Tanpa Alasan

1752 Words
Abel masih bengong, terduduk di ranjang dengan mulut terbuka. Ia tertegun melihat hal gila apa yang baru saja ia lakukan. Menghapus pesan itu sudah tidak mungkin lagi karena sudah terlambat. Semua terjadi begitu saja. Ponsel berbunyi membuat Abel langsung terloncat kaget dari ranjang. Ia latah kecil dan segera mengambil ponsel tersebut. Ia membaca tulisan yang tertampil di layar. Pak Edgar is calling... Abel meringis, ia merengek sambil mengacak-ngacak rambutnya. Gila sekali, sekarang baru jam 3 dini hari. Entah apa yang membuat Abel bisa sampai sejauh ini. Bukannya menjauh tetapi malah menerobos masuk ke dalam kehidupan Edgar. Abel tidak sanggup mengangkat panggilan itu. "Gue kanapa si?" ujarnya miris. Jiwa-jiwa Abel ingin berteriak, NGAPAIN NELPON????! Panggilan itu terhenti, Abel bisa bernafas lega. Ia kira dengan mengirim pesan jam segini tidak akan langsung di balas. Ternyata dugaannya salah, baru satu menit pesan itu terkirim tetapi sudah terbaca. Ponselnya kembali berbunyi, Abel bertambah panik. Tetapi gadis itu berusaha menguasai diri. "Tolonglah jangan nelpon lagi," katanya geram sambil menatap layar tak percaya. Abel terdiam, panggilan itu sudah terhenti. ia dapat bernafas lega kembali. Abel langsung mematikan ponsel. Bagaimana pun ia belum bisa menghadapi sang dosen secara langsung walaupun hanya mendengar suaranya. Mengambil keputusan besar dalam hidup bukan hal mudah. Abel melakukannya, keyakinan itu tiba-tiba saja datang. Namun ketika ia sudah melakukannya malah ada rasa aneh dalam dirinya. Di banding menyesal pada keputusan itu, lebih baik Abel menyiapkan diri untuk ke depannya. Akan banyak hal baru yang akan ia temui nantinya. Sejak kejadian Abel mengirim pesan pada pukul 3 dini hari, Edgar tidak pernah menghubungi lagi. Abel tidak tahu apakah sang dosen marah atau malah kecewa dengannya. Abel ingin berjumpa meminta kepastian bukan malah gantung sana sini seperti ini. Mama Abel sering kali menanyai perkembangan hubungan Abel dengan sang dosen. Abel bisa jawab apa? Ia sendiri tidak tahu apa yang tengah di alami saat ini. Semua mengalir saja tidak tertebak sama sekali. Hari ini Abel akan ke kampus, bagaimana pun keadaan dan situasi yang ia hadapi. Abel harus menyelesaikan skripsinya. Terlepas dari masalah pribadi, ia harus bisa memahami situasi. Abel tidak akan mencampuri hubungan pribadi dengan pendidikannya. Memang benar, perempuan itu pemikir. Lihat saja Abel sudah berpikir keras beberapa hari ini. Ketika rasa lelah mulai menyerang ia bahkan tidak bisa berpikir dengan jernih. Abel ingin bertemu dan memaki sang dosen karena sudah membuat linglung dirinya. Abel salah apa sampai mengalami situasi seperti ini? Tuntutan dari sang Papa agar ia segera menyelesaikan pendidikannya membuat Abel kadang muak. Ia tahu bahwa sampai kapan pun tidak ada mantan Ayah. Itulah yang Abel sesali, bagaimana pun perlakukan sang Papa dan keluarga barunya Ia hanya bisa diam dan diam. Menyampaikan pendapat dan keluhan pun rasanya hanya buang-buang waktu saja. Abel tahu keputusan orang tuanya untuk bercerai 13 tahun yang lalu adalah hal benar dari pada sang Mama harus tersakiti terus. Sampai sekarang Abel tidak mengerti kenapa rasa cinta saat berumah tangga bisa berubah bahkan hilang? Ia hanya bisa menelan pahit-pahit kenyataan itu. Lihatlah sekarang, karena kebanyakan melamun Abel sampai tidak sadar jika taksi sudah sampai di depan kampusnya. Abel tidak membawa motor karena ia merasa tubuhnya tidak baik. Abel masuk perkarangan kampus dengan santai, ia tidak boleh terlihat seperti banyak pikiran. Sebelum masuk ke ruangan sang dosen pembimbing, Abel memilih untuk membeli minum di kantin Kak Iyas yang berada di belakang gedung perkuliahan. Sudah Abel katanya, meskipun sudah jam empat