam ini? Wanita itu cukup seksi dan sepertinya dia tertarik dengan lelaki asia sepertimu. Sejak tadi, dia memperhatikanmu. Cobalah untuk bermain sesekali, kapan lagi kau merasakan nikmatnya hal ini, Lio!” bisik Yuwen pelan.
Kapal di depanku mengalihkan perhatianku dari godaan Yuwen, aku sedang tidak tertarik dengan hubungan asmara saat ini. Aku masih menantikan seseorang selesai dari kuliahnya, sosok yang sejak dulu menarik perhatianku. Kekasihku yang juga sedang bersekolah di pulau ini. Tujuan lainku menyetujui ajakan Yuwen kemari adalah untuk bertemu dengannya.
“Jangan bilang kau masih menunggu Teresa, Lio. Kalian sudah berhubungan jarak jauh hampir 2 tahun, apa kau yakin dia itu masih setia denganmu? Atau jangan-jangan dia sudah memiliki pacar baru dan sengaja meninggalkanmu. Lagipula, jika aku sebagai Teresa, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Siapa yang ingin berpacaran dengan orang kaku sepertimu?”
Sentuhan lain di sebelah kananku membuatku menahan kata-kata balasan untuk Yuwen, aku menatap gadis tadi yang memegang tanganku. Tatapannya liar, dia bahkan sengaja membuka mantel berbulunya untuk menunjukkan belahan dádanya. Aku menatap lurus ke depan.
“Lepaskan tangan Anda, nona. Aku tidak mengenal Anda, jadi, sebaiknya Anda juga melakukan tindakan yang sopan pada saya!”
“Kau sopan sekali, siapa namamu? Boleh sekalian aku meminta nomormu?”
“Namanya Alex, dia belum punya pacar. Kau bisa menjadi kekasihnya!” jawab Yuwen, sembari mengedipkan sebelah matanya padaku. Hal itu membuat sosok gadis di sebelahku mengambil tanganku dan membawanya untuk menyentuh bagian itu. Aku lekas menarik tanganku, dan bangkir berdiri dengan cukup kasar.
“Selagi aku masih waras dan berbaik hati, tolong jaga sikap Anda. Jangan menjadi wánita muráhan, lagipula, aku tidak akan mau membayar wànita muráhan seperti Anda. Jalàng seperti Anda seharusnya tahu diri jika ingin menargetkan orang!” seruku, membentak wanita itu dan lekas pergi. Tidak lupa mengambil kunci mobil dan juga ponselku. Aku menatap Yuwen kesal, lelaki satu ini selalu saja membuatku kesal jika sudah berhadapan dengan orang lain.
Aku bahkan tidak peduli dengan wajah wanita itu yang tadi terlihat terkejut, aku tidak peduli dan jelas itu bukan salahku. Aku melewati restoran, beberapa tatapan tertuju padaku. Sepertinya sebagian dari mereka juga mendengar bentakanku barusan. Aku lekas memasuki mobil dan lekas pergi, sepertinya aku butuh seseorang saat ini.
Yuwen menatap wanita tadi dengan wajah yang kaku. Yuwen berdiri, “M—aafkan temanku tadi, dia tidak bermaksud untuk menghina mu. Lain kali, jangan ganggu dia, dia tidak menyukai wanita!”
Sial, Yuwen mengumpat dalam hati. Dia bahkan sengaja berbohong untuk membuat wanita tadi merasa lebih baik. Dan ketika mendengar perkataan Yuwen barusan, ekspresi wanita itu lekas berubah. Tidak sepucat tadi, hal itu membuat Yuwen menghela nafas legah.
“Maafkan aku, sepertinya aku telah mengganggu dia tadi. Aku tidak tahu jika dia tidak menyukai wanita, jika begitu, aku pergi dulu Tuan!”
Yuwen mengangguk, namun tangan Yuwen lebih dulu menahan wanita tadi itu “Ingin pergi bersamaku? Aku masih normal dan menyukai wanita, sayangnya aku tidak punya uang untukmu!”
“Tidak masalah, aku juga tidak butuh uangmu. Aku hanya kesepian, karena orang tuaku baru saja meninggal, jadi aku hanya menginginkan hiburan!”
