Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar, membuat ruangan perlahan terang. Nadira masih terbaring diam di sisi ranjang, menatap kosong ke langit-langit. Matanya terbuka sejak subuh, tapi tak ada tanda-tanda Alven pulang. Tempat tidur di sebelahnya masih rapi, dingin, dan kosong. Ia menarik napas pelan. “Ya udah lah,” gumamnya pelan, setengah pasrah. Sudah bukan hal aneh baginya, padahal ini baru malam kedua setelah pernikahan mereka. Pernikahan yang lebih mirip kesepakatan formal ketimbang kisah cinta. Nadira bangkit, menyingkap selimut, lalu berjalan ke kamar mandi. Semua gerakannya tenang, teratur, seperti seseorang yang sudah terbiasa menelan kecewa sendirian. Selesai mandi, ia berdiri di depan cermin. Rambutnya masih agak basah, tapi rapi. Ia memilih blazer abu-abu muda, cel