lewat tiga puluh tujuh sore hari kampus masih saja ramai. Jadi harap maklum jika anak semester tua berada di kampus saat-saat sore hari. Jika pada pagi sampai siang kantin Kak Iyas di penuhi oleh mahasiswa semester satu sampai tujuh. Maka saat sore hari akan di penuhi oleh anak semester sembilan ke atas. Banyak kelakukan jika berada di kantin, bisa jadi karena jenuh dengan skripsi sehingga butuh kopi hitam  atau bahkan hanya mencari wifi gratis. "Woi Bel," panggil seseorang. Abel kaget, ia langsung tersenyum lebar. Tenyata tanpa janjian ia bisa bertemu dengan Ridho dan Zaki. Abel rasanya sangat bahagia, ia segera bergabung bersama kedua temannya itu. "Tumben ke kampus jam segini?" tanya Abel penasaran. Ia baru pertama kali bertemu dengan teman-temannya itu di kantin saat jam-jam sore seperti sekarang. "Mumet gue di kosan, adek sepupu gue kan Maba di sini jadi ngekos bareng gue. Miris kan?" jawab Ridho. "Miris dah, lo kan nggak bisa kalau ada orang di kosan," sambung Zaki pura-pura sedih. "Muntah gue, nggak usah pasang tampang gitu!" ujar Ridho tidak suka. Abel hanya tertawa, ia langsung duduk di depan Zaki dan Ridho. "Pulang kerja lo?" tanya Zaki. Abel mengangguk, "Niatnya mau bimbingan, tapi pas ketemu kalian gue nggak niat bimbingan." "Lo ada masalah?" tanya Ridho. Mereka sudah berteman cukup lama, jadi kadang saat Abel punya masalah besar tentang keluarganya pasti teman-temannya tahu. Abel bukannya tidak tahu kalau aib keluarga tidak boleh di sebar. Tetapi kadang menyimpan luka yang kembali terbuka sangat susah. "Nggak ada, emang kenapa?" tanya Abel balik. "Lo agak aneh, tawa lo palsu banget sumpah!" Abel terdiam, apa tawanya terlihat palsu? Ia sampai tidak sadar. Abel kembali tertawa, "Sok tahu lo. Tawa gue manis kan?" Ridho bergidik ngeri, "Ruqiyah lo sana." Zaki langsung tertawa, begini lah mereka. Terlepas dari kekalutan masalah skripsi, masalah keluarga bahkan masalah yang lainnya, mereka masih bisa tertawa. "Dua hari yang lalu gue ketemu Papa sama keluarga nya makan di restoran ," ujar Abel tiba-tiba. Zaki dan Ridho langsung terdiam. Ridho yang awalnya bermain game di leptop langsung menghentikannya. "Terus?" tanya Zaki. Abel tersenyum, "Dia cuma nyapa gue terus nanya gimana skripsi gue." "Gue cuma jawab "doain aja Pa". Terus Papa langsung bandingin gue sama anak tirinya. Dia bilang semester depan nggak bakalan ngasih uang semester lagi kalau semester ini nggak selesai. Setelah Papa sama Mama gue cerai, Mama nggak pernah minta sedikitpun uang untuk biayai hidup gue. Gue tahu selama itu pula Papa nggak pernah ngasih duit untuk gue. Kuliah adalah hal mustahil untuk gue karena kondisi ekonomi keluarga gue. Gue tahu Mama sering nangis sendiri karena nyalahin diri nggak bisa kuliahin gue. Akhirnya gue berani minta ke Papa untuk bayar uang semester. Istrinya selalu marah sama gue, bilang kalau gue nggak usah kuliah dan langsung cari kerja. Gue masih ingat, dia bilang jangan ngebebani orang tua lagi. Papa ada di situ, tapi dia cuma diam aja. Setelah sekian lama, gue baru minta waktu itu. " Abel menarik nafas, "Istrinya cuma ngasih gue uang setengah dari biaya semester gue. Lo tahu gue anak kandungnya? salah kalau gue minta sama Papa gue sendiri? Gue berani minta karena hidup Papa berlebih. Dua hari yang lalu gue tahu kenyataan bahwa sampai kapan pun Papa nggak bakal liat gue. Papa makan di restoran buat rayain kelulusan anak tirinya. Sedangkan gue apa? Papa nggak pernah ngasih ucapan selamat sama gue. Baik ulang tahun, kelulusan gue atau apapun." Zaki dan Ridho hanya terdiam, mereka tidak mau melihat Abel. Mereka memilih untuk fokus pada leptop dan ponsel. "Tiga belas tahun, dia nggak pernah bawa gue makan ke restoran. Saat anak-anak seusia gue cerita kalau mereka pergi ke taman bermain ataupun