***
Aku tiba di sebuah rumah kecil yang sederhana, keluar dari mobil dan menatap rumah kecil itu dari luar. Pesan terakhirku belum dibalas oleh Teresa, sepertinya dia sedang sibuk dengan tugas kuliahnya. Aku kembali masuk ke dalam mobil, namun aku terkejut mendengar ketukan dari kaca di belakang. Aku mengambil pistolku untuk berjaga-jaga, namun melihat siapa sosok itu. Aku lekas membuka pintu mobil. Itu adalah Teresa, dia lekas memasuki mobilku dan tersenyum.
Rambutnya sudah panjang, terakhir kali aku mengunjunginya di sini adalah sekitar 2 tahun lalu. Sekarang dia adalah semester akhir, jadi aku sadar betapa beratnya semester ini padanya.
“Aku merindukanmu, kenapa tidak memberi kabar jika ingin kemari? Aku bisa mengunjungimu lebih cepat!” Teresa tersenyum menatapku. Dia duduk di kursi depan, membuatku bebas untuk melihatnya. Aku masih diam, dan menghidupkan mobil. Melajukannya sedikit menuju ke arah pantai.
Kami tiba di tempat favoritku, dan kami masih berada di atas mobil. Dengan pemandangan di depan kami adalah pantai.
“Bagaimana kuliahmu?”
“Aku sudah ACC, sebentar lagi aku akan wisuda, tinggal menunggu sidang saja!”
Aku mengangguk, dan tetap menatap wajah Teresa yang tertuju ke depan. “Apa rencanamu setelah lulus kuliah? Apa kau akan tetap berada di sini?”
Teresa kini menatapku, dia masih tetap tersenyum. Senyumannya menular padaku, “Aku tidak tahu apa rencana setelah lulus. Mungkin aku akan ke HongKong saja, di sini terlalu sedikit lapangan pekerjaan. Aku akan melamar di industri hiburan setelah lulus nanti, bagaimana menurutmu? Kita juga bisa lebih sering bertemu di sana, tapi, apa kamu bisa jujur padaku?”
“Apa? Katakan saja!”
Teresa terlihat gugup, dia mengalihkan perhatiannya. Tangannya terkepal di atas kedua pahanya, kami bahkan sempat terdiam selama beberapa menit. Lalu, dia memberanikan diri untuk menatapku, “Maaf jika ini menyakiti perasaanmu nantinya. Tapi bisakah aku tahu apakah kau sudah dapat pacar di sana sehingga jarang menghubungiku? Aku selalu menyimpan cincin yang kau berikan ini padaku, nomormu selalu bergantian, jadi aku tidak tahu harus seperti apa jika ingin menghubungimu. Jujur, aku tidak bisa terus-terusan bertahan seperti ini. Aku…aku in….”
Aku menarik leher Teresa, dan mencium bibirnya. Aku lekas menatapnya, wajahnya memerah dan hal itu membuatku tersenyum. Kekasihku ini tidak pernah berubah, dia menarik kepalaku, membuat kami kembali menyatukan bibir kami. Aku perlahan memperdalam ciuman kami, rasanya benar-benar senikmat ini. Ciumanku semakin liar, lidahku bahkan sudah mengeksplor setiap inci ruang mulut Teresa. Desahannya membuatku lekas berhenti dan menghentikan ciumanku yang terasa salah. Aku tidak pernah menciumnya serakus ini.
Beberapa menit kami terdiam, wajahku masih berada di depan wajah Teresa. Dádanya naik turun, sama sepertiku. Kami kehabisan oksigen saat berciuman tadi. Aku hendak kembali ke tempat dudukku, namun lagi-lagi Teresa lebih dulu meraihku. Aku kehilangan kendali dan mencumbu Teresa. Mencium lehernya dan menjilatinya, membuat tanda kepemilikan di sana. Desahannya dan jambakannya di rambutku membuatku ingin merasa lebih. Aku kembali melumat bibir Teresa dengan rakus, aku benar-benar menginginkan gadis ini.
“Kita pindah ke kursi belakang!” bisikku pelan, dan diangguki olehnya
Aku lekas menurunkan kursiku, dan beranjak lebih dulu. Teresa ikut, dan aku lekas menyambar bibirnya. Badannya perlahan bersandar di kursi belakang, aku menekan pelindung kaca agar tidak ada yang mengetahui kegiatan kami kali ini. Rasa inginku semakin besar, aku menindih tubuh Teresa, tanganku dengan perlahan membuka kancing atasan bajunya.
Kepalaku terdorong dan mulai mencumbu leher Teresa, badannya naik turun seiring dengan pergerakanku. Aku mendorong kakinya ke depan, dan mendekatkan badanku. Aku semakin menginginkannya, 2 tahun tidak melakukan ini, membuatku benar-benar tidak bisa menahan kendali diriku saat melihat dan mendengar desahan Teresa.
****
Aku memeluk tubuh Teresa, kegiatan kami sudah berhenti beberapa menit lalu. Sekarang kami sudah keluar dari dalam mobil, dan menatap ke arah pantai. Tidak ada percakapan yang terjadi, aku tahu jika Teresa masih berusaha untuk menyesuaikan dirinya.
“Apa masih terasa sakit? Maafkan aku!” seruku, menatap wajah Teresa yang masih tidak melihatku. Rambutnya terhembus oleh angin.
“I—iya, rasanya seperti saat pertama kali kita melakukannya!” Teresa berbicara dengan nada gugup. Hal itu membuatku terkekeh dan memeluknya semakin erat.
“Aku tidak pernah berhubungan dengan wanita lain, pekerjaanku selama ini membuatku hampir kehilangan kewarasanku. Banyak kasus yang tidak terungkap, dan aku takut akan suatu hal!”
“Apa ada yang mengancammu?” seru Teresa, kali ini dia sudah berani untuk menatapku. Aku menatap manik matanya yang berwarna coklat terang. Aku masih ingat pertama kali bertemu, itu juga adalah ketika aku bertugas di sini. Dan manik coklat Teresa yang terpapar sinar matahari membuatku terpana untuk pertama kalinya dalam hidupku. Sejak saat itu, aku terus mendekati dan mencari tahu mengenai gadis itu. Sayangnya, aku tidak berani untuk mengatakan perasaanku saat itu padanya. Hingga ketika berselang sebulan, aku kembali ditugaskan di sini. Tugas itu kembali mempertemukan kami secara tidak sengaja. Dia masih mengingatku saat itu. Dengan keberanian, aku menyatakan perasaanku padanya. Lalu pergi 3 hari setelah kami membuat janji, dan baru kembali bertemu sekarang.
“Aku takut jika kau akan berpaling dariku dan mengingkari janjimu!” seruku, menggoda Teresa. Wajah gadis ku itu kembali memerah. Aku tertawa, dan menahan wajahnya. Tidak membiarkan dia mengabaikanku lagi.
Teresa menundukkan wajahnya, tapi aku menaikkannya. Wajahku mendekat dan kembali mengecup bibirnya dengan cukup lama.
Aku melepaskan cumbuan kami, lalu kembali menatapnya. Dia menyandarkan kepalanya di lenganku, aku menatap ke depan.
“Kapan kau akan kembali lagi?”
“Besok aku harus kembali pulang, dan masih tidak tahu kapan akan mengunjungimu. Tapi aku akan mengusahakan aku hadir saat kamu wisuda. Maafkan aku, pekerjaanku membuatku seperti ini. Suatu saat, jika aku sudah menuntaskan tugas ini, aku pasti akan mengajakmu menikah. Sekarang kamu masih muda, nikmatilah waktumu dengan baik. Kamu harus lebih rajin belajar dan banggakan aku!”
“Aku akan merindukanmu, bisa aku ikut mengantarmu besok?”
Tatapan Teresa kembali tertuju padaku, aku menggeleng, “Tidak bisa, ini demi kebaikanmu. Aku tidak ingin membuatmu dalam masalah. Kau jelas tahu pekerjaanku seperti apa, dan seperti apa resikonya. Jika kamu sampai masuk ke dalamnya, maka itu akan menjadi kelemahan terbesarku. Aku mencintaimu tanpa batas, aku membayangkan suatu saat nanti kita bisa membesarkan anak-anak kita. Jadi, tolong jangan hilangkan mimpiku itu.”
“Aku kesal, tapi malu juga mendengar kata-katamu itu.”
“Aku hanya berkata jujur, tidak berbohong!”