main timezone di mall bareng Papa nya. Gue cuma bisa diam." Abel tidak menangis, ia hanya tersenyum. Senyum pahit penuh dengan luka yang belum sembuh atau tidak akan pernah sembuh sama sekali. Baik Zaki maupun Ridho tahu betapa banyak luka yang ada di balik mata dan senyum itu. "Hidup gue drama kan?" seru Abel sambil tertawa. "Lo pemeran utama, lo harus bahagia!" ujar Ridho santai. Tidak ada yang menampakkan raut wajah sedikitpun. Mereka bukannya tidak punya hati, tetapi kesedihan itu tersimpan sendiri. "Udah ah, melow banget dah. Gue mau makan, bayarin ya Ki?" ujar Abel kembali bersemangat. "Eleh, yang kerja lo juga. Ingat gue masih mahasiswa pengangguran," balas Zaki tajam. "Lo kaya Ki, gimana kalau kita nikah aja?" Jangan kaget jika Abel ataupun Ella sering mengajak Zaki menikah. Zaki memandang Abel dengan tatapan ingin mual. Drama akan mulai sebentar lagi. "Sama gue lo nggak mau nikah Bel?" tanya Ridho cekikikan. Abel "Enggak deh, lo nggak punya banyak duit hahaha," jawab Abel langsung. "Calon suami masa depan ku bayarin calon istri kamu ya?" kata Abel sambil menahan tawanya. "Ambil aja sana, nyerocos panjang kali lebar pun dia pasti bakal di bayar," sahut Ridho yang sudah tidak tahan ulah Abel. Zaki malah sudah mual-mual tidak jelas, "Ntar kita nikah ya dek." Abel hanya tertawa,  ia langsung  mengambil makan. Abel sangat rindu masakan kak Iyas, masakan rumahan yang selalu di rindukan mahasiswa di kampusnya. "Wah bel tumben ke kantin?" ujar Kak Iyas kehebohan karena baru melihat Abel di semester 9. Rasanya aneh jika lima sekawan itu tidak lagi berkumpul di kantin karena sudah ada yang selesai. Abel menyengir, "Rencananya mau bimbingan, tapi nggak jadi.  Belum siap mental ketemu Pak Edgar Kak, nanti di semprot lagi." "Oh ya Pak Edgar ke kampus hari ini Kak?" tanya Abel lagi. Biasanya Kak Iyas paling tahu informasi di kampus. Bisa di katakan update. "Tu," tunjuk kak Iyas. Abel mengikuti arah tangan kak Iyas. Wah benar di sana ada dosen pembimbingnya sedang duduk. Abel tidak tahu apa yang dilakukan sang dosen di kantin, mungkin makan ataupun hanya sekedar menikmati kopi. Kalau karena wifi tidak mungkin, jaringan wifi khusus untuk dosen lebih kecang kecepatannya. Abel langsung kaget dan segera berbalik. Beberapa detik mata mereka sempat bertemu. Abel memukul pelan keningnya beberapa kali. Bisa-bisanya ia tidak sadar jika di kantin ada Pak Edgar. "Kak teh es satu ya," ujar Abel langsung. Ia segera kembali ke tempat duduk dengan tergesa-gesa. "Lo berdua tahu kalau Pak Edgar ada di sini?" bisik Abel menahan dirinya agar tidak heboh. Ridho dan Zaki mengangguk. Mereka sering bertemu dengan Pak Edgar di kantin, apalagi jam-jam segini. "Santai aja kali," ujar R Abel mengangkat jempolnya, apa yang di katakan Zaki benar. Ia harus santai, kenapa meski takut atau bahkan grasak grusuk tidak jelas. Buang-buang waktu saja, Abel jadi sadar beberapa hari ke belakang ia linglung hanya buang tenaga, pikiran dan waktu. Abel mulai menyantap makanan dengan semangat. Prajurit di dalam perutnya sudah berteriak heboh agar Perutnya segera ingin di isi. "Lo nggak jadi bimbingan Bel?" tanya Zaki memecahkan keheningan di antara mereka. "Lihat ntar deh, oh ya kalian udah sampai mana si?" tanya Abel balik. Ia tidak mau ketinggalan di antara kedua orang di depannya ini. "Lo nanya gue Bel?" tanya Ridho dengan wajah sebal. "Iya-iya tahu gue, " sahut Abel langsung. Ridho memang belum seminar proposal. Berdoa saja agar mereka bertiga selesai semester ini. "Kalau gue masih terkendala di data, Ibu minta gue riset," curhat Zaki. Abel tertawa, ternyata bukan hanya dirinya sendiri yang selalu saja banyak masalah pada skripsi. Teman-temannya juga, sebaiknya Abel lebih semangat mengerjakